Profesi Mulia Dokter di Tengah Kepentingan Ekonomi

0

BEBERAPA tahun lalu, saya sempat menghadiri pengambilan sumpah dokter angkatan ke-50, pada 19 Oktober 2013 di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarbaru. Ya, ada beberapa hal yang menarik dan menurutku bisa untuk ditarik hikmah. Itu terjadi saat para dokter yang baru lulus bak pejabat publik di pandu untuk mengucapkan sumpah. Saat itu, aku pun merasa larut jadi satu antara terharu sekaligus bangga karena begitu hebat dan luar biasanya isi sumpah tersebut.

BAHKAN sepanjang jalan begitu balik ke Banjarmasin tanpa sadar kata-kata pada sumpah tersebut selalu terngiang-ngiang di benakku. Setelah mencoba merenungkan kembali dan mengkorelasikannya dengan kenyataan kehidupan modern sekarang ini maka muncul tanya di hati, apakah bisa sumpah tersebut dilaksanakan oleh para dokter? Apakah isi sumpah tersebut tidak terlalu muluk bila disandingkan dengan kemajuan zaman yang penuh dengan pertarungan kekuatan ekonomi plus trik-trik bisnis ataupun gaya hidup hedonis yang merambah di hampir semua sisi kehidupan masyarakat termasuk juga di aktivitas lingkup kerja profesi dokter? Lalu, apakah lingkup profesi mulia ini masih bisa bertahan dalam prinsip prikemanusiannya di tengah pergulatan ‘padat modal’nya dana investasi yang mesti disediakan untuk mencapai gelar dokter tersebut?

Sejatinya, bila kita cermat mengamati fakta  yang terjadi dalam lingkaran aktivitas kehidupan profesi ini di zaman sekarang. Dus, di tengah dinamika zaman yang semakin diperbudak oleh gaya hidup materialistic, hedonistik dan fantastik maka di benak pun semakin berkembang banyak Tanya. Berbagai tanya yang rasanya cukup sulit  untuk mencari jawabnya.

Jujur aku akhirnya merasa miris dan takut. Miris karena menurutku cukup banyak fakta yang terjadi pada profesi mulia ini yang dalam prakteknya dijalankan jauh dari isi dan makna lafal sumpah dokter tersebut. Kemudian takut plus ngeri terhadap konsekuensi dan akibat dari sumpah yang mengatasnamakan TUHAN tersebut, bila terlanggar ataupun tidak mampu dilaksanakan.

Pada 11 point sumpah dokter yang sempat terbaca kulihat ada dua contoh yang cukup menarik minat untuk sekadar diulas sekilas. Bunyi sumpah pertama yang menyatakan dokter akan “membaktikan hidup untuk kepentingan pri kemanusian” saja telah membuatku ‘merinding’ karena bila direnungkan mendalam maka pertanyaannya apakah hal ini telah bisa diterapkan oleh dokter-dokter di Nusantara ini? Atau paling tidak di Bumi Antasari ini? Sebab kalau makna sumpah ini diterapkan dalam praktek kehidupan dokter bukankah begitu banyak tanya yang akan muncul takkala memgkorelasikan dengan kenyataan di lapangan.

Saat ini bila ditinjau dari sisi biaya masyarakat untuk urusan kesehatan terutama saat berobat ke dokter  tidaklah murah. (Yang murah dan gratis hanyalah ke puskesmas ataupun ke rumah sakit umum dalam perkiraan tentatif). Apalagi bila dikaitkan obat-obat yang diberi dokter pun kadang sulit terjangkau oleh masyarakat menengah k ebawah kecuali tentu obat subsidi ataupun generik. Dan,  sangat jarang dokter mau memberi obat setara generik. Contoh kecil saja, cobalah untuk berobat ke praktek dokter spesialis maka dipastikan perlu merogoh kocek minimal Rp 250 ribu. Itupun bila resep obat yang ditebus termasuk kelas ekonomis. Nah, bagaimana kalau ini menimpa rakyat papa plus miskin yang mau berobat? Parahnya, mereka terpaksa berobat ke praktek dokter spesialis yang terkenal plus paten?

Padahal dengan isi sumpah yang terkait unsur kepentingan prikemanusiaan, maka seharusnya yang terjadi tidaklah seperti itu. Bukankah seharusnya segenap insan berprofesi dokter akan berjuang sekuat tenaga dengan mengorbankan kepentingan pribadinya untuk berusaha membantu penyembuhan pasiennya tanpa pandang bulu?

Para dokter dengan didukung tentu kebijakan pemerintah semestinya berjuang untuk mencari jalan dan bahkan bila perlu bisa berkolaborasi untuk mencari alternatif pengobatan plus obat murah. Sehingga harga obat pun tidak ‘melambung tinggi’ dan sulit terjangkau rakyat kecil.

