Aktivis Lingkungan Terus Perjuangkan Tolak Tambang di Kawasan Pegunungan Meratus

0

PADA 30 dan 31 Juli 2018, di Gedung YTKI, Jakarta, perwakilan masyarakat yang berjuang untuk energi bersih berkeadilan serta menolak tambang batubara dan PLTU batubara dari 12 daerah di Indonesia, membangun kekuatan dan saling bersolidaritas untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, bebas dari ancaman tambang batubara dan PLTU batubara.

DI tengah tarik ulur perdebatan tentang DMO batubara, pemerintah abai melihat dampak tambang batubara dan PLTU batubara terhadap keberlanjutan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.

Jika dampak lingkungan dan keselamat masyarakat dihitung dalam nilai batubara, ditambah harga batubara yang tergantung pasar internasional, maka batubara bukan lagi sumber energi yang murah.

Selain itu, program 35 ribu megawatt pemerintahan yang sebagian besar berupa PLTU batubara merupakan kemunduran dari komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon, sebagaimana disebutkan dalam NDC Indonesia.

PLTU batubara  hanya mencemari lingkungan tapi juga sarat akan korupsi.  Praktek suap untuk memuluskan pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 IPP adalah contoh nyata.

PLTU mulut tambang tersebut pada awalnya tidak ada didalam program 35 ribu megawatt dan RUPTL PLN, dipaksakan untuk masuk ke dalam perencanaan karena ada kepentingan pemodal untuk memperoleh keuntungan dari sebesar-besarnya dari program 35 ribu megawatt.

Di hilir, dampak PLTU batubara selain mencemari dan merampas ruang hidup masyarakat, juga sarat dengan intimidasi dan kekerasan. Hal ini terjadi di berbagai daerah, salah satunya kriminalisasi 3 orang warga Indramayu setelah gugatan warga terhadap izin lingkungan PLTU indramayu 2 dimenangkan.

Selain tiga orang tersebut ada empat orang warga lain yang sekarang sedang diproses pengadilan dengan tuduhan pengeroyokan. Mereka sudah mengalami penahanan selama lima bulan di dalam rumah tahanan.

Di sektor hulu, penambangan barubara juga tidak berhenti dan berkurang. Kebijakan untuk melakukan moratoriun batubara tak junjung dilakukan pemerintah.

Jumlah batubara yang ditambang bukannya menurun malah meningkat menjadi 465 juta ton per tahun, padahal didalam RPJMN pada tahun 2019 jumlah batubara yang ditambang dibatasi hanya sebesar 400 juta ton.

Lelang Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) juga dilakukan kembali, padahal seperti diketahui penertiban IUP yang ada saja belum selesai.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan, saat ini Walhi sedang menggugat penerbitan SK menteri ESDM terhadap IUP OP tambang batubara di Hulu Sungai Tengah (HST) yang yang ditentang oleh masyarakat dan juga pemerintah daerah.

Gugatan hukum tersebut juga merupakan upaya melindungi wilayah kelola rakyat dan menyelamatkan rimba terakhir Meratus.

Menurutnya, pemerintah harus menghentikan ketergantungan terhadap energi kotor batubara, serta segera beralih menuju energi terbarukan dan mempercepat pencapaian terget bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025 dengan mendorong perkembangan energi terbarukan skala kecil serta memberi ruang bagi keterlibatan rakyat sebagai produsen dan konsumen energi.

“Selain itu, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup juga harus dihentikan, karena mereka berjuang untuk mempertahankan ruang hidup dan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.