Tanpa Rekomendasi Tim Ahli, Tak Boleh Dipidana

0

KEHADIRAN UU Jasa Konstruksi (Jaskon) Nomor  2 Tahun 2017 memang lebih gemuk dibandingkan UU Nomor 18 Tahun 1999. Dalam UU yang merupakan inisiatif DPR RI itu awalnya terdiri dari 15 bab dan 113 pasal kemudian dikorting menjadi 14 bab dan memuat 106, jauh lebih gemuk dibandingkan UU sebelumnya yang hanya terdiri 12 bab dan 46 pasal.

LANTAS apa istimewanya UU Jaskon yang baru itu? Kepala Subdit Konstruksi Berkelanjutan Direktorat Bina Penyelenggara Jasa Konstruksi Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Hasto A Sapoetro mengakui UU Nomor 2 Tahun 2017 ini jauh lebih baik dibandingkan UU sebelumnya. “Walaupun harus kita sadari selama berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1999 hingga masa dicabut dan dinyatakan tak berlaku lagi, sudah memberi jaminan kepada kegiatan dunia konstruksi di Indonesia,” ujar Hasto A Sapoetro kepada jejakrekam.com, di sela-sela sosialisasi UU Jaskon Nomor 2 Tahun 2017 bagi jajaran Pemkab Banjar di Hotel Grand Dafam Syariah Banjarbaru, Senin (23/5/2017).

Ia mengakui prinsip dasar kelahiran UU Jaskon yang baru itu dimulai era keterbukaan, tantangan global seperti MEA dan pasar bebas, serta dinamika dituntutnya pelayanan publik yang harus baik, termasuk prinsip tata pemerintah yang baik. “Tentu saja, utamanya lagi adalah pelayanan publik dan penjaminan mutu pelaksanaan konstruksi. Sebab, baik pengguna maupun penyedia jasa konstruksi didudukkan dalam posisi yang proporsonal dan profesional,” kata Hasto.

Seperti apa posisinya? Jebolan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengatakan dalam UU Jaskon itu diatur bahwa penggarapan proyek atau kegiatan konstruksi itu merupakan ranah perdata, tak bisa serta merta diseret ke ranah pidana. “Selama masih dalam masa kontrak antara kedua belah baik pengguna maupun penyedia usaha konstruksi, misalkan ada pengaduan dari masyarakat atau pihak luar terhadap proyek, maka serta merta tak bisa dibawa ke ranah pidana,” tegas Hasto.

Sebab, menurut dia, ada penilaian dari tim ahli yang dibentuk Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang akan menilai terhadap pekerjaan proyek konstruksi. “Jadi, pihak-pihak luar tak bisa masuk, sepanjang itu masih dalam tahap masa kontrak. Memang diberikan waktu selama 30 hari bagi tim ahli bekerja. Mengapa demikian? Sebab, bisa saja nanti ada tenaga ahli yang dibutuhkan tak ada di Indonesia, maka Menteri PUPR bisa mendatangkannya dari ahli dari luar negeri, terutama untuk kasus spesifik,” tutur Hasto.

Ia menegaskan kehadiran UU Jaskon bukan melindungi seperti pelaku jasa konstruksi yang nakal, namun memposisikan secara proporsonal dalam musyawarah, terutama apa yang menjadi bahan aduan. Terkecuali, beber Hasto, dalam permasalahan selanjutnya itu ada dibuktikan unsur kerugian dari lembaga yang berkompeten seperti BPK dan BPKP, tertangkap tangan atau kejadian yang menyebabkan hilangnya  nyawa dalam kegiatan konstruksi. “Sepanjang tidak ada masalah semacam itu, maka kewenangan masih berada di tangan tim ahli penilai yang ditunjuk Menteri PUPR,” tegas Hasto.

Apakah tim ahli itu tak ada di daerah? Magister teknik Undip Semarang ini mengakui kehadiran UU Jaskon juga tak bisa dipisahkan dengan pemberlakuan UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, sehingga ada pendelegasian yang diatur lebih rinci dalam aturan pelaksana. “Nah, selama dua tahun ini kami diberi kesempatan untuk menyusun dan menerbitkan aturan pelaksana. Sebab, ada ketentuan dalam aturan peralihan, aturan pelaksana yang ada terkait UU Nomor 18 Tahun 1999 itu masih bisa digunakan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2017,” tegasnya. Sekadar diketahui, selama belum dicabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan aturan pelaksanaan dari UU Jaskon yang lama.

“Makanya, agar tidak terjadi perbedaan tafsir dan persepsi, kami turun ke daerah menyerap informasi, data dan fakta yang terjadi di lapangan. Nantinya, semua informasi ini akan dikumpulkan untuk merumuskan aturan pelaksanaan dari UU Jaskon yang baru. Ya, agar tak terjadi salah penafsiran,” tutur Hasto.

Ia hakkul yakin UU Jaskon yang baru ini jauh lebih baik dibandingkan UU Nomor 18 Tahun 1999 yang sudah mengamankan dunia konstruksi di Indonesia, seperti tenaga kerja yang harus bersertifikasi meskipun belum maksimal.  Hasto juga mengatakan UU Jaskon yang baru juga akan dihadapkan dengan serbuan tenaga ahli asing yang masuk ke Indonesia di era pasar bebas. “Namun, perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia tetap ada, sembari kita juga harus mematuhi ketentuan internasional. Ya, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi perusahaan asing atau tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Seperti perusahaan asing yang masuk ke Indonesia, maka perwakilan perusahaan harus orang Indonesia,” katanya.

Tak hanya itu, Hasto menegaskan upaya pendampingan dengan tenaga ahli Indonesia diharapkan akan mampu mewujudkan transfer pengetahuan dan teknologi dari tenaga ahli asing itu. “Mengenai sanksi dalam UU Jaskon juga sangat tegas, dari sanksi teguran, administrasi hingga pencabutan izin. Terkait tenaga kerja asing memang berkaitan dengan UU Ketenagakerjaan dan menjadi ranah Kementerian Tenaga Kerja, namun secara teknis Kementerian PUPR bisa memberi rekomendasi teknis masalah itu,” tutur Hasto.

Begitupula, menurut dia, persaingan usaha dan pembagian kewenangan konstruksi bertalian dengan UU Pemda dan kewenangan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menerima gugatan. “Sekali lagi, kehadiran UU Jaskon termasuk dalam menyelesaikan masalah gagal bangunan dalam kegiatan kontruksi, harus melalui penilaian tim ahli yang profesional dan independen yang dibentuk Menteri PUPR. Dari kajian ini, tim ahli yang akan melaporkan kepada Menteri PUPR seperti siapa yang bertanggungjawab dan sebagainya,” ucap Hasto.

Ia mengakui ketika ranah pidana khususnya korupsi yang selama dimunculkan dalam penanganan kasus konstruksi, menjadi momok yang menakutkan bagi pengguna jasa konstruksi. “Malah ada satu daerah yang tak mau menggarap kegiatan proyek, akibat takut dan tentunya berimplikasi terhadap penyerapan anggaran daerah. Saya tegaskan UU Jaskon yang baru ini meminalisir segala kemungkinan, namun tetap pengguna dan penyedia konstruksi tetap harus profesional,” pungkas Hasto.(jejakrekam)

Penulis   : Didi G Sanusi

Editor     :  Didi G Sanusi

Foto       :   Didi G Sanusi

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.