Ketika Kegagalan Bangunan Berujung Masalah Hukum

0

KEGAGALAN bangunan selalu identik dengan permasalahan hukum. Ketika ada insiden atau temuan bangunan fisik tak beres, maka harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan para pelaku usaha jasa konstruksi, khususnya mencakup konsultan dan kontraktor seperti ketakutan saat hendak menggarap proyek.

KEGELISAHAN ini disuarakan M Anshari dari DPP Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Kalsel dalam Seminar Peran dan Tanggungjawab Profesi Tenaga Ahli pada Kegagalan Bangunan yang dihelat Intakindo di Graha Abdi Persada, Kompleks eks Gubernur Kalsel di Banjarmasin, Sabtu (7/10/2017).

Menurut Anshari, dalam UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 yang telah menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1999, sangat jelas masalah keperdataan dan administrasi lebih didahulukan dalam menuntaskan sebuah proyek yang dianggap bermasalah. “Anehnya lagi, ketika proyek itu telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tak ada kerugian negara, justru aparat penegak hukum menggunakan dasar audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kami juga bingung mana yang dipakai, padahal jelas fungsi auditor hanya BPK, bukan BPKP,” cetus Diding, saat bertanya ke narasumber seminar.

Menjawab hal itu, guru besar hukum administrasi dan konstruksi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof DR HM Hadin Muhjad mengakui dalam aspek hukum dikenal ada tiga sanksi yakni administrasi, perdata dan pidana. “Dari surat edaran Mahkamah Agung sudah jelas, jika telah diselesaikan secara administrasi dan perdata, maka aspek hukum pidana harus dikesampingkan,” kata Hadin.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalsel ini menegaskan pengenaan sanksi atau penerapan hukum pidana merupakan pamungkas, ketika administrasi dan perdata tidak bisa diselesaikan. “Inilah yang rancu di negeri kita. Jika kita belajar dari Belanda, di sana apa yang diajarkan di mimbar kampus, maka seperti itulah praktiknya. Berbeda di negeri kita, justru teori-teori hukum yang ada seperti dikesampingkan,” ucapnya.

Hadin juga menegaskan posisi auditor yang sah menurut peraturan perundang-undangan adalah BPK. Nah, kata Hadin, yang berhak menentukan adanya kerugian negara atau tidak dalam sebuah proyek bermasalah, misalkan tentu mengacu ke hasil audit BPK. “Memang, BPKP juga berhak digunakan aparat penegak hukum apakah kepolisian atau dari kejaksaan. Namun, hasil audit dari BPKP ini hanya berupa keterangan saksi ahli,” tutur Hadin.

Dia juga mengeritik auditor BPKP yang hanya memeriksa dokumen yang diserahkan aparat penegak hukum, bukan melakoni audit yang menyeluruh dalam sebuah kasus hukum. “Makanya, hasil audit dari BPKP itu saat diperiksa di pengadilan hanya dijadikan keterangan ahli,” cetus Hadin.

Senada Hadin Muhjad, Ketua Umum DPP Intakindo Dr Djoko Soepriyono mengatakan para pelaku usaha konstruksi dan konsultan bisa menunjukkan surat edaran dari Jaksa Agung yang menegaskan adanya aspek prestasi dan wan prestasi dari para pihak terkait proyek yang mengalami kegagalan bangunan.

“Memang, BPK dan BPKP merupakan lembaga auditor yang kerap ditunjuk atau diminta bantuannya dalam menghitung potensi kerugian keuangan negara dalam proyek yang bermasalah. Namun, patut diingat dalam audit itu ada tiga bagian, yakni audit kinerja dan keuangan, dan terpenting itu adalah audit investigasi,” tuturnya.

Djoko mengakui dengan adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) justru semua orang berhak menghitung potensi kerugian keuangan negara, baik BPK atau BPKP. “Bahkan, aparat penegak hukum begitu mendapat laporan dari masyarakat soal adanya proyek yang gagal atau mengandung masalah, terhitung dalam tempo 30 hari harus ditindaklanjuti. Tentu, untuk menemukan potensi kerugian keuangan negara dan unsur melawan hukumnya, aparat penegak hukum menggandeng auditor BPKP,” tutur Djoko.

Menurut dia, bagaimana pun aparat kepolisian atau kejaksaan tentu tak punya keahlian untuk menghitung potensi kerugian negara, sehingga harus menggandeng ahli, termasuk di dalamnya adalah auditor BPK. “Itu jika memang ada potensi tindak pidana, berbeda jika hanya bersifat administrasi atau perdata, tentu ada kewajiban mengembalikan kerugian negara terhadap sebuah proyek fisik yang bermasalah,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi G Sanusi

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Didi G Sanusi

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.