Banyak Pengrajin Tempe Gulung Tikar, Syairozi Pilih Bertahan di Tengah Meroketnya Kedelai Impor

0

HIDUP segan mati tak mau. Peribahasa ini bisa menggambarkan kondisi para pengrajin tempe di tengah meroketnya harga keledai impor yang naik dua kali lipat.

BARU setahun ini, harga kedelai impor asal Amerika Serikat (AS) dibeli Syairozi (65 tahun) pengrajin tempe di Jalan 9 November RT 10, Kelurahan Banua Anyar, Banjarmasin Timur, meroket tajam.

“Gara-gara harga kedelai impor yang terus naik, bahkan sekarang sudah dua kali lipat membuat banyak pengrajin tempe bangkrut. Mereka sudah tak lagi berproduksi karena merugi,” kata Syairozi kepada jejakrekam.com, Senin (14/3/2022).

BACA : Migor Langka, Harga Tempe dan Tahu Naik, Pedagang Terpaksa Kurangi Ukuran Gorengan

Pria asal Pekalongan Jawa Tengah ini memilih bertahan karena hanya dengan membuat kedelai merupakan keahlian satu-satunya. Bersama sang istri yang juga sudah sepuh, Syairozi mengakui tempe yang dijualnya itu hanya untuk menyambung hidup.

“Sudah 31 tahun saya merantau ke Banjarmasin dan membuat tempe. Memang, baru setahun belakangan ini, harga kedelai impor melangit,” ucap Syairozi.

Keahlian membuat tempe juga diwariskan kepada putranya. Sang putra kini membikin pabrik kecil-kecilan tahu dan tempe di Sungai Paring, Martapura, Kabupaten Banjar. “Kalau teman-teman saya yang menggeluti pembuatan dan penjualan tempe, kebanyakan sudah bangkrut. Mereka tak kuat lagi membeli harga bahan baku khususnya kedelai impor, karena harga jualnya masih tetap,” ucapnya.

BACA JUGA : Pedagang Sayur Keluhkan Harga Kacang Kedelai Yang Naik

Dia mengungkapkan harga kedelai impor asal negeri Paman Sam itu awalnya hanya Rp 69 ribu per karung, kini meroket Rp 125 ribu per karung. Kedelai impor ini biasanya diambil di Pasar Lima, Banjarmasin. “Biasanya, saya dalam sebulan itu mengambil 100 karung kedelai impor. Karung kedelai ukuran 50 kilogram,” kata Syairozi.

Syairozi, pengrajin tempe rumahan di Jalan 9 November, Banua Anyar yang terimbas meroketnya harga kedelai impor asal AS.(Foto Sirajuddin)

Karena harga kedelai impor makin tak terkendali, Syairozi terpaksa memangkas ukuran plastis untuk pembuatan tempe. Biasanya menggunakan plastik ukuran 12 inchi, dikorting jadi 11 inchi. Begitupula, biasanya untuk ukuran pendek 9 inchi dikurangi jadi 8 inchi.

“Dulunya, harga tempe ukuran 12 inchi Rp 10 ribu. Sekarang sudah Rp 12 ribu, tentu ukurannya lebih kecil. Sedangkan, ukuran 9 inchi. Dulunya, bisa tiga bungkus Rp 10 ribu, sekarang saya jual Rp 4.500 kepada para pedagang di Pasar Sentra Antasari, Pasar Lama dan para pedagang tempe keliling,” beber Syairozi.

BACA JUGA : Penuhi Ketersediaan Kedelai, Dinas TPH Kalsel Maksimalkan Penangkaran di Tanah Laut

Dalam sehari sebelum harga kedelai impor meroket, Syairozi bisa memproduksi tempe sebanyak dua pikul atau berkisar 120 kilogram. Kini, berkurang hanya 90 kilogram sehari.

“Jauh sekali selisihnya. Bahkan, bukan lagi kehilangan pendapatan, tapi memang tidak ada pendapatan lagi. Semua ini kami kerjakan hanya untuk bertahan hidup. Buat makan saja syukur!” papar Syairozi.

BACA JUGA : Capaian Prestasi Yakinkan Langkah Dinas TPH Kalsel Jadi Lumbung Pangan 2045

Sementara untuk memproduksi tempe dari proses perebusan hingga peragian atau fermentasi membutuhkan waktu sedikitnya empat hari. Dengan cara mengurangi volume dan ukuran produksi tempe, Syairozi bisa bertahan entah sampai kapan. Rumah yang disewanya di pemukiman padat penduduk itu pun disulap Syairozi menjadi pabrik tempe kecil-kecilan.

“Kami berharap pemerintah bisa menurunkan harga kedelai impor. Sebab, untuk impor lokal, kualitasnya lebih rendah dibanding kedelai Amerika. Apalagi, tempe sudah menjadi kebutuhan warga Banjarmasin, bukan hanya di Jawa,” kata Syairozi.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.