Jejak Sunyi Jalan Spritual Sang Guru Politik NU, Idham Chalid

0

WAJAH pahlawan nasional asal Kalimantan Selatan Dr KH Idham Chalid, sangat akrab bagi kita. Uang kertas pecahan Rp 5.000, yang dirilis Bank Indonesia pada 19 Desember 2016, menghiasi lembar alat tukar resmi yang lebih merakyat itu.

KARIER politik yang begitu cemerlang di masa Orde Lama, hingga Orde Baru, membuat sosok ulama sekaligus politisi Banua ini begitu berpengaruh, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didirikannya, diyakini tak lepas dari laku olah batin sang guru politik NU ini.

Pernah menjabat Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Satroamidjojo II, periode 24 Maret 1956-14 Maret 1957 dan Kabinet Djuanda, periode 9 April 1957-10 Juli 1959. Hingga, jabatan Ketua MPR dan DPR pernah direngkuhnya. Hingga sosok Idham Chalid merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), terlama sampai 29 tahun sejak 1956-1984.

BACA : Muhammad Chalid, Sosok Hebat di Balik Sang Guru Politik NU, KH Idham Chalid

Peneliti sejarah UIN Antasari, Humaidy Ibnu Sami mengungkapkan sosok Idham Chalid tak hanya moncer di level lokal dan nasional, namun merambah dunia internasional.

“Sebagai Urang Banjar, orang luar Jawa dan bukan darah biru NU, justru bisa memimpin ormas terbesar yang pernah menjadi partai politik (parpol) terlama di masanya,” ucap Humaidy kepada jejakrekam.com, Minggu (2/2/2020).

Menurut Humaidy, tak mengherankan jika politikus kawakan sekelas Jusuf Kalla pernah menyebut jika Idham Chalid adalah sosok ulama yang moderat, santun, dan cocok di segala situasi, walau sedikit terkesan oportunis.

BACA JUGA : Istiqamah dalam Berjuang, KH Idham Chalid Teladan bagi Politisi Muslim

Peneliti senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini juga mengutip tulisan Ahmad Muhajir dalam buku Idham Chalid, Guru Politik Orang NU (2007), menggambarkan sosok ulama yang lahir dari banyak sungai, melimpah air airnya hingga dipegang Idham Chalid dalam laku filsafat air.

“Apabila air dimasukkan pada gelas, maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Di samping itu, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia,” tutur Humaidy, mengutip tulisan Ahmad Muhajir.

BACA JUGA : Warga Kalsel Membaur dalam Peringatan Haul ke-7 KH Idham Chalid di Cisarua

Namun, di mata dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin ini justru sosok Idham Chalid tak hanya berwajah seorang politisi.

“Idham Chalid merupakan pendidik dan berwajah spritualis atau olah batin yang tak terpisahkan satu sama lain. Tiga hal ini saling bersinergi, berkolaborasi dan berkombinasi pada pikiran dan tindakannya,” ucap Humaidy.

Magister pendidikan Islam jebolan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini justru menduga karena sosok Idham Chalid yang berpegang pada paham ahli sunnah waljamaah (aswaja), tentu tak asing dengan referensi filsafat politik dan fiqih siyasah.

“Mungkin seorang Idham Chalid tidak asing lagi dengan referensi filsafat dan politik Islam, seperti kitab Al-Madinatul Fadilah karya Al-Farabi, Nashihatul Mulk tulisan Imam Ghazali, Muqaddimah disusun Ibnu Khaldun, Al-Ahkamus Sulthaniyah dari pemikiran Imam Al-Mawardi dan Al-Ahkamus Sulthaniyah karya Ibnu Jamaah,” paparnya.

BACA LAGI : Di Harlah NU, KH Ma’ruf Amin Puji Kehebatan Ulama Kalsel KH Idham Chalid

Hanya saja, Humaidy justru melihat masih banyak hal yang belum digali dari sosok Idham Chalid sebagai pendidik. Padahal, menurut dia, dalam bidang pendidikan justru sumber dan faktanya tidak kalah mengesankan dari moncernya bidang politik yang digeluti ulama kelahiran Satui, era Kolonial Belanda ini.

Menurut Humaidy, sosok Idham Chalid sangat berperan dalam berdirinya salah satu pondok pesantren terbesar di Kalimantan Selatan, yakni Ponpes Rakha Amuntai. “Ada pula, Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta, kemudian Darul Qur’an, Cisarua, Bogor, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Solo hingga Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung. Bahkan, ada sekitar 23 buah publikasi tulisan Idham Chalid yang belum dikaji dan diteliti,” urai Humaidy.

foto : laduni.id

Ia pun menyorot tulisan Ahmad Muhajir dalam jejak sunyi Idham Chalid dalam mengamalkan shalawat dan kumpulan hizib Kitab Dala’il Khairat karya Syekh Sulaiman Al-Jazuli dari Tarekat Syadziliyah.

BACA LAGI : Guru Ibad, Ulama Kesohor Martapura yang Merengkuh Jalan Politik

Humaidy mengungkapkan justru sampai sekarang belum diketahui pemahaman seorang Idham Chalid mengenai kitab Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah Al-Askandary atau Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.

“Lantas, bagaimana seorang Idham Chalid bisa terangkat menjadi Mudlir ‘Am Tarikat Muktabarah di NU yang jumlahnya hampir 50 aliran tarikat yang berbeda-beda ? Apa amaliyah laku batinnya sehari-hari selain mengamalkan Dalail Khairat?” cecarnya.

Lantas apa tarekat yang dipegang Idham Chalid, hingga kini masih misteri. Menurut Humaidy, sebagai seorang spiritualis, tentu ada beberapa peristiwa irasional atau supranatural yang mengiringi sepanjang perjalanan karier politiknya dari era penjajahan, Orde Lama hingga Orde Baru.

“Ini harus mendapat perhatian dari segenap kalangan ilmuwan dan akademisi NU khususnya di Kalimantan Selatan untuk menggalinya,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.