Mengapa Kita Perlu Partai Lokal di Bumi Lambung Mangkurat?

0

Oleh : Pathurrahman Kurnain

DALAM sejarah perjalanan Indonesia, belum ada sengkarut paling serius yang menguras energi sosial, ekonomi, politik dan kultural selain persoalan format pengaturan politik yang menyangkut hubungan kekuasaan antara pusat daerah (Lay, 2001).

SEBAGAI sebuah negara yang heterogen, Indonesia memiliki karakteristik khas yang menjadikan kajian pola hubungan pusat dan daerah selalu berusaha menemukan format yang lebih ideal (Kurniadi, 2010). Di samping itu, konsensus untuk menjadikan Indonesia berbentuk negara kesatuan telah berimplikasi terhadap tarik ulur hubungan pemerintah pusat dan daerah yang penuh dengan pertimbangan politik dan ekonomi, hingga konflik vertikal yang melatarinya.

Indonesia pernah dihadapkan pada tuntutan yang sangat keras dari sejumlah daerah di masa lalu guna menggugat format hubungan pusat-daerah yang dianggap tidak mampu memenuhi kepentingan daerah untuk mendapatkan otonomi yang luas.

Namun menariknya, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa pergerakan yang terkesan mengarah pada gerakan “separatis” ternyata justru masih memiliki hasrat yang kuat untuk menjadi bagian dari format negara kesatuan.

BACA : Di Balik Pilkada: Aktor Politik dan Perebutan Hegemoni Sumber Daya Lokal

Penelitian Sjamsuddin (1999) mengenai polemik politik yang terjadi di Aceh menyimpulkan bahwa apa yang terjadi disana ternyata merupakan pemberontakan kaum republiken, yang bertujuan tidak untuk memisahkan diri dari NKRI.

Kemudian, Gerakan PRRI/Permesta yang melanda sejumlah daerah kunci Indonesia, dianggap sebagai “pemberontakan setengah hati” yang dimaksudkan untuk mengekspresikan ketidakpuasan daerah atau ketimpangan kebijakan ekonomi dan politik oleh pemerintah pusat (Amal, 1992; Harvey, 1989). Maka dari itu, sebenarnya tuntutan daerah yang diwujudkan dalam bentuk Gerakan separatis merupakan wujud koreksi untuk menekan pemerintah pusat melakukan perubahan fundamental terkait format hubungan pusat-daerah.

Kita sudah banyak mengambil pelajaran dari Orde Baru, bagaimana rezim melakukan pengaturan pemerintahan secara “hiper-sentralisasi” secara terstruktur melalui degenerasi institusi-institusi politik lokal, sehingga posisi daerah-daerah hanyalah menjadi tentakel kekuasaan Jakarta (Lay, 2001).  UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1979 adalah bukti nyata bagaimana elite pusat memainkan instrumen politik yang absah untuk mengeksploitasi partai politik dan birokrasi (Lay, 2001).

BACA JUGA : Pilkada: Bos Lokal dan Arena Beternak Politik

Struktur kepartaian dan pemilu diatur mengikuti logika monopoli yang disusun secara hirarkis yang berfungsi untuk menyergap energi lokal. Permainan politik “sticks and carrot” turut mewarnai strategi pemerintah pusat dalam mencengkram pos-pos politik strategis baik di eksekutif maupun legislatif (gubernur, bupati, ketua DPRD I dan II) di tingkat lokal (Lay, 2001).

Pengkerdilan otonomi partai politik secara berlapis menjadi resep jitu pemerintahan orde baru dalam menciptakan dominasi Jakarta atas daerah-daerah. Pergulatan politik otonomi daerah kembali menemukan momentumnya manakala negara mengalami krisis ekonomi dan politik di tahun 1997, kemudian muncullah reaksi protes dari berbagai daerah yang menuntut hak-hak otonominya melalui desentralisasi pasca reformasi.

Politik kepartaian pun ikut menguat untuk menggantikan politik birokrasi yang selama ini telah mengkerdilkan peran dan fungsi partai di negara demokrasi. Untuk mewujudkan sistem yang stabil untuk keutuhan bangsa Indonesia, maka pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya menjadi tuntutan serta jawaban yang tak terhindarkan.  Semangat penegakan otonomi daerah di era reformasi nampaknya belum mencapai harapan, terutama pada proses-politik yang masih dicengkram oleh oligarki pusat. Meskipun undang-undang partai politik sudah direvisi empat kali, namun sayangnya semakin lama justru semakin memburuk (perludem, 2018).

BACA JUGA : Parpol Pragmatis Bukan Usung Ideologis, Tradisi Perdebatan Logika Antar Tokoh Politik Ditinggalkan

Sejak tahun 1999 sampai 2011, regulasi parpol dari UU No. 2/1999, UU No. 31/2002, UU No. 2/2008, dan UU Nomor 2 Tahun 2011, semakin menegaskan bahwa persyaratan pembentukan parpol semakin berat (perludem, 2018). Ditambah lagi, ketiadaan desentralisasi dalam partai politik turut menyebabkan pemilihan calon kepala daerah di internal partai tidak berangkat dari kebutuhan lokal, melainkan berdasarkan lobi-lobi elit daerah kepada pimpinan partai tingkat pusat. Sehingga dapat disimpulkan buruknya hasil pilkada disebabkan oleh tidak adanya reformasi terhadap UU partai politik (perludem, 2018). 

Di sisi lain, lemahnya reformasi partai politik dalam mengagregasi pergulatan politik ditingkat lokal juga semakin memperburuk proses tata kelola pemerintahan daerah, hingga berujung pada banyaknya kepentingan masyarakat terabaikan karena elit-elit lokal hanya sibuk melancarkan bisnis-bisnis para elit politik pusat di daerah. Maka dari itu, penting kiranya untuk mewujudkan partai politik lokal yang mampu mengakomodir tuntutan maupun aspirasi masyarakat daerah di ranah politik lokal itu sendiri. 