Harga obat tidak menjadi ajang ‘permainan menarik untung besar’ dari para perusahaan obat di dunia. Dan, bila ini dilakukan ujungnya bukankah para dokter pun tentu akan tidak sudi untuk ‘tertipu’ dimanfaatkan menjadi ‘agen penjual tidak langsung’ oleh produsen obat dalam mengalakkan ataupun meng’uji coba’kan obat hasil produksinya?

Akan tetapi bila kita lihat fakta yang terterapkan dalam sistem dunia global plus gaya hidup masyarakat yang semakin serba hedonistik plus materialistik maka harapan terhadap penerapan secara murni akan isi sumpah dokter tentang hal kepentingan prikemanusiaan, tersebut terlihat masih sulit. Ya, untuk dirasakan dan dinikmati oleh rakyat kecil nan miskin.

Sumpah Sang Dokter

Adapun sumpah kedua yang juga penting adalah dinyatakan bahwa dokter akan bersungguh-sungguh untuk tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam kewajiban terhadap pasien. Pada isi point ini ada aspek penting yang terlihat belum tertegaskan atau mungkin tertinggalkan untuk dimasukkan yakni hal pertimbangan aspek ekonomi.

Padahal coba kita sedikit jujur dalam mengamati bahwa sekarang aspek ekonomi ini sangatlah besar pengaruhnya dalam kehidupan profesi dokter. Saat mau studi, sebut saja di fakultas kedokteran atau sejenisnya, tidak jarang banyak para anak bangsa bahkan orangtua yang berniat mengiring anaknya  untuk menjadi dokter. Ya,  karena lebih melihat bahwa profesi ini lebih menjamin faktor masa depan kemapanan ekonomi anak mereka ke depan.

Banyak orang tua sejak dini telah memformat anaknya untuk memilih profesi ini lebih dikarenakan terpengaruh ‘gaya hidup para dokter’ yang terlihat enak, terhormat dan mapan dengan penghasilan berlimpah yang bisa menjamin kehidupan keluarga mereka. Terasa bahwa sekarang minat memilih profesi ini terindikasi bukan lagi dilihat dari sisi faktor hal’mulia’nya tapi lebih berat ke sisi ekonomi dan gengsi.

Dan salahsatu dampak yang mungkin termunculkan akibat perubahan sudut pandang plus tujuan untuk menjadi dokter adalah bisa ter lihat dengan kondisi di hampir semua perguruan tinggi atau fakultas kweokteran di Indonesia adalah lebih banyak didominasi  para mahasiswa-mahasiswi  yang  berlatar golongan ekonomi menengah ke atas.

Mengapa ini terjadi? Ya, tentu karena untuk menjadi dokter perlu biaya besar dan alibi ini dijadikan pembenar sehingga sering diungkapkan bahwa biaya besar diperlukan untuk mendukung pembiayaan kuliah dan praktek para calon dokter tersebut saat menempuh pendidikan.

Padahal sisi lain toh faktanya hampir di semua fakultas kedokteran di Indonesia (kecuali swasta) sinergisitas dengan rumah sakit milik pemerintah dalam menunjang pendidikan calon dokter sangat kuat dan terbuka. Dan, konon katanya tidaklah ada biaya yang mesti dikeluarkan oleh para calon dokter saat bergelut,  mencari ataupun mengodok ilmu sebelum dilantik menjadi dokter tersebut. Dengan hal ini sebenarnya telah sangat terang benderang bahwa fasilitas pemerintah pulalah yang digunakan dalam mendidik para calon dokter-dokter sehingga menyandang gelar dokternya.

Kenyataan dan fakta diperlukannya dana investasi besar dalam masuk atau berkuliah di jurusan kedokteran akhirnya berdampak hanya kelompok ekonomi kuatlah yang menguasai plus paling mampu memasuki area pendidikan dokter telah menjadi sebuah keniscayaan yang terpaksa diterima oleh masyarakat.

Memang bila semua pihak mau melihat dengan jujur maka berdasar hitung-hitungan kasar paling tidak dana investasi pendidikan dokter bila sampai selesai minimal berada di kisaran  Rp 300 juta.

Dalam hal ini artinya setiap tahun orang tua perlu menyediakan dana sekitar kurang lebih Rp 60 juta agar kuliah anaknya bisa berjalan lancar. Tentu kenyataan ini membuat kita terpaksa bertanya tentang bagaimana kesempatan bagi masyarakat yang penghasilannya sebulan cuma mungkin di kisaran  Rp 3-5 juta untuk bisa menyekolahkan anaknya menjadi dokter? Padahal, bukankah lebih dari separo penduduk Indonesia pendapatan bulanannya tergolong rendah. Ya, hanya cukup memenuhi kebutuhan sandang pangan saja, bahkan banyak yang penghasilannya di bawah Rp 3 juta per bulan?

