RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Melanggengkan Liberalisme

Oleh: Masni., S.Pd

0

JAUH sebelum Islam datang, nasib kaum perempuan menjadi kisah yang sangat memilukan untuk diceritakan. Kaum perempuan hanya dianggap sebagai pembawa aib, tidak berguna, budak seks bahkan boleh diperjualbelikan.

KONON, dikisahkan oleh Umar ibn Khattab RA, sebelum dirinya memeluk Islam. Ia dan para ayah yang lain kala itu mengidap misogyny (kebencian terhadap perempuan) khususnya anak perempuan. Jika seorang Ayah mendengar bahwa ia akan memiliki calon bayi perempuan, maka ia tidak akan sudi dengan kelahiran anaknya nanti. Sehingga yang terjadi adalah setiap bayi perempuan yang dilahirkan pada akhirnya dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup. Sebab mereka merasa bahwa memiliki anak perempuan hanyalah memelihara aib yang membawa keburukan dalam kehidupan.

Kemudian Islam datang sebagai agama, syariat serta perisai bagi ummat, dengan seperangkat aturan yang kompleks serta terperinci, Islam menjaga kehormatan dan kemuliaan kaum perempuan. Hingga terdapat satu surat didalam al-Qur’an yang nama suratnya memiliki arti “perempuan”.

Islam menyamakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ibadah dan muamalah bahkan perihal sanksi dan uqubat. Meski tidak dapat dipungkiri dari segi fitrah antara laki-laki dan perempuan memang memiliki ciri khas masing-masing.

Namun belakangan, seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kaum perempuan merasa bahwa posisi mereka jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Sebab, laki-laki boleh melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Sedang bagi kaum perempuan, meski mereka memiliki banyak potensi tapi lagi-lagi mereka akan kembali kepada kodratnya, yaitu bekerja di dapur, sumur dan kasur. Pada akhirnya, kaum perempuan yang merasa bahwa mereka tidak bebas karena berbagai “kekangan”, mulai memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap sebagai hak mereka. Salah satunya dengan menggelar aksi Women’s March 2018 tepatnya pada Sabtu 3 Maret 2018 di kawasan MH Thamrin, Jakarta dengan tuntutan Rancangan Undang-Undang Pengahapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

RUU PKS Bukti Liberalisasi

Aksi yang dilakukan oleh kaum Fenimisme untuk memperjuangkan sesuatu yang mereka sebut sebagai hak pada moment Women’s March sejatinya adalah tuntutan untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU PKS. Desakan yang dilakukan oleh kaum feminisme yakni meminta DPR untuk segera mensahkan RUU PKS. Hal ini memberikan kesan bahwa bentuk keprihatinan terhadap kekerasan seksual yang menimpa anak-anak dan perempuan sudah sangat tinggi.

Meski demikian, seperti yang dikutip melalui pernyataan Ummy Hanik dari Komunitas Masyarakat Penolak RKUHP pada laman Murianews (12/03/2018) menyebutkan bahwa “Di Jateng sendiri selama Januari 2018 sampai pertengahan bulan ini saja sudah ada 704 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 78,80 persen jadi korban kekerasan seksual, 11,00 persen kekerasan fisik dan 10,20 persen kekerasan psikis”, katanya.

Namun faktanya, aksi Women’s March yang bertajuk “Lawan Bersama” untuk menyuarakan delapan tuntutan pada RUU PKS sejatinya adalah untuk melanggengkan sekulerisme yang telah lama bercokol dinegeri ini. Bagaimana tidak, RUU PKS yang dianggap sebagai ‘senjata’ untuk menjerat tersangka eksploitasi seksual adalah bagi mereka yang melakukan ancaman kekerasan, tipu daya dan rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, ataupun penyalahgunaan kepercayaan agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau dengan orang lain, atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain seperti yang dimuat pada pasal 13.

Maka secara tidak langsung, jika hasrat seksual itu dilakukan berdasarkan persetujuan orang yang bersangkutan dan orang yang bersangkutan akan mendapat keuntungan maka orang tersebut tidak akan dikenai sanksi. Maka wajar jika kemudian mereka menyerukan propaganda“My body, My otority”. Jelaslah bahwa tujuan dari RUU PKS ini untuk melanggengkan liberalisme yang telah terlanjur lama mengakar di negeri ini. Tidak hanya hasrat seksual, bahkan dalam berbusana pun kaum feminis meminta agar tidak ada peraturan baku yang mengatur hal itu. Sebab, mereka telah digempur dengan budaya berbusana ala Barat.

Hanya Islam yang Memuliakan Perempuan

Bak pepatah yang mengatakan bahwa “Tidak akan ada asap jika tidak ada api”. Sama halnya dengan berbagai kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan bahkan anak-anak di negeri ini, tidak lain dan tidak bukan adalah karna adanya faktor yang mendukung terjadinya kekerasan seksual tersebut. Salah satu yang menjadi faktor penyebab kekerasan seksual, seperti slogan yang diklaim oleh para kaum feminism, “My body, My otority” menjadi jalan pembuka menuju kepada tindakan pelecehan terhadap kaum perempuan. Hal ini dikarenakan tubuh yang termasuk titipan dari sang Khalik dianggap sebagai anugrah yang dapat dijadikan hak milik. Sehingga, mereka merasa bahwa mereka bisa melakukan apa saja yang berkaitan dengan tubuhnya tanpa harus memperhatikan nilai-nilai maupun norma yang ada.

Dalam sistem Islam, segala celah yang menjadi jalan menuju kekerasan seksual akan ditutup. Perlindungan dan penjagaan kehormatan perempuan bahkan seluruh rakyat akan dijamin oleh Negara yang menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai aturannya. Pasalnya, syariat Islam yang diterapkan meliputi penjagaan akidah, melestarikan eksistensi manusia, pemilikan individu, keamanan, menjaga jiwa dan akal bagi setiap warganya, termasuk menjaga kemuliaan dan kehormatan kaum perempuan. Dengan ketegasan sanksi yang akan diberlakukan bagi para pelaku kekerasan seksual dan tindak krminal lainnya terbukti mampu menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.(jejakrekam)

Penulis adalah Member of Akademi Menulis Kreatif

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.