Memperjuangkan Hak-hak Kaum Hawa di Politik dan Keadilan Ekologis

0

TERPINGGIRKANNYA isu-isu perempuan dalam kebijakan publik, mendorong LK3 untuk mengangkat isu tersebut sebagai tema dialog dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret.

LEMBAGA Kajian Keislamaan dan Kemasyarakatan (LK3) menganggap isu ini relevan, karena pada Pemilu 2019, isu ini sebagai pesan terutama kepada para wakil rakyat yang terpilih dan aktivis perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas agar mendorong kebijakan yang berperspektif gender. Kalau mencermati kebijakan yang ada di beberapa daerah, tampak bahwa kebijakan yang dibuat alih-alih melindungi perempuan, tapi justru sebaliknya.

Perempuan lebih ditempatkan sebagai objek bukan sebagai subjek, yang seharusnya terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, dimana pengalaman mereka menjadi basis pengetahuan dalam merumuskan sebuah kebijakan.

Ada banyak persoalan di Kalsel yang mesti menjadi perhatian dan penting melibatkan kelompok perempuan, dan salah satunya adalah masalah keadilan ekologis yang selama ini tidak disadari bahwa persoalan lingkungan akan sangat berdampak pada perempuan.

Dialog kerjasama LK3 dan Walhi menghadirkan aktivis perempuan dan Direktur Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Nia Syarifuddin, juga menghadirkan aktivis lingkungan yang juga Manager Data dan Kampanye Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat, untuk menyampaikan bagaimana kondisi Kalsel dari sisi lingkungan, dengan peserta dialog perwakilan berbagai organsasi perempuan baik berbasis keagamaan maupun sosial serta komunitas yang diinisiasi oleh LK3.

BACA : Pengawasan Partisipatif di Pemilu 2019, LK3 Banjarmasin Gandeng Bawaslu Kalsel

Direktur LK3 Rafikah menyatakan, kegiatan ini merupakan salah satu cara LK3 merefleksikan Hari Perempuan Internasional, yang akan selalu menjadi pengingat bahwa ada banyak persoalan perempuan yang masih menjadi PR bersama, salah satunya adalah kebijakan yang tidak kondusif buat perempuan.

“Kegiatan ini digagas dengan mengambil tema Kebijakan Berperspektif Gender; Upaya Mewujudkan Tatanan Kehidupan yang Demokratis,” katanya.

Selanjutnya kegiatan yang dimoderatori Mariatul Asiah ini, menyampaikan dalam pengantar dialog ini dengan mengatakan bahwa istilah kebijakan sudah sangat sering dilakukan, namun bagaimana kita mengenali bahwa kebijakan ini sudah berperspektif gender atau tidak, dan bagaimana kita mendorong agar kebijakan yang dihasilkan para wakil rakyat ini kebijakan yang kondusif buat semua.

Dialog diawali dengan paparan dari Rizqi Hidayat mengajak kepada semua peserta untuk melihat wajah muram Kalsel, yang memperlihatkan bagaimana ruang kehidupan masyarakat Kalsel yang sangat terbatas, bahkan berimpitan dengan ruang industrialisasi, seperti pertambangan, sawit, dan lainnya.

Dalam situasi seperti ini, posisi masyarakat selalu terpinggirkan dan terkalahkan dengan kepentingan corporate yang punya skala lebih besar dan dianggap berkontribusi langsung terhadap PAD. Cara pandang yang demikian yang sangat disayangkan Manager Walhi Kalsel ini.

BACA JUGA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Tinggi di Banjarmasin

Dalam tayangan tersebut juga dicuplikan testimoni 2 orang masyarakat yang mengalami langsung bagaimana mereka harus bertahan di tengah kepungan korporasi yang ingin merampas lahan mereka dengan berbagai argumentasi yang sudah siapkan.

Juga disampaikan persoalan Pegunungam Meratus yang saat ini masih terus diupayakan untuk ditambang oleh pihak-pihak yang punya kepentingan besar termasuk pemerintah daerah dengan konsep Geopark-nya.

Dalam paparannya ini, Rizqi meminta dukungan semua pihak agar mendukung Save Meratus yang saat ini diperjuangkan oleh para aktivis. “Karena bicara Pegunungan Meratus yang ada di hulu, dampaknya juga akan terasa di hilir. Dalam hal ini tidak saja soal terganggunya ekologi tetapi juga soal ketersediaan air dan lainnya. Dan ini semua adalah kebutuhan yang sangat mendasar dari setiap keluarga,” bebernya.

Diungkapkannya, kalau melihat siapa yang paling terdampak maka jawabannya adalah perempuan, karena selama ini merekalah yang paling tahu dan mengenali ruang domestik, dimana mereka selama ini dianggap sebagai penghuni ruang tersebut.

Nia Syarifuddin di awal pemaparannya membongkar bagaimana hubungan konstruksi sosial peran laki-laki dan perempuan yang  seringkali disebut dengan gender ini dengan kebijakan. Ternyata merupakan salah satu penyumbang, sehingga impikasinya sampai pada mengapa kebijakan yang dihasilkan tidak berpihak pada perempuan. Kurangnya kesadaran kritis perempuan akan ketidakadilan gender ini salah satunya disebabkan masih kuatnya budaya patriakhi yang memposisikan laki-laki di atas perempuan, sehingga membuat perempuan tidak berani untuk mengambil peran yang lebih.

BACA JUGA : Aktivis Perempuan Kalsel Sebut Caleg Kaum Hawa Hanya Pelengkap Penderita

Ia mengatakan,  dikarenakan pembedaan tersebut, maka pengalaman yang dimiliki perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki, sehingga mereka sangat jarang mau terlibat di ruang publik dan bahkan kalaupun dipaksa hadir, maka kehadiran mereka lebih pada memenuhi keterwakilan perempuan.

“Belum sampai pada bagaimana kehadiran perempuan benar-benar dianggap ada dan memberikan kontribusi bagi daerah,” tegasnya.

Juga disampaikan mengenai dukungan dan apresiasinya kepada para perempuan yang menjadi caleg, dan berbagai trik sampaikan agar kehadiran perempuan di parlemen benar-benar bermakna.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.