Buka Akses, Menuju Episentrum Gempa di Lende Tovea

0

MELINTASI jalur pesisir Jalan Donggala lintas Toli-Toli, reruntuhan bangunan tampak terhampar di sepanjang mata memandang. Sebagaimana dikabarkan Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam perjalanan menuju Desa Lende Tovea, Kecamatan Sirenja, Donggala, sebagian besar wilayah di Pesisir Barat Donggala lintas Toli-Toli, kini seperti kota mati.

GEMPA bermagnitudo 7,4 SR disusul tsunami telah menyapu rata dua daerah utama, Palu dan Kabupaten Donggala, Jumat (28/9) lalu. Kini masyarakat hidup dalam fase darurat tanpa pasokan listrik, kekurangan air bersih dan bahan makanan, juga kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

Kondisi ini pula yang terjadi di Desa Lende Tovea, sebuah desa terpencil, jauh dari pusat Kabupaten Donggala. Mengapa harus jauh sampai ke Lende Tovea, Kecamatan Sirenja? di desa kecil ini, titik episentrum gempa darat dengan kekuatan besar itu terjadi. Ya, gempa 7,4 SR yang memicu tsunami dan gempabumi besar di Palu dan Donggala, pusat getarannya berada dekat sekali dengan Lende.

Pembacaan peta getaran gempa dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, tingkatan guncangan di sekitar Kecamatan Sirenja, mencapai lebih di atas VIII MMI (Modified Mercalli Index). Skala MMI digunakan untuk mengukur kekuatan guncangan gempa bumi.

Lende Tovea yang terisolir

Butuh waktu hampir tiga jam dari Kota Palu bila keadaan normal untuk mencapai Lende Tovea. Namun, kali ini realitanya berbeda, perjalanan tim harus beberapa kali memutar arah karena jalan tertutup longsor.

“Kami harus memutar arah lewat jalan alternatif. Bukan jalan beraspal, lebarnya hanya cukup untuk satu mobil. Bahkan mobil kami harus menyeberang sungai,” ujar Reporter ACTNews Nimas Afridha menceritakan perjalanan Tim ACT menuju Desa Lende Tovea, Senin (1/10).

Longsor sepanjang 200 meter menghalau sejumlah titik jalan utama di Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala. Hal itu membuat akses ke Desa Lende Tovea sulit dilakukan. “Kami menempuh jarak kurang lebih tinggal 50 km lagi, tapi memerlukan waktu sekitar 5 jam,” imbuh Nimas.

Desa Lende Tovea menjadi salah satu daerah terdampak gempa yang cukup parah. Nimas melaporkan, ada kurang lebih 300 kepala keluarga (KK) atau sekitar 1.200 jiwa tinggal di desa tersebut.

“Sampai saat ini terdata 5 orang meninggal dunia dan 90 persen rumah hancur. Mereka juga tidak punya air bersih dan listrik sampai sore ini (1/10) belum menyala,” papar Nimas.

Tulisan dalam sebuah papan yang terpasang di tengah jalan juga menunjukkan betapa duka sedang terjadi di Lende Tovea. “Papan itu tertulis ‘pelan-pelan ada kedukaan’. Papan dipasang agar kendaraan yang melintas melambatkan lajunya. Karena gempa membuat warga Lende meninggal dunia dan mengungsi,” tutur Nimas.

Tidak hanya rumah, sejumlah masjid di desa ini pun mengalami kerusakan cukup parah. “Kami menemukan masjid hanya menyisakan tiangnya. Kubah dan bangunan masjidnya amblas,” cerita Nimas.

Agus Hermawan, salah seorang warga desa juga mengisahkan, selama ini setelah gempa melanda, masyarakat hanya minum air dari sumber mata air seadanya. “Ada sumur buatan di sini, airnya keruh. Tetapi air tetap digunakan warga sebab tidak ada sumber air lagi,” cerita Agus kepada Nimas.

ACT terus berikhtiar mencapai lokasi daerah terdampak bencana di Kabupaten Donggala. Senin (1/10) sore, ACT menyelesaikan upaya pendataan dan menyisir kondisi di Desa Lende Tovea yang terisolir pasca gempa.

“Sampai saat ini belum ada bantuan yang masuk ke desa ini (Lende Tovea), ACT berhasil menjangkau daerah ini dan Insya Allah akan melakukan yang terbaik untuk membersamai masyarakat terdampak gempa, termasuk di wilayah paling dekat dari episentrum ini, Desa Lende Tovea,” pungkas Nimas.(jejakrekam)

Penulis Gina Mardani Cahyaningtyas
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.