BACA JUGA : Parpol dan Pengkhianatan Elite Politik Terhadap Rakyat

Urgensi wacana partai lokal bukanlah hal baru mengingat pasca ditandatanganinya MOU Helsinki antara Pemerintah RI dengan GAM maka terbukalah pintu bagi partai lokal di Aceh. Namun dalam implementasinya, pendirian partai lokal diatur secara ekslusif melalui pemberian otonomi khusus pada UU Nomor 11 tahun 2006 untuk membentuk partai politik lokal di Aceh.

Karsayuda (2010) memberikan tawaran pemisahan arena politik antara partai politik lokal maupun partai politik nasional, kendatipun pembentukan partai lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundangan-undangan, diantaranya UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik “yang menuntut kepengurusan paling sedikit 60 persen dari jumlah provinsi di Indonesia” dan UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mensyaratkan “Peserta Pemilu memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi”.

Maka dari itu, urgensi pembentukan partai lokal di Kalimantan Selatan memiliki beberapa alasan kuat. Pertama, secara historis Kalimantan Selatan merupakan arena pergerakan politik dan pusat penyelenggaraan pemerintahan daerah regional Kalimantan di awal kemerdekaan.

BACA JUGA : Calon Tunggal, Bukti Lemahnya Kaderisasi Pemimpin Lokal

Sehari setelah UUD 45 diberlakukan, Kalimantan Selatan menjadi salah satu di antara 8 propinsi pertama dalam kerangka NKRI, sekaligus menjadi satu-satunya provinsi di wilayah Kalimantan yang dibentuk pemerintah pusat. Bila dirunut lebih jauh, bukti-bukti sejarah juga membeberkan bagaimana ekspresi ketidakpuasan oleh Ibnu Hajar beserta ‘gerombolannya” untuk mengoreksi pengaturan politik-pemerintahan di Kalimantan oleh pemerintah pusat yang ternyata justru di cap oleh kekuasaan di Jakarta sebagai gerakan pemberontakan.

Tidak hanya itu saja, Kalimantan Selatan juga menorehkan gerakan para Aktivis 66 hingga menggelar demonstrasi “Tritura Plus” dengan dua tuntutan tambahan, yakni stabilkan harga dan adili tengkulak/cukong sembako. Lintasan sejarah tersebut tentu berimplikasi pada pengalaman panjang dan tingkat kematangan berpolitik ”Urang Banua” yang relatif lebih mapan dan progresif dari wilayah lainnya di Kalimantan.

Kedua, kondisi sosial, budaya, ekonomi, hingga geografis Kalimantan Selatan yang khas dan berbeda dengan daerah lain, sehingga membutuhkan partai yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan rakyat daerah menjadi fokus utama dalam visi pembangunan politik di masa depan. Selama ini partai politik berskala nasional tidak dapat menampung dan mengagregasikan sepenuhnya kepentingan rakyat Kalsel guna membangun daerahnya. Lembaga politik yang berbasis kedaerahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang berfungsi mewakili wilayah dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, juga terasa tidak cukup kuat manakala harus berhadapan dengan anggota DPR RI yang dikontrol oleh partai politik di tingkat pusat.

BACA JUGA : Penyatuan Kalimantan ke Wilayah RI Lewat Proklamasi 17 Mei 1949

Sehingga dengan hadirnya partai lokal, isu-isu lokal yang menyangkut berbagai potensi, keunggulan, persoalan dan tantangan di Kalimantan Selatan benar-benar dapat ditransformasikan sebagai agenda kerja politisi dan kader-kadernya.

Ketiga, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seyogyanya masyarakat Kalsel diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar- benar kandidat yang dapat memberikan kesejahteraan yang berkesesuaian dengan entitas lokal. Tidak seperti praktik yang selama ini terjadi, kepentingan masyarakat lokal harus  disesuaikan dan tunduk dengan kehendak penguasa partai di Jakarta. Semangat implementasi otonomi daerah juga perlu dibarengi dengan urusan politik yang otonom dari intervensi kepentingan elit politik pusat. 

Keempat, yang tidak kalah penting yakni kehadiran partai lokal dapat mendorong proses demokratisasi pada masyarakat Kalsel maupun internal partai politik. Partai politik lokal hendaknya menjadi salah satu pemain alternatif yang mampu memproduksi wacana-wacana lokal yang selama ini luput dari perhatian pusat, sekaligus memberikan jawaban atas timpangnya relasi kuasa antara pusat dan daerah.

BACA JUGA: Hanya 3 Tahun Duduki Banjarmasin, Jepang Hapus Warisan Belanda di Ibukota Borneo Selatan

Kehadiran partai politik lokal diharapkan akan menjadi antidot dari resistensi partai politik yang selama ini memiliki naluri kuasa untuk mensubordinasi kekuatan-kekuatan lokal. Singkatnya, kehadiran partai lokal di Kalimantan Selatan tidak perlu dimaknai sebagai upaya mempreteli kekuasaan pusat maupun dipandang sebagai arogansi orang-orang daerah yang ingin membangun “kerajaan kecil”.

Bukan pula didorong kecemburuan kepada Daerah Istimewa Aceh yang telah lebih dulu memiliki partai lokal. Namun yang jelas, upaya mendorong partai lokal di Kalimantan Selatan merupakan ikhtiar untuk mendistribusikan kekuasaan antara pusat dan daerah secara lebih simetris, harmonis berkeadilan di Bumi Lambung Mangkurat.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi FISIP Universitas Lambung Mangkurat

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.