DUA sejoli berbeda jalan. Ibarat dua mata kepingan uang logam. Hassan Basry dan Ibnu Hadjar, dua sosok pejuang yang memilih berbeda pandangan, hingga cap pahlawan disematkan kepada sang sahabat, di satu sisi justru Ibnu Hadjar justru distempel sebagai pemberontak.
BAIK Ibnu Hadjar maupun Hassan Basry yang terakhir meraih gelar kehormatan anumerta berpangkat jenderal bintang satu (brigadir jenderal), merupakan tokoh berpengaruh dalam perjuangan rakyat Kalsel dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia lewat Proklamasi 17 Mei 1949, melawan Belanda dengan menerjunkan serdadu KNIL untuk menjajah kembali.
Begitu Belanda bisa diusir, ternyata cerita tak berhenti. Ketidakadilan di usia negeri yang masih belia, justru dirasakan para pejuang Tanah Banjar, saat kebijakan pemerintah pusat di bawah komando Soekarno-Hatta justru dirasakan Ibnu Hadjar.
BACA : Ibnu Hadjar yang Tersisih, Bangkit Bersama Rakyat Tertindas
Cap ‘gerombolan’ dilekatkan pada kelompok Ibnu Hadjar yang mengomando Kesatuan Rakyat Yang Tertinda (KRYT), hingga Soekarno memerintahkan Hassan Basry untuk menumpas teman seperjuangannya itu. Sama-sama besar di ALRI Divisi IV Pertahanan A (Kalsel), Hassan Basry pun dinilai tak mampu menaklukkan Ibnu Hadjar. Padahal, Hassan Basry ditunjuk sebagai Pimpinan Pimpinan Komando Penyelesaian Wilayah Hulu Sungai, pada 20 September 1950.
Komando dibubarkan Soekarno, karena Hassan Basry dinilai gagal. Hingga, Jakarta mengutus sang komandan Brigade F, Mayor Situmpol menyelesaikan misi menghapus ‘pemberontakan’ yang dilakukan kelompok pejuang ‘disertir’ di bawah bendera Ibnu Hadjar.
BACA JUGA : Dua Wajah Ibnu Hadjar, Pejuang Revolusi yang Dicap Pemberontak
Refleksi jalan berbeda ini bisa ditangkap dalam puisi karya sastrawan nyentrik Kalimantan Selatan, YS Agus Suseno saat membacakan puisinya berjudul Di Mana Kau, Ibnu Hadjar? di Kampung Buku, Jalan Sultan Adam, Banjarmasin, Kamis (16/11/2019) malam.
Puisi ini ditulis YS Agus Suseno pada 10 September 2018 itu, secara tegas dan intonasi keras digambarkan apa pesan-pesan dari seorang Ibnu Hadjar kepada para pendengar di Kampung Buku.

Berikut puisi karya sastrawan yang sering dijuluki sesama sastrawan dengan ‘Datu Tadung Mura’, menggambarkan seorang seniman yang kritis dan melek dengan kondisi zaman, layaknya seekor ular berbisa yang menyemburkan racunnya;
DI MANA KAU, IBNU HADJAR?
Di mana kau, Ibnu Hadjar?
Firasatmu benar
Hampir tak tersisa lagi Tanah Banjar
Tanah Bumi Antasari telah dibongkar
Hasil alamnya dikuras bajingan celaka
Lebih rakus daripada Belanda
Di mana kau, Ibnu Hadjar?
Pilihanmu yang berbeda dengan Hassan Basry benar
Hassan Basry telah dipecundangi
Tak bisa jadi gubernur di tanah sendiri
Gelar pahlawannya hiburan semata
Bagi anak cucu hampir tak berguna
Semua diatur Jakarta
Seperti dahulu Tanah Banjar diatur Batavia
Di mana kau, Ibnu Hadjar?
Kau lihat Pegunungan Meratus dikeruk
Pertambangan batu bara kemaruk
Minyak bumi dan gas alam dikuras
Bumi Antasari tinggal ampas
Perkebunan kelapa sawit yang terkini
Anak cucumu gigit jari
Mengutuk derita dan nestapa
Tak ada yang peduli mereka
Di mana kau, Ibnu Hadjar?
Anak cucumu kini banci
Tak punya semangat perlawanan lagi
Mereka telah dikebiri
Mulut, kaki dan tangannya dikunci
Bukan oleh gari dan terali besi
Tapi rasa takut dan tak peduli
Di mana kau, Ibnu Hadjar?
Anak cucumu yang khianat dan ingkar harus dihajar!
Budayawan Kalsel asal Banjarbaru HE Benyamine dalam diskusi dengan jejakrekam.com, pun mengakui sosok Ibnu Hadjar sangat melegenda di tengah masyarakat Kalsel, khususnya di kawasan Hulu Sungai dan Pegunungan Meratus.
BACA LAGI : Berorasi di Lapangan Merdeka, Soekarno Lawatan ke Barabai dan Amuntai
Menurut Benyamine, sebagai sosok pejuang rakyat, sikap Ibnu Hadjar berbeda jalan dengan teman seperjuangannya, Hassan Basry merupakan sebuah pilihan yang pahit, karena pasti akan berhadapan dengan pemerintahan Soekarno di Jakarta.
Jadilah, puisi yang ditulis YS Agus Suseno menggambarkan sebuah ironi di tanah pejuang Kalimantan yang dikobarkan Pangeran Antasari saat menantang hegemoni Belanda, dilanjutkan generasi berikutnya Hassan Basry dan Ibnu Hadjar yang justru tak berdaya melawan kekuasaan yang ‘menggigit’ dari Jakarta. Kini, sosok Ibnu Hadjar dan Hassan Basry pun seakan langka di Tanah Banjar.(jejakrekam)
Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/11/16/puisi-dua-pejuang-kalimantan-berbeda-jalan-hassan-basry-ibnu-hadjar/