Ada Rasa, Sutradara Anggi Yakin Film Kaminting Pidakan Bisa Tembus Festival Film Nasional

0

FILM pendek Kaminting Pidakan (prolog) yang menceritakan kepahlawanan Tumenggung Jalil ditayangkan di Balairung Sari, Taman Budaya Kalimantan Selatan, Jalan Brigjen H Hasan Basry, Kayutangi, Banjarmasin, Sabtu (19/3/2022) malam.

FILM berdurasi 30 menit ini akan segera diangkat ke layar lebar film Banjar, karena sarat sejarah kepahlawanan sosok pemuda Banua yang berjuang melawan penjajahan Belanda. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalsel pun memastikan film Kaminting Pidakan akan diunggah di aplikasi yang memungkinkan masyarakat bisa mengakses dan menonton sineas karya anak Banua.

Aksi heroik Tumenggung Jalil saat berusia 21 tahun menjadi salah satu tokoh berpengaruh dalam perang Banjar. Sosoknya pun diperankan aktor lokal, Bayu Batari Setiawan bergelar Tumenggung Macan Negara atau Kiai Adipati Anom Dinding Raja, yang berjuang di bawah bendera Kesultanan Banjar.

Selain Bayu Batari Setiawan, ada beberapa pemain lain seperti Paman Wanyi, Forcy S, Alpian Purwo, Fin Lee Neo, Feby, Heny, Adi, Agus, Atsyah, Hendra, Hakim, Erpan, Sarwani, Iyai dan 24 kru lainnya.

BACA : Kaminting Pidakan; Film Pendek Kepahlawanan Tumenggung Jalil, Jagoan dari Rakyat Jaba

Usai pemutaran film, diskusi dihelat para pemain, pegiat seni dan Anggi Pradana Ifransyah, yang menyutradarai film garapan Disdikbud Kalsel kerja bareng dengan Bias Studio Banjarmasin.

“Jika Disdikbud Kalsel mengizinkan film ini akan segera kita ikutkan dalam festival film nasional. Sehingga orang di luar Kalsel bisa menyaksikan film sejarah lokal. Saya yakin fil (rasa) dalam film ini bisa bersaing di tingkat nasional,” kata Anggi, sang sutradara dalam diskusi.

Hal senada juga dilontarkan dosen pendidikan seni STKIP PGRI Banjarmasin Edi Sutardi. Menurut dia, seni itu adalah sesuatu yang sacral sehingga harus disajikan dengan penuh perjuangan berat. Termasuk, dengan kekhususan.

“Ketika tidak dilakukan itu, maka seni hanya sebatas hiburan, memuaskan biologis, tertawa dan selesai, tidak sampai pada empati,” papar Edi.

BACA JUGA : Sea Threshold, Film Asal Kalsel Raih Penghargaan Brunei Film Blitz 2021

Dia juga menyentil kondisi Balairung Sari yang sudah saatnya direhabilitasi Pemprov Kalsel sehingga bisa menjadi wahana pemutaran film serta pentas seni budaya Kalsel.

“Sebab, tempat juga menentukan martabat yang dibahasakan lewat seni. Nah, ketika tampil tentu bisa totalitas, dilayani dengan baik. Makanya, fasilitas yang tersedia juga harus representatif. Apalagi, Taman Budaya ini adalah milik rakyat Kalsel dari pajak masyarakat. Jadi, tidak lagi per item yang disewakan,” kritik Edi.

Poter film Kaminting Pidakan yang menceritakan sosok Tumenggung Jalil yang berjuang melawan penjajahan Belanda di Tanah Banjar. (Foto Dokumentasi JR)

Di mata dia, walau pemutaran film pendek itu bukan program dari Taman Budaya Kalsel, namun jelas muaranya adalah menjaga marwah kebudayaan Banua. Khusus pesan yang ingin disampaikan dalam film Kaminting Pidakan, Edi Sutardi mengeritik apa yang ingin ditanamkan para sineas kepada para penonton.

BACA JUGA : Melawan Arus, Film Pangeran Antasari Tayang di Panggung Tipakan

“Lantas apa yang ditanamkan dalam film Tumenggung Jalil pada dirinya, pada buminya, pada masyarakatnya. Nah, karena berbicara sejarah sudah minim, bahkan di pendidikan sudah dikurangi. Inilah mengapa penting lewat film bisa menjadi tonggak prinsip sebuah masyarakat dalam menjaga leluhurnya,” kritik Edi.

Kepada sang sutradara film Anggi Pradana Ifransyah, Edi Sutardi mengapresiasi. Ia mengaku turut ‘meracuni’ Anggi untuk membikin film dengan mengambil tema nasionalisme dengan skala berebda.

“Sosok Tumenggung Jalil adalah sosok nasiolisme. Dia membela kepada negeri yang telah memberinya makan. Yang lain justru membela apa yang dia makan,” kata Edi beranalogi.

BACA JUGA : Usai Antasari, Pejuang Banjar Lainnya akan Difilmkan

Tak mengherankan jika film Kaminting Pidakan yang menonjolkan sosok Tumenggung Jalil adalah figur rakyat jelata yang menyatukan kekuatan rakyat untuk melawan, ketika orang-orang justru banyak membela Belanda.

“Alur cerita film ini memang acak. Bukan seperti buka yang tertumpuk di perpustakaan dengan rayap-rayap yang memakannya. Jadi, yang kita baca dan cerna saat ini adalah buku-buku lembaran yang tersisa,” urainya.

BACA JUGA : Film Dialog Kuliner Ungkap Bagaimana Makanan Bisa Jadi Sarana Persatuan Warga

Sebelumnya turut ditayangkan film Gasim Kulawarga Panting. Film itu menceritakan keluarga seniman panting bertahan hidup dalam kesederhanaan. Mereka pun mendedikasikan diri guna melestarikan budaya lokal, khususnya musik panting di Kalimantan Selatan.

Selain Edi Sutardi, hadir pula sejarawan muda Mansyur dan jurnalis senior yang juga seniman, Sindi Firly turut angkat suara soal film pendek tersebut.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.