Peluang Baru Demokrasi Lokal Pasca Putusan MK

0

Oleh: MS Shiddiq *)

DEMOCRACY cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The real safeguard of democracy, therefore, is education.” (Franklin D. Roosevelt)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menjadi titik balik penting dalam dinamika politik lokal Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Dengan regulasi baru yang lebih fleksibel dan proporsional, potensi munculnya lebih banyak kandidat dalam Pilkada Serentak 2024 semakin terbuka lebar. Ini bukan hanya soal regulasi, tetapi juga tentang masa depan demokrasi lokal yang lebih inklusif dan kompetitif.

BACA JUGA: Peduli Demokrasi, LS VINUS Dan AMARAH Kalsel Sambangi KPU Dan Bawaslu

Fenomena kotak kosong, di mana hanya ada satu pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada, menjadi sinyal bahaya bagi demokrasi kita. Di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Selatan, skenario ini kerap terjadi akibat dominasi partai besar yang ‘memborong’ dukungan dari partai-partai lain, sehingga menghambat partisipasi calon independen atau partai kecil.

Kasus Pilkada Kota Makassar 2018, di mana kotak kosong menang melawan satu-satunya pasangan calon, menjadi contoh nyata betapa rentannya demokrasi lokal kita. Kondisi ini merusak esensi dari pemilihan umum yang sejatinya adalah untuk memberikan pilihan kepada rakyat. Tanpa kompetisi yang sehat, legitimasi pemimpin terpilih patut dipertanyakan.

Angin Segar bagi Demokrasi Lokal

Putusan MK yang mengubah syarat pencalonan berdasarkan jumlah pemilih tetap di tiap daerah adalah langkah signifikan untuk mengatasi masalah ini. Dengan syarat yang lebih proporsional, calon independen dan partai kecil kini memiliki peluang lebih besar untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Ini adalah kabar baik bagi daerah seperti Kalimantan Selatan yang rentan terhadap skenario kotak kosong.

BACA JUGA: Pesta Rakyat (Demokrasi) di Hari Kasih Sayang

Dalam konteks teori demokrasi partisipatoris, sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl, keterlibatan lebih banyak calon dalam Pilkada mencerminkan upaya untuk memastikan bahwa kepentingan masyarakat benar-benar terwakili. Putusan MK ini dapat dilihat sebagai katalis untuk memperkuat partisipasi politik di tingkat lokal, memperbaiki kualitas demokrasi kita yang sempat tergerus oleh dominasi partai-partai besar.

Fenomena kotak kosong bukanlah isu yang unik bagi Indonesia. Di Rusia, dominasi partai politik besar juga kerap mengakibatkan minimnya kompetisi dalam pemilu lokal, di mana calon oposisi sering kali gagal mencalonkan diri akibat berbagai kendala politik. Sebaliknya, di India, pluralitas politik dan kuatnya partai-partai regional berhasil mencegah terjadinya kotak kosong, menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan kompetitif.

BACA JUGA: Caleg Lintas Partai Bertemu Dalam FGD Bahas Demokrasi

Indonesia perlu belajar dari kedua contoh ini. Di satu sisi, kita harus waspada terhadap potensi dominasi partai besar yang dapat mematikan kompetisi politik. Di sisi lain, kita perlu mendorong pluralitas dan persaingan yang sehat di tingkat lokal, agar demokrasi kita bisa terus tumbuh dan berkembang.

Tantangan dan Harapan

Meski putusan MK ini membawa harapan baru, tantangan tetap ada. KPU harus segera menyesuaikan regulasi dan memastikan bahwa semua pihak memahami aturan main yang baru ini. Sosialisasi yang baik sangat penting untuk menghindari kebingungan atau sengketa di kemudian hari.

Partai politik juga harus mengambil peran aktif dalam mendorong kaderisasi dan pendidikan politik yang lebih baik. Mereka perlu mempersiapkan calon-calon yang tidak hanya memenuhi syarat pencalonan, tetapi juga memiliki visi dan kemampuan untuk memimpin daerah dengan baik.

Epilog

Putusan MK ini bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat demokrasi lokal di Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan lebih banyak kandidat yang berkompetisi, kita bisa berharap adanya peningkatan kualitas pemilihan dan pemimpin yang terpilih. Kotak kosong, yang selama ini menjadi momok bagi demokrasi kita, diharapkan bisa menjadi fenomena yang semakin langka.

BACA JUGA: Menjaga Demokrasi Tak Mati Rasa dan Waja Sampai Kaputing

Kini, semua mata tertuju pada Pilkada Serentak 2024. Apakah perubahan ini benar-benar bisa mewujudkan demokrasi lokal yang lebih inklusif dan kompetitif? Hanya waktu yang akan menjawabnya, tetapi dengan regulasi yang tepat dan partisipasi aktif dari semua pihak, kita optimis bahwa masa depan demokrasi lokal Indonesia akan semakin cerah.

Sejalan dengan quote Franklin D. Roosevelt di atas, yang bermakna bahwa demokrasi tidak akan berhasil jika para pemilih tidak siap untuk membuat pilihan yang bijaksana. Dengan kata lain, agar demokrasi berfungsi dengan baik, masyarakat harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat dalam pemilu.

BACA JUGA: Demokrasi Dalam Angka Dan Realita, Menelusuri Pendidikan Dan Kader Politik Yang Rendah

Oleh karena itu, pendidikan adalah kunci utama untuk melindungi dan memperkuat demokrasi, karena pendidikan membantu masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. gar demokrasi berfungsi dengan baik, masyarakat harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat dalam pemilu. Oleh karena itu, pendidikan adalah kunci utama untuk melindungi dan memperkuat demokrasi, karena pendidikan membantu masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. (jejakrekam)

*) MS Shiddiq, S.Ag, M.Si, Ph.D adalah Ketua Lembaga Kajian Komunikasi, Administrasi dan Kebijakan Publik FISIP Uniska Banjarmasin, Peneliti Senior CIDES Institute Jakarta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.