Ghouta Berdarah, Akankah Kita Diam Saja?

Oleh: Erna Ummu Azizah

0

PERIH rasanya batin ini melihat anak-anak Ghouta menjerit, menangis, terluka dan bersimbah darah. Mereka ketakutan, bingung mencari perlindungan. Rudal dan mortir menyerang mereka bak hujan yang berjatuhan. Senjata kimia pun diluncurkan tanpa belas kasihan. Rumah-rumah, gedung-gedung porak poranda. Tubuh-tubuh mungil tak berdosa penuh debu di bawah reruntuhan ditemukan tak bernyawa. Ya Allah Ya Robb.. betapa hinanya kami sebagai saudara mereka, hanya bisa menahan tangis tak berdaya.

GHOUTA timur, daerah pinggiran Damaskus Suriah, kondisinya saat ini sungguh mengerikan, tak ubahnya seperti ‘neraka’ di muka bumi. Rezim Bassar Assad dengan dibantu dan didukung oleh sekutunya Rusia secara kejam membombardir pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah, siang malam tanpa henti. Meskipun serangan itu dilakukan dan di klaim untuk menyerang dan menumpas kelompok pemberontak ternyata juga membunuh ratusan warga sipil disana.

Kelompok Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Kamis (22/2), mengatakan, serangan selama lima hari di Ghouta timur telah menyebabkan lebih dari 400 orang tewas. Jumlah tersebut tak hanya mencakup orang dewasa, tetapi juga anak-anak. (Republika.co.id, 25/02/2018)

“Mengutuk,” “menyesalkan” dan “mengecam.” Kata-kata yang didengar hampir setiap hari dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemerintah di negara Barat, juga penguasa-penguasa muslim, termasuk Indonesia. Sang penguasa negeri tercinta, dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, ternyata malah terbuai dengan roman picisan film Dilan. Sungguh miris dan ironis!

Tidakkah hati mereka tergerak untuk menolong kaum muslimin di Ghouta ataukah benar mata dan hati mereka telah mati oleh kekuasaan duniawi. Inilah fakta yang terjadi ketika umat yang terbaik ini tidak berada dalam satu kepemimpinan yang utuh, tercerai berai dalam sekat negara-negara kecil, umat Islam bagaikan buih di tengah lautan.

Rasulullah SAW bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah SWT mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)

Muslim Ghouta adalah saudara kita karena umat Islam itu laksana satu tubuh. Jika ada salah satu anggota tubuh kita yang sakit maka anggota tubuh lainnya pun akan merasakan sakit yang sama. Anak-anak Ghouta itu.. Mereka mungkin akan mengadu, dimana saudara muslimnya? Kenapa saudaranya diam saja. Bukankah Rasulnya berkata jika sesama muslim takkan membiarkan saudaranya terluka? Ataukah kami masih layak disebut sebagai saudara mereka?

Oleh karena itu, sudah semestinya kita saling membantu. Meskipun muslim Ghouta berbeda bangsa dengan Indonesia, tapi mereka adalah saudara kita. Hendaknya kita mengerahkan segala kekuatan yang ada. Tidak hanya doa, kecaman, dan bantuan kemanusiaan semata. Tapi gerak dakwah kita pun harus senantiasa gencar dilakukan. Dakwah untuk menyadarkan umat agar bangkit dari keterpurukannya. Dakwah kepada penguasa agar mereka menurunkan tentara-tentara terhebatnya. Dakwah untuk menyerukan kepada umat manusia bahwa kezaliman saat ini hanya bisa dihentikan oleh penguasa yang amanah, yang peduli terhadap umat. Tentunya penguasa yang mau menerapkan Islam secara kaffah. Semoga bisa segera terwujud. Wallahu’alam.(jejakrekam)

Penulis  dari Komunitas Peduli Generasi dan Umat

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.