Pemindahan Ibukota ke Kukar-PPU Jangan Sampai Rusak Hutan Kalimantan

0

KABUPATEN Kutai Kertanegara (Kukar) dan Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur ditunjuk Presiden RI Joko Widodo sebagai pengganti DKI Jakarta untuk dijadikan ibu kota negara yang baru melalui proses kajian matang.

MENYIKAPI hal itu, Hana Soraya Abdis, mahasiswi asal Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengungkapkan posisi Kaltim sangat dilematis. Sebab, pemindahan ibukota negara memiliki kelebihan maupun kekurangan bagi Kalimantan dan Jakarta sendiri.

Hana menambahkan, dari segi lingkungan tentu bisa membuat polusi Jakarta lebih berkurang. Namun, di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat itu berpotensi bisa merusak Kalimantan. Ini mengingat, pembangunan bakala da di mana-mana dan otomatis mengorbankan banyak lahan.

“Terkecuali, jika pemerintah sudah mempersiapkan pembangunan infrastruktur dan sistem yang memang ramah lingkungan. Saya cuma takut karena pemindahan ibukota ini bakal mengorbankan hutan-hutan di Kalimantan,” ucap mahasiswi jurusan sastra Inggris ini kepada jejakrekam.com, Rabu (28/8/2019).

BACA : Inilah Bukti Hutan Kalimantan Kaya Flora dan Fauna

Baginya, jika ngotot menjadikan Kaltim sebagai ibu kota, pemerintah bisa lebih belajar lagi dari plus minusnya Jakarta sebagai ibukota sebelumnya. Termasuk, bisa banyak belajar dari negara-negara lain buat mengembangkan. Menurut Hana, tak hanya ibukota tetapi negarasecara keseluruhan, khususnya untuk cara menyejahterakan masyarakat

Perempuan kelahiran Jakarta ini menjelaskannya, salah satu hal yang mesti diperhatikan adalah kesehatan masyarakat dengan mulai membatasi penggunaan transportasi pribadi, lebih banyak pilihan transportasi umum yang tentu ramah lingkungan, pengelolaan sampah yang benar. Meski dirinya tak menampik akan adanya pro dan kontra dengan adanya kebijakan tersebut.  “Tetapi kalau untuk kehidupan yang lebih baik kenapa tidak?,” cetusnya.

 

Menurut Hana, perubahan iklim itu sudah sesuatu yang darurat, dan dalam pembuatan ibukota baru tak bisa dihindarkan atas perubahan lingkungan sekitar.  Apalagi, bencana alam yang terjadi dalam tahun ini merupakan faktor utama dari aktivitas manusia.

“Pokoknya pemerintah dan masyarakat juga mesti bekerja sama dan lebih open minded, jika perubahan iklim yang terjadi sekarang ini karena ulah manusia,” ujarnya.

Mantan Staf Database World Cleanup Day 2018 ini pun berharap Kaltim bisa memberikan contoh bagi kota-kota di Indonesia terkait infrastruktur. Termasuk memberi catatan, jangan sampai lahan terbuka sedikit.

BACA JUGA : Bukan Hanya Fisik, Pemindahan Ibukota Harus Perhatikan Faktor Non-fisik

Sebab, papar Hana, jika mengacu pada data yang pernah dia baca, luas lahan terbuka Jakarta jauh lebih sedikit dibandingkan luas lahan untuk pembangunan mall. “Dan itu jauh dari angka minimal dari standar yang ditetapkan. Miris sebenarnya,” katanya.

Jika mengutip di katadata.co.id, berdasar data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di DKI Jakarta mencapai 3.131. Ruang terbuka hijau ini berupa taman kota, taman lingkungan, taman interaktif dan juga jalur hijau jalan. Jakarta Pusat menjadi wilayah dengan RTH terbanyak, yaitu sebanyak 913 RTH.

Meski jumlahnya sudah banyak tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta, tapi luas RTH di Jakarta hanya berjumlah 9,98 persen dari total luas wilayah. Angka ini masih jauh dari 30 persen yang seharusnya dimiliki oleh DKI Jakarta. Selama ini pembuatan RTH terkendala pembebasan lahan. Terlalu banyak masalah dalam proses pembebasan lahan dan pembelian lahan.

BACA LAGI : Kaltim Jadi Ibukota, Paman Birin: Rakyat Kalsel Bersyukur

Selain itu, Hana menginginkan pembangunan calon ibukota harus lebih visioner dan mempertimbangkan perihal krisis global yang lagi terjadi. Apalagi adanya prediksi dari hasil penelitian oleh lembaga Think Tank asal Australia menyebutkan bahwa peradaban manusia akan berakhir pada tahun 2050.

“Penelitian tersebut menyebutkan dampak perubahan iklim menjadi penyebab terburuk dari musnahnya umat manusia,” ucapnya.

Dilansir dari Daily Mail, penelitian tersebut juga telah diterbitkan oleh Breakthrough National Centre for Climate Restoration, sebuah lembaga yang berfokus pada kebijakan iklim. Berdasar penelitian, para ilmuwan percaya masalah perubahan iklim akan sangat memengaruhi bumi dalam waktu dekat. Terlebih saat ini krisis iklim lebih besar dan lebih kompleks daripada yang pernah dialami sebelumnya.

“Tentunya ini menjadi mimpi buruk yang akan mengakhiri peradaban manusia pada tahun 2050 mendatang,” kata Hana lagi.

Untuk itu, Hana mengimbau masyarakat sebagai makhluk yang berakal, sudah sepatutnya mengubah sikap dan lebih berempati sama lingkungan sekitar dan bumi. “Sebab, bumi tak perlu diselamatin, tetapi kita yang mesti menyelamatkan perilaku kita sendiri agar masih bisa hidup,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.