Penutupan Dermaga Ferry Alalak-Jelapat Jadi Efek Kejut

0

PAGI hari ditutup petugas Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, namun menjelang siang hari atau waktu pulang sekolah, Dermaga Penyeberangan Alalak-Jelapat akhirnya dibuka lagi oleh Wakil Walikota Hermansyah bersama Dinas Perhubungan Provinsi Kalimantan Selatan, sekitar pada Selasa (6/2/2018) pukul 12.00 Wita. Penutupan sementara ini dipicu akibat belum tercapainya penerapan tarif atau pas masuk ke dermaga yang berada di kawasan Pasar Terapung Kuin, Kecamatan Banjarmasin Utara.

KEPALA Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, Ichwan Noor Chalik mengungkapkan penutupan Dermaga Penyeberangan Alalak-Jelapat itu merupakan bentuk tindakan efek jera kepada para pengelola kapal ferry yang tak menaati kesepakatan awal pada 2012 lalu.

“Padahal, berdasar kesepakatan pada 3 Oktober 2012 di Dinas Perhubungan Kalsel, sudah disepakati kenaikan tarif penyeberangan Alalak-Jelapat untum umum dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000. Komponen tarif itu jelas, yakni tarif dasar Rp 4.500 untuk pengusaha kapal ferry, termasuk Rp 1.000 biaya asuransi jiwa, karcis, keamanan dan sandar. Sedangkan, Pemkot Banjarmasin hanya meminta Rp 500 untuk jasa  kepelabuhan,” ucap Ichwan Noor Chalik kepada jejakrekam.com, Selasa (6/2/2018).

Namun, menurut mantan Kepala Satpol PP Banjarmasin, justru negosiasi di Dishub Provinsi Kalsel itu dijadikan alasan para pengelola kapal ferry sebagai senjata mengatakan pihak Dishub Banjarmasin menutup dermaga penyeberangan. “Mereka memfitnah kami. Padahal, kenaikan tarif penyeberangan sudah disesuaikan dengan peraturan daerah. Sementara, Pemkot Banjarmasin hanya menerima Rp 500 per kendaraan bermotor sebagai biaya pemeliharaan pelabuhan dan lainnya,” kata Ichwan.

Selama ini, masih menurut dia, pihak pengelola kapal ferry penyeberangan Alalak-Jelapat tak mau menaati kesepakatan, sehingga mau tak mau harus diambil tindakan tegas dengan menutup dermaga penyeberangan yang berada di wilayah Banjarmasin. “Dermaga itu milik Pemkot Banjarmasin. Sedangkan, untuk kapal ferry menjadi kewenangan Dishub Provinsi Kalsel, karena melintas dua daerah Banjarmasin dan Batola,” ucap Ichwan.

Dia menegaskan selama ini, hampir puluhan tahun justru pengelola kapal ferry tak pernah menyetorkan biaya pelabuhan Rp 500 ke kas pemerintha kota. “Makanya, penutupan sementara dermaga terpaksa kami ambil pada pagi hari. Namun, siangnya kembali dibuka. Tindakan ini hanya shock therapy,” cetus mantan Plt Sekdakot Banjarmasin ini.

Ichwan mengatakan keputusan itu memang akan mengundang reaksi dari masyarakat pengguna jasa penyeberangan Alalak-Jelapat. Apalagi, di kawasan itu, terdapat 6 buah kapal ferry yang dioperasikan, yakni tiga buah milik warga Jelapat, dan tiga buah milik warga Alalak Selatan, Kecamatan Banjarmasin Utara.

“Dari temuan kami di lapangan, malah mereka menaikkan tarif semuanya. Pada malam hari, mereka menarik pembayaran hingga Rp 10 ribu per kendaraan bermotor. In jelas namanya pungutan liar (pungli). Nah, penutupan itu akhirnya membuat mereka mau mengikuti kesepakatan. Sebab, pas masuk Rp 500 itu digunakan untuk pemeliharaan pelabuhan, biaya dan gaji para petugas di sana. Selama ini, tak pernah mereka setor, begitu ditutup sementara, baru mereka menyekapatinya,” tegas Ichwan.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : IG Warga Banua

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.