Mengupas Pergerakan Perempuan Dari Masa Ke Masa, Sebuah Diskusi Interaktif Di Kopi Tradisi

0

SEPANJANG sejarah, perempuan ditempatkan pada posisi yang terpinggirkan. Namun seiring berjalannya waktu, perempuan Kalsel khususnya, mulai melakukan berbagai pergerakan untuk mencapai emansipasinya.

HAL inilah yang kemudian menjadi topik diskusi Interaktif, ‘Menggali Inspirasi dari Para Pahlawan Perempuan di Kalsel’, di Kopi Tradisi KM 5 Banjarmasin, Sabtu (13/7/2024) malam.

Diskusi yang dipandu Anggota DPRD Banjarmasin, Sukrowhardi yang menghadirka budayawan, seniman, tokoh-tokoh perempuan, politisi perempuan, tokoh pendidik perempuan dan LSM Kalsel.

BACA: Ambin Demokrasi Kupas Kriteria Pemimpin Kalsel

Sesuai topik diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi siapa sebenarnya pahlawan perempuan atau tokoh perempuan dari Kalsel yang bisa dijadikan panutan perjuangan untuk tokoh perempuan Kalsel era sekarang.

“Diskusi ini juga untuk menggali nilai-nilai kepemimpinan dan keteladanan yang diwariskan oleh tokoh-tokoh pejuang perempuan Kalsel,” ujar Sukro.

Dosen Sejarah FKIP ULM, Mansyur menyebut, di Kalsel ada beberapa pejuang perempuan di Kalimantan Selatan. Diantaranya, Aluh Idut dan Ratu Zaleha yang saat itu mewakili zamannya, dimana Ratu Zaleha masa perjuangan dan Aluh Idut masa pergerakan yang mana memperjuangkan hak-hak perempuan.

BACA JUGA: Mengabadikan Semangat Kepahlawanan Aluh Idut, Pejuang Perempuan asal Kandangan

Sedangkan Noorhalis Majid memaparkan, Aluh Idut begitu panggilan akrabnya, yang sebenarnya nama aslinya adalah Siti Warkiah. Pejuang wanita asal Kandangan, yang tergabung dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang dikomandoi Hassan Basry.

“Beliau (Aluh Idut), dikenal berperawakan besar. Tak mengherankan, jika tubuhnya yang besar membuat dirinya dipanggil Aluh (Galuh), panggilan khas wanita Banjar Pahuluan, karena tubuhnya yang gemuk,” terang Noorhalis Majid.

Jiwa kepahlawan Aluh Idut diwarisi dari kakek dan pamannya, Martajiwa dan Sidik yang gugur dalam peristiwa Hamuk Antarukung di masa Kesultanan Banjar era Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari.

Dari segi pendidikan, Aluh Idut termasuk terpelajar. Karena berhasil menyelesaikan masa belajarnya di Verfolk School (Sekolah Rakyat) lima tahun di Kandangan pada 1916. Bahkan, di masa pendudukan Jepang, Aluh Idut bergabung ke organisasi tenaga perempuan bentukan Jepang bernama Fujinkai pada Agustus 1943.

Aluh Idut bersama keluarga besarnya merupakan para pejuang Republik Indonesia, bahkan rumahnya pun merupakan gudang makanan bagi para geriliyawan.

Aluh Idut diketahui selalu menyuplai senjata kepada para pejuang di pedalaman Kalsel dan Kalteng, hingga membuka dapur umum. Pada November 1958, Aluh Idut ditangkap dua reserse Belanda bersama menantu angkatnya, Lamri. Diduga karena ada pengkhianat yang membocorkan informasi, Aluh Idut pun ditangkap dan disiksa tentara Belanda.

Pada 2 September 1949, Aluh Idut dibebaskan berkat perundingan Munggu Raya. Bahkan, para gerilyawan dan pejuang ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan tergabung dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Aluh Idut diangkat sebagai bagian dari tentara ALRI Divisi IV.

Dalam menjalankan misinya, Aluh Idut dikenal sangat berdedikasi, hingga sakit yang membawanya pada ajal pada 5 Februari 1958

“Atas jasanya, Panglima Tertinggi ABRI pada 10 November 1958 memberi bintang gerilya dan berdasar Surat Keputusan Presiden RI tanggal 12 Agustus 1958 Nomor 175/1959, Aluh Idut diangkat sebagai Letnan I (Anumerta),” ujarnya

BACA JUGA: Jangan Ditiadakan, Perempuan Harus Ada Calon Kepala Daerah

Sementara itu, Akademisi Fisip ULM Siti Maulina Hairini mengakui, tokoh perempuan hebat di Kalimantan Selatan muncul daricerita-cerita di masa lalu, yang menggambarkan kalau perempuan itu hebat.

“Memang Kalsel punya sejarah perempuan yang berbeda dengan negara barat. Di negara barat zaman dulu perempuan saja tidak boleh memilih, lebih dari 50 tahun perempuan memperjuangkan hanya untuk memilih di negara barat. Tapi di Kalsel kita beda, karena perempuan Banjar itu bilateral, bahwa mereka boleh tampil di ruang publik maka banyak perempuan- perempuan mencari duit. Ada yang jadi pemimpin, tapi urusan rumah tangga tidak boleh hancur, rumah tangga harus tetap harmonis,” beber Hairini.

Namun pasca demokrasi, kehadiran perempuan di ranah publik menurun. “Padahal logikanya demokrasi membuka ruang kepada perempuan, tetapi nyatanya stagnan saat menghadapi demokrasi,” ujarnya.

BACA LAGI: Sekelumit Kisah Sumiati, Pemimpin Perempuan Adat Pantai Mangkiling yang Jaga Hutan Meratus

Sementara itu, mantan aktivis Walhi Kalsel, Asyikin mengatakan, harusnya diskusi menyoroti masa kini. “Kalau Aluh Idut dan Ratu Zaleha itu masa lalu, dan kita semua tahu,” ujarnya .

“Padahal hari ini banyak wanita hebat dan mereka memikirkan lingkungan dan tempat tinggal. Seperti Ibu Sumiati, Nenek Belta yang ada di Pulau Laut Utara, dan mereka tidak mau ditokohkan,” ujarnya.

“Kita terjebak pola pikir pemerintah saat ini, yang mengganggap wanita hebat itu karirnya yang luar biasa. Seperti akademisi, isteri gubernur, isteri presiden, ketua parpol dan lainnya,” bebernya.

Padahal, Ibu Sumiati adalah Kades di Meratus yang satu-satunya kades menolak tambang, di Desa Makiling, Hantakan. Sehingga menurut saya, lebih baik kita memikirkan tetangga kita dari pada memikirkan yang lain,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.