Bandingkan Bukittinggi-Padang, Ahli ULM Sebut UU Provinsi Kalsel Langgar Dokumen Terukur

0

SIDANG meminta keterangan ahli dan saksi dalam perkara 58/PUU-XX/2022 dan 59/PUU-XX/2022 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta secara virtual dalam uji materi dan formil UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan, Selasa (13/9/2022).

SIDANG dibuka oleh Ketua MK Anwar Usman dihadiri para penggugat (pemohon) diwakili Forum Kota (Forkot) Banjarmasin, Syaifuddin Nisfuady bersama kuasa hukumnya dari Borneo Law Firm (BLF).

Pemohon mengajukan dua saksi. Ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dr Ichan Anwary dan saksi Ketua Sasangga Banua, Syahmardian. Sidang ini juga dihadiri pihak pemerintah dan pihak terkait, Walikota Banjarbaru HM Aditya Mufti Ariffin.

Hakim konstitusi Saldi Isra pun membandingkan soal gugatan pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dengan pemindahan ibukota Sumatera Barat dari Bukittinggi ke Padang. Sebab, dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

BACA : UU Kalsel Ada 2 Versi; 8 Pasal dan 49 Pasal, Pazri : Bisa Dibenturkan dengan UUD 1945!

“Nah, dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 ditegaskan kedudukan ibukota Provinsi Sumatera Barat awalnya di Bukittingi dipindahkan ke Kota Padang yang dikuatkan lagi dalam UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Sumatera Barat. Ini sama kasusnya dengan pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru dalam UU Nomor 8 Tahun 2022, bagaimana pendapat ahli,” kata Saldi Isra yang merupakan pakar hukum dari Universitas Andalas ini.

Menjawab pertanyaan hakim konstitusi MK ini, saksi Dr Ichwan Anwary bahwa ada prinsip melakukan sebuah perubahan itu harus berdasar dokumen terukur, uji publik dengan menyerap aspirasi pihak berkepentingan.

BACA JUGA : Masukan Hakim MK bagi Penggugat UU Kalsel : Pemindahan Ibukota Provinsi Cukup Pakai PP Bukan UU

Menurut Ichsan, dalam kasus pemindahan ibukota Sumatera Barat dari Bukittinggi ke Kota Padang, ketika keresidenan Sumatera Barat dikembangkan jadi provinsi dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1979.

“Itu ada instrumen perubahan dari Bukittinggi ke Padang melalui PP. Ini yang dimaksudkan adanya dokumen yang terukur. Sementara, dalam kasus pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru hanya ditetapkan dengan merubah UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimanta Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang menegaskan Ibukota Provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarmasin diganti dengan UU Nomor 8 Tahun 2022 yang menyatakan Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalsel,” papar Ichsan Anwary.

BACA JUGA : Sidang Keterangan Ahli Ditunda MK, Penggugat Siapkan Jurus Pamungkas Batalkan UU Kalsel

Doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini menegaskan sangat jelas bahwa pemindahan ibukota provinsi itu harus diatur melalui PP, bukan UU.

Dasar acuan Ichsan adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU  Nomor15 Tahun 2019 Pembentukan Peraturan Perundang-undanganpada Pasal 5 huruf c. ada termaktubasas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan (merupakan asas formil dan materil).

BACA JUGA : Perintahkan Cabut Gugatan UU Provinsi Kalsel, Mendagri Intervensi Walikota Banjarmasin?

“Instrumen pemindahan ibukota diatur pada UU Nomor 23 Tahun 2014 jo UU Nomor 9 tahun 2015 beserta perubahannya tentang Pemerintahan Daerah mulai pada Pasal 31 hingga Pasal 56, dimana dari UU tersebut merupakan pendelegasian wewenang bahwasanya intrumen pemindahan ibukota seharusnya diatur dengan PP,” beber mantan Wakil Dekan I Fakultas Hukum ULM ini.

Ahli Hukun Tata Negara jadi saksi gugatan UU Provinsi Kalsel di MK, Dr Ichsan Anwary. (Foto Istimewa untuk JR)

Ichsan juga merujuk langkah dan dokumen terukur yang tidak terpenuhi dalam UU Nomor 8 Tahun 2022 karena tidak melibatkan partisipasi bisa dilihat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibukota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibukota, dan Pemindahan Ibukota.

BACA JUGA : Siap Adu Argumentasi, Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy : Akhiri Polemik Ibukota Provinsi!

Ichsan sebagai ahli hukum tata negara di ULM juga tak dlibatkan dalam penggodokan draf atau naskah akademik RUU Provinsi Kalsel. Anehnya, justru saat disahkan oleh DPR RI bersama pemerintah pusat justru adalah versi pasal yang tipis. Hanya memuat 8 pasal dan 3 bab.

“Sedangkan, dari keterangan kolega saya (profesor hukum admintrasi Prof HM Hadin Muhjad) justru saat dibahas adalah versi tebalnya memuat 49 pasal dan 10 bab. Ini jelas seolah-olah masyarakat Banjarmasin dikangkangi oleh pemerintah pusat dan DPR RI, sehingga memerintahkan untuk ditaati,” sentil Ichsan.

BACA JUGA : Banjarbaru Resmi Ibukota Banua! Rifqinizamy Klaim UU Provinsi Kalsel Sudah Serap Aspirasi Publik

Bagi dia, prinsip langkah dan dokumen terukur jelas tidak terpenuhi dalam UU Provinsi Kalsel Nomor 8 Tahun 2022, sehingga menimbulkan gugatan dari Walikota dan DPRD Kota Banjarmasin bersama masyarakat. Hal ini karena asas partisipasi publik tidak terpenuhi.

“Saya tidak mengerti trik apa yang dipakai sehingga yang disahkan justru versi pasal yang sedikit,” pungkas dosen yang juga mengajar di STIH Sultan Adam Banjarmasin ini.(jejakrekam)

Penulis Asyikin/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.