Memang taruhlah bisa lewat jalur prestasi ataupun bea siswa yang disediakan pemerintah. Tapi faktanya yang bisa melalui jalur ini hanyalah beberapa gelintir siswa itupun banyak yang akhirnya tidak mampu menyelesaikan kuliah akibat kekurangan biaya penunjang untuk beli buku,  berpraktikum atau yang sejenisnya. Globalisasi pendidikan tanpa sadar telah pelan tapi pasti mendiskualipikasi masyarakat kecil untuk bercita-cita menjadi dokter.

Itu baru dari awal untuk menjadi dokter. Tantangan lanjutan akan terjadi takkala para dokter telah mulai terjun ke tengah masyarakat. Tidak jarang para dokter bahkan mungkin paling banyak dokter yang baru lulus plus baru belajar berpraktek pun dibenak mereka sudahlah mulai bermimpi atau bercita-cita untuk berkuliah di spesialis. Ini tidaklah salah dan wajar saja di tengah pergulatan zaman plus kebutuhan layanan kesehatan yang semakin meningkat.

Akan tetapi kadang muncul tanya dalam batin adalah hal apakah keinginan untuk  melanjutkan pendidikan ke spesialis tersebut lebih dikarenakan hal untuk meningkatkan kemampuan dalam pengabdian profesi mulia ini ataukah hanya sekedar meningkatkan performance dokter dalam hal aspek kebutuhan pasar plus ekonomi saja?  Kalau memang tujuannya  untuk pengabdian maka sudah pasti ini bagian dari menjalankan isi dan makna dari sumpah tersebut. Akan tetapi bila ternyata lebih dikarenakan oleh kepentingan ekonomi,  maka tentu hal ini sangatlah berlawanan dengan isi dan makna yang dikandung dari 11 point sumpah dokter tersebut.

Dampak Kondisi zaman global yang bertumpu gaya hidup hedonistic materialistic,  faktanya juga telahmenerpa profesi mulia ini. Kondisi pasar memang terlihat pelan tapi pasti telah memaksa para dokter umum semakin ‘tertinggal’kan oleh pasiennya. Para pasien ber klas plus kaum ‘borju’ yang berkantong tebal lebih berkiblat kepada para dokter ahli yang spesialis bahkan yang sub spesialis untuk menghandle penyakit ataupun sekedar mengecek kesehatannya. Dan tentu ini memberi dampak bagi pendapatan dan semangat para dokter umum. Pasar dokter umum terlihat dipaksa lebih ke arah kelas puskesmas ataupun klinik didalam skala perumahan bahkan kampung yang tentu saja tarifnya tidaklah sebasah pasar para dokter spesialis.

Dampaknya agar bisa mampu ‘bersaing menarik pasien’ kemudian para dokter umum inipun berjuang untuk berusaha menjadi dokter spesialis dengan tentu membutuhkan persiapan biaya yang cukup besar. Dan tentu hanya dokter-dokter yang punya tabungan atau mungkin didukung harta keluargalah yang akhirnya bisa meneruskan sekolah menjadi dokter spesialis. Sehingga kembali faktor ekonomi adalah menjadi penentunya. Dari sini tentu patut disadari bahwa semestinya dalam hal point-point pada isi sumpah dokter tersebut perlulah untuk ditegaskan atau mungkin bisa ditambahkan terkait hal aspek ekonomi ini.

Akan tetapi memang kalau saja semua dokter betul-betul memahami dan mentaati apa yang terkandung dari isi 11 point sumpah tersebut maka persoalan pun menjadi tuntas. pengaruh gaya kehidupan hedonistik materialistik yang mewabah dan menjadi virus jahat dalam pengabdian profesi ini akanlah tergusur. Bahkan musnah oleh kekuatan makna sumpah tersebut. Ya,  sumpah yang selalu diucapkan saat mereka dilantik berprofesi mulia sebagai dokter.

Akan tetapi apa hendak dikata, ternyata fakta banyak bercerita lain. Biaya berobat dan biaya ke dokter, biaya perawatan rumah sakit, biaya kesehatan masyarakat tetaplah tinggi dan sulit  terjangkau oleh masyarakat miskin plus papa, kecuali tentu hanya melalui subsidi dari pemerintah.

Sisi lain, jujur saja kita memang masih belum banyak melihat dan mempunyai dokter-dokter sekelas Dokter Sartika ataupun sekelas Dokter Darman yang di masa dulu sekitar tahun 80-an pernah berjaya menjadi acara favorit di TV dan Radio.

Lalu akhirnya di masa sekarang dimasa pengaruh pertarungan kehidupan hedonistic yang dipenuhi begitu banyak tuntutan kebutuhan ekonomi menghantui di semua sisi kehidupan. Muncul sebuah pertanyaan, sanggupkah profesi mulia dokter bertahan  di tengah pertarungan tersebut? Ingatlah bahwa sumpah-apalagi profesi mulia dokter- itu akan ada tanggungjawabnya tak hanya di kehidupan dunia ini, namun juga di akhirat kelak.(jejakrekam)

Penulis : Subhan Syarief

Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Ilustrasi : Radio Dakta

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.