Ketika Isu Batubara Diangkat dalam Film Dokumenter

0

BANYAK sengketa, penuh intrik dan konflik ketika bongkahan emas hitam itu diangkat dari perut bumi Kalimantan Selatan. Banyak tangis dan derita warga yang tergerus dan terpojok kongsi koorporasi dan penguasa. Pesan moral ini yang digaungkan dalam film berjudul Bara di Bongkahan Batu, garapan  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Friends of the Earth, European Climate Foundation, yang diproduseri Budi ‘Dayak’ Kurniawan dari Padma Borneo Raya Media.

FILM berdurasi satu jam ini diputar dan didiskusikan di Gedung Paska Sarjana Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Minggu (23/7/2017) malam. Diskusi film dokumenter dan investigasi perilaku buruk pertambangan batubara yang sarat kritik sosial, khususnya para pelaku tambang emas hitam dan pemangku kebijakan di Tanah Kalimantan ini.

Diprakarsai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Unlam dan Forum Sineas Banua (FSB), film ini pun disajikan kepada para pemirsa yang kebanyakan dari kalangan kampus, akademisi, aktivis dan budayawan. Film ini menceritakan sejarah pertama kali batubara ini ditambang di perut bumi Kalimantan Selatan, ketika Gubernur Jenderal Belanda Rachussen datang ke Pengaron, Kabupaten Banjar. Dia meresmikan tambang pertama di Hindia Belanda bernama Oranje Nassau atau Benteng Emas pada 28 September  1848. Ternyata, perilaku tambang batubara di Kalimantan Selatan ini tak jauh berbeda, bahkan jauh lebih buruk dibandingkan Belanda, yang tersaji dalam film yang digarap serius dengan teknik-teknik investigasi para aktivis lingkungan dan jurnalis kawakan.

“Yang pasti acara ini merupkan program rutin LPM Kinday Unlam,  dan kali ini berkolaborasi dengan FSB. Biasanya film-film yang kami ambil dari luar Kalimantam Selatan  yang selalu mengungkit masalah konflik agraria,” kata Pimpinan Umum LPM Kinday, Siti Nurdianti kepada jejakrekam.com.

Mahasiswi sejarah yang akrab disapa Dian ini mengatakan film dokumenter yang digarap serius itu merupakan film lokal yang digawangi Walhi Kalsel. “Film mengangkat isu lokal yang harus diketahui mahaiswa umum. Sangat disayangkan jika dilewatkan,” ucap Dian. Aktivis Persma ini pun berharap dengan pemutaran film ini semakin menambah semangat baik itu aktivis pers mahasiswa, pencinta alam maupun aktivis mahasiwa lainnya untuk mengkaji dan mendalami isu-isu agraria.

Senada itu, anggota FSB, Agung mengatakan film dokumenter garapan Walhi Kalsel bersama Padma Bornoe Raya Media ini bisa menumbuhkan kecintaan warga Kalsel, khususnya kalangan mahasiswa untuk memasyarakatkan film yang bermutu dan memiliki pesan moral yang kuat. “Dari film dokumenter yang berdasar data dan fakta di lapangan ini, jelas kita harus menyadari pertambangan yang terjadi di Kalsel ini sudah melampaui batas. Makanya, lewat film kita bisa lebih peka terhadap isu agraria dan isu-isu lokal,” tandas Agung.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Ahmad Husaini

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.