Keadilan Dalam Perspektif Hukum Dan Etika

0
Oleh : Mohammad Effendy 

NILAI-nilai keadilan bersifat universal, dan hampir semua agama mengajarkan hal yang sama bahwa menegakkan keadilan adalah tanggung jawab setiap orang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.      

KEADILAN harus terus diperjuangkan baik di ruang publik dan juga dalam kehidupan privat di lingkungan keluarga dan komunitas di mana kita berada.

Oleh karena keadilan menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat, maka upaya penegakkannya harus menjadi sebuah sistem hukum yang di dalamnya juga merangkum nilai-nilai etika.  

Ada ungkapan menarik, hukum bagaikan sebuah kapal sementara etika menjadi samuderanya.  

Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa sebuah kapal yang berisi muatan hukum itu tidak dapat berlayar jika bukan berada di tengah samudera etika.

Keadilan dapat saja dimanipulasi dengan tafsir terhadap norma hukum, akan tetapi keadilan akan tetap tegar dan wajah aslinya selalu nampak di area samudera etika.  

Mereka yang diberi amanah menegakkan keadilan dapat saja berkilah dan menunjukkan dalil  bahwa yang dilakukanya tidak bertentangan dengan norma hukum, namun mereka tidak akan dapat menghindar jika dihadapkan dengan nilai-nilai etika.

Sebenarnya bangsa kita kaya dengan khasanah budaya yang sarat dengan nilai-nilai etika yang sangat luhur.  Orang tua kita mengajar etika dengan bahasa yang sangat sederhana “kepantasan, kepatutan, tenggang rasa dan lain-lain”  Akan tetapi sangat disayangkan nilai-nilai etika tersebut kian waktu makin luntur dan sepertinya talah menghilang dalam interaksi sosial secara privat maupun dalam hubungan di ranah publik.

Terminologi “kepantasan, kepatutan, dan tenggang rasa” dianggap sebagai bahasa tradisional “kampungan”, sehingga generasi milenial seperti malu mengucapkannya.  

Bahkan, elit politik dan elit pemerintahan kita hampir tidak pernah lagi menggunakan istilah tersebut dalam pidato resmi dan interaksi keseharian.  Mereka merasa bangga dan keren jika mengutip pasal-pasal hukum, padahal sebagian dari Pasal hukum itu kering-kerontang karena kehilangan aspek filosofisnya.

Dalam berbagai diskusi dan perdebatan di layar kaca maupun di berbagai podcast, para pembicara dengan penuh semangat menguraikan analisis hukumnya saat menjawab serangan dan kritik perilaku elit politik dan elit pemerintahan. 

Apanya yang salah jika Pemerintah membantu masyarakat yang sangat membutuhkan, itu kan kewajiban negara ?. Presiden itu tidak dilarang berkampanye – ini bunyi aturannya.

Semakin banyak bahasa hukum seperti itu dilontarkan di ruang publik, maka tanpa sadar masyarakat telah digiring untuk melupakan ajaran para leluhur tentang nilai-nilai moral dan etika bernegara.  Mereka melupakan kuliah para Guru Besar yang penuh kearifan menjelaskan bahwa hukum tidak mungkin dapat menyelesaikan semua persoalan di lapangan.

Hukum tidak semata-mata deretan kata dan kalimat yang membentuk norma, tetapi di dalam hukum harus juga dikaji suasana kebathinan dan aspek filosofis yang melatarbelakangi norma itu.      

Kewajiban negara membantu dan mensejahterakan masyarakat adalah tugas permanen yang harus terus menerus diselenggarakan.  Membimbing dan membina aparat pemerintahan sampai ke tingkat paling bawah yakni Kepala Desa adalah tugas dan kewajiban Kepala Pemerintahan yang secara kontinu harus dilaksanakan.

Oleh karena itu jika tugas dan kewajiban Negara/Pemerintah tersebut sangat bersemangat dilaksanakan dalam tahapan Pemilu, maka aspek pelanggaran hukumnya mungkin masih dapat diperdebatkan, akan tetapi pelanggaran etikanya tidak mungkin dapat dibantah. Jika masih ada yang berpendapat bahwa tindakan dan perilaku tersebut sama sekali tidak ada pelanggaran etika, maka marilah kita doakan bersama agar orang tersebut segera bertobat, menggunakan nurani dan akal sehatnya, serta mendapat petunjuk untuk kembali ke jalan yang lurus.(*)

Penulis : Dosen Fakultas Hukum ULM dan anggota Forum Ambin Demokrasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.