Menepis Fenomena “Biar Tekor Asal Tersohor” di Hari Lebaran

Oleh : Wati Umi Diwanti

0

LEBARAN identik dengan mudik, pakaian baru dan bagi-bagi amplop. Tentu ini bukanlah perkara buruk. Dalam Islam bahkan diperintahkan untuk menyambung silaturahim. Begitupula memakai pakaian terbaik di hari raya juga dianjurkan. Pun demikian memberi hadiah. Bahkan Rasulullah Saw pernah berwasiat “saling memberi hadiahlah agar kalian saling mencintai”.

YANG disayangkan adalah jika mudik, berbagai atribut pakaian hingga amplop pemberian itu salah tujuan. Bukan lagi menjalankan ajaran agama namun berpindah atau setidaknya terwarnai dengan budaya kapitalis. Yakni menjadi ajang unjuk kekayaan. Tak sedikit yang akhirnya memaksakan dengan dengan berbagai pinjaman. Tak jarang terlibat ribawi dalam merayakan hari yang fitri. Hingga ada istilah “biar tekor (rugi) asal tersohor”.

Fenomena ini bisa disebabkan karena, pertama, fitrah manusia menginginkan sanjungan, pujian dan penilaian yang terbaik dimata manusia lainnya. Tanpa ada pemahaman agama yang baik naluri yang satu ini sulit dikendalikan. Setiap kita harusnya memahami setiap perkara akan dimintai pertanggung jawaban. Termasuk dalam membelanjakan harta. Harus mendahulukan kewajiban, kesunahan, jika masih ada sisa barulah untuk yang mubah. Itu pun harus dihindarkan dari kesia-siaan.

Jikapun harus berhutang maka itu hanya jika perkara wajib yang kekurangan. Atau untuk yang sunah yang ke depannya memang sudah dipredikisi ada kemampuan untuk membayarnya. Bukan untuk yang mubah apalagi untuk sekedar bermewah-mewah. Hutang yang diambil pun harus murni hutang tanpa unsur riba. Jika pembelian kredit yang jadi pilihan maka haruslah yang sesuai syariat.

Kedua, tak bisa dipungkiri budaya kapitalis mewarnai seluruh sendi kehidupan masyarakat. Pemahaman individu saja kadang tak cukup kuat mengangkal berbagai iklan dan opini ‘gemerlapan’ yang bertebaran. Penilaian masyarakat pun mengarah pada aspek fisik duniawi. Seseorang dianggap sukses jika terlihat punya ini dan itu. Ditambah berbagai kemudahan berbagai transaksi kredit. Akhirnya banyak yang tak sadar memaksakan diri, dan terlibat hutang sana sini.

Yang lebih ngeri daripada tumpukan hutang adalah berujung pada meningkatnya tingkat kriminalitas. Mulai dari pencurian kue kering, uang –bahkan uang infaq rumah ibadah– seperti yang diunggah CNN di utube beberapa waktu lalu (https://www.youtube.com/watch?v=-Cm3Hysll4A). Hingga ada juga pencurian sepeda motor seperti yang dilakukan IG, warga Dusun Wonosobo, nekat membawa lari sepeda motor milik temannya di wilayah Pajang, Solo, demi memenuhi hasratnya memiliki motor saat Lebaran. (solopos.com, 23/05/18)

Kondisi ini tentu sangat meresahkan dan mengotori kesucian hari yang fitri. Peristiwa ini sudah menjadi rutinitas setiap tahun jelang lebaran. Padahal pihak kepolisian pun selama ini telah melakukan berbagai upaya penjagaan keamanan bahkan lebih ketat tiap jelang lebaran. Sudah biasa bagi mereka tak bisa menikmati cuti bersama sebagaimana pegawai negara lainnya.

Karenanya perlu adanya pencegahan secara mendasar. Salah satunya adalah meningkatkan pemahaman agama setiap warga negara. Terutama tentang hakikat hari raya, yang sebenarnya untuk merayakan keberhasilan melakukan banyak amal solih di bulan Ramadhan. Tentunya dengan bersyukur dan istiqomah dalam berbagai amalan kebaikan yang sudah dibiasakan saat Ramadhan. Juga untuk menahan diri dari segala yang dilarang agama.

Hanya saja, sangat perlu untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi secara merata. Hal ini penting, karena kemiskinan memang menjadi salah satu celah seseorang berbuat kejahatan. Sebagaiman disabdakan oleh Rasulullah “Hampir-hampir kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran”. (HR. Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman [no.6612])

Maka perlu sekali sebuah sistem kehidupan yang mampu menjamin kebutuhan setiap masyarakat. Meskipun para ahli hadist kebanyakan menyatakan hadist tersebut lemah, jikapun benar maka dimaknai sebagai miskin hati, yakni tidak pernah puas terhadap apa yang diberi Allah SWT. Jikapun demikian maka tetaplah solusinya perlu peran sistem untuk memberikan penyadaran masal di tengah masyarakat akan bahayanya sifat tak puas ini.

Hal ini tak bisa hanya delam bentuk seruan, melainkan harus adanya pengkondisian lingkungan. Sebab selama ini, tentu ceramah para ulama baik langsung maupun tidak langsung sudah banyak ke arah sana. Merebaknya dakwa lewat sosial media hampir bisa dipastikan semua orang sebenarnya sudah pernah mengetahui. Namun kenapa sama sekali tak memberikan perubahan. Ini tidak lain tontonan masyarakat masih didominasi yang sifatnya materialistis.

Dalam hal ini. negaralah yang mampu melakukan pengkondisian. Baik mengkondisikan masyarakat menjadi kaya secara fisik dalam artian terpenuhinya segala kebutuhan. Maupun pengkondisian menjadi kaya hati. Tentu dengan terlebih dulu memberikan contoh nyata dengan sederhananya kehidupan para penguasa dan pejabat negara. Kemudian setting-an media harus dikendalikan tidak profit oriented. Namun lebih mementingkan aspek pembangunan karakter masyarakat.

Islam telah memberikan contoh terbaik terhadap penerapan kedua hal tersebut. Bersahajanya para penguasa dan ketiadaan provokasi media yang membuat manusia haus harta. Di sisi lain, sebisanya negara memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Hal ini bukanlah perkara sulit saat Islam diterapkan secara totalitas oleh negara. Dengannya, budaya “biar tekor asal tersohor” tak lagi melanda masyarakat. Otomatis akan menekan kriminalitas. Lebaran pun lebih bernas. Allahu a’lam.(jejakrekam)

Penulsi adalah Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro Martapura, Revowriter Kalsel

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/06/09/menepis-fenomena-biar-tekor-asal-tersohor-di-hari-lebaran/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.