Walhi Desak Para Perusak Lingkungan Segera Diadili

0

PENGELOLAAN sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan dari zaman ke zaman terus mengalami degradasi. Dalam refleksi akhir tahun 2017, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan sejak era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Republik Indonesia, eksploitasi SDA Kalimantan Selatan terus berlanjut dan terkesan tak memperhatikan dampaknya.

KISWORO mengungkapkan dalam dokumen sejarah, pada 1849 ketika Belanda datang dengan kapal uap berdampak dengan dibukanya tambang batubara Oranje Nassau di Pengaron, Banjar yang melahirkan perlawanan petani dan memicu Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari dalam Gerakan Muning pada 1859.

“Pemerintah kolonial Belanda juga membuka tambang batubara di Pulau Laut pada 1903, dan milik Eropa pasca Perang Dunia I hingga ditutup pada 1930. Baru di era Orde Lama, pasca kemerdekaan RI dengan kebijakan nasionalisasi juga menyentuh dunia pertambangan. Banyak aktivitas pertambangan ditutup, karena prinsip nasionalisme bahwa SDA adalah untuk rakyat. Hingga 1966, di akhir masa Orde Lama, tak ada pertambangan dan perusahaan asing yang ada di Kalsel,” papar Kisworo kepada jejakrekam.com, Selasa (2/1/2018).

Baru di era Orde Baru, aktivitas pertambangan kembali dibuka. Menurut Kisworo, mengacu pada Ketetapan MPR Nomor XXIII/MPRS Tahun 1966, di masa pemerintahan Soeharto, penambangan dan eksploitasi SDA kembali digalakkan.

“Apalagi, dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), akhirnya banyak perusahaan asing kembali mengeksploitasi SDA, termasuk di Kalsel. Lalu, kebijakan ini diperkuat lagi dengan terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan yang menyerahkan pengelolaan sektor kehutanan dari pemerintah ke perusahaan swasta dan negeri. Hingga, pada 1970, keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/1970, tentang Hak Pengusahaan Hutan dan pemungutan hasil hutan,” beber Kisworo.

Lalu bagaimana dengan era Reformasi dan Otonomi Daerah? Dari data Walhi Kalsel, Kisworo mengungkapkan penerbitan izin perkebunan sawit dan pertambangan di Kalimantan Selatan semakin marak.

“Total izin tambang yang dikeluarkan seluas 1.242.739 hektare dengan IUP non C&C sebanyak 343 buah. Sedangkan, total izin perkebunan sawit seluas 618.791 hektare. Boleh dibilang, dari total wilayah Kalsel, ada 33 persen dikuasai izin tambang dan 17 persen diberikan izin sawit,” paparnya.

Dengan fakta ini, Kisworo mengungkapkan dari luas kawasan hutan di Kalsel mencapai 1.779.982 hektare, terdapat luas lahan kritis sebanyak 640 ribu hektare, sehingga program Revolusi Hijau Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor pun belum mampu menjawab permasalahan.

Mengapa? Masih menurut Kisworo, akibat obral izin tambang dan perkebunan sawit hampir di seluruh kabupaten dan kota di Kalsel mengalami banjir, banyaknya lubang bekas tambang yang belum ditutup, reklamasi yang belum tuntas.

“Ini belum ditambah lagi, maraknya konflik agrarian dan tenurial yang hampir terjadi di seluruh kabupaten dan kota di Kalsel. Terutama, konflik terkait dengan izin tambang, perkebunan sawit, hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Hal ini bisa dilihat dari tingkat deforestasi di Borneo sejak 1950 hingga 2015 yang makin tinggi,” katanya.

Atas kondisi itu, Walhi Kalsel pun mengatakan Kalsel telah mengalami darurat ruang dan bencana ekologis, sehingga pemerintah perlu mereview perizinan, cabut izin dan tuntut jalur hukum termasuk mengumumkan ke publik nama dan pemilik.

“Kami mendesak agar segera menyetop izin baru, dan bentuk satuan tugas pertambangan dan percepatan pengangkatan wilayah kelola rakyat (wilayah adat, PS, TORA dan nelayan kecil,” ujar Kisworo.

Walhi Kalsel juga mendesak agar tata ruang yang terintegrasi dengan tata ruang desa, termasuk perumahan yang semakin massif di wilayah perkotaan, selamatkan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk Pulau Laut dari dari kerusakan dan investasi yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan rakyat.

“Pemerintah juga harus melakukan pemberdayaan dan pengembangan ekonomi rakyat dengan potensi lokal dari hulu sampai ke hilir. Stop kriminalisasi rakyat dan pejuang lingkungan serta bebaskan yang mengalami kriminalisasi. Bagi kami, penegakan hukum itu adalah perlu pengadilan lingkungan bagi para pelanggar aturan atau perusak lingkungan,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Dokumentasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.