Stop Izin Tambang dan Kebun, Walhi Desak Negara Harus Bela Rakyat

0

OBRAL perizinan tambang dan perkebunan berskala besar, khususnya kelapa sawit didesak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan agar segera dihentikan. Kebijakan moratorium perizinan terhadap korporasi itu untuk menata kembali kondisi hutan Kalimantan Selatan yang sudah rusak parah,  khususnya hutan adat dan hutan lindung yang kini dijamah aktivitas pertambangan dan perkebunan.

DIREKTUR Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan di Kalsel, tercatat ada 303 pertambangan yang bermasalah, namun hingga kini izin usaha pertambangan (UIP) atau sejenisnya belum juga dicabut pemerintah. “Ini belum lagi antara pertambangan dan perizinan tambang juga terjadi tumpang tindih,” ujar Kisworo kepada jejakrekam.com di Banjarbaru, Sabtu (6/5/2017).

Dia mencontohkan persinggungan antara hutan tanaman industri (HTI) dengan hak pengusahaan hutan (HPH) yang marak terjadi di Kabupaten Tanah Bumbu, justru berhadapan dengan hak ulayat masyarakat adat Dayak Meratus, dan belum bisa dituntaskan hingga sekarang. “Nah, moratorium harus tetap dijalankan, jika perlu dipermanenkan. Jadi, tak ada lagi izin baru pertambangan dan perkebunan sawit. Sebab, saat ini sudah lebih dari 50 persen wilayah Kalimantan Selatan telah dieksploitasi pertambangan dan perkebunan. Sebab itu, tak ada ruang untuk izin-izin baru,” cetus Cak Kis-sapaan akrab aktivis berambut gondrong ini.

 

Menurutnya, moratorium yang diberlakukan pemerintah akan berakhir pada 13 Mei 2017 ini, sehingga perlu dipermanenkan kembali. “Sedangan, izin-izin usaha pertambangan dan perkebunan yang memanfaatkan hutan di Kalimantan Selatan harus dikelola dan diawasi secara ketat,” ucap Cak Kis.

Jebolan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) juga mendorong agar diberlakukan wilayah kelola rakyat (WKR), karena selama ini konflik agraria dan konflik kehutanan selalu bersentuhan dengan izin perusahaan serta masyarakat, khusus dalam statusnya sebagai tanah adat, tanah desa atau tanah masyarakat umumnya.

“Hal ini yang memicu konflik di lapangan. Sebab, perusahaan begitu mendapat izin merasa berhak untuk mengelola lahan. Sementara, masyarakat yang memiliki tanah yagn sudah lama mengelolanya justru tersingkir. Makanya, kami mendesak agar peerintah segera mengevaluasi perizinan yang ada dan menyetop penerbitan izin  yang baru,” cetus Cak Kis.

Ia mendesak agar mengelola perizinan yang telah terlanjur diberikan pemerintah. “Nah, kalau ada indikasi pelanggaran hukum, negara harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang melanggar aturan,” kata Cak Kis.

Kasus yang menimpa warga Desa Ambawang, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut dinilai Cak Kis adalah potret buram dalam penegakan hukum dan termasuk dalam tindakan kriminal. Terlebih lagi, pihak perusahaan yang mengantongi izin hak guna usaha (HGU) itu membabat habis kebun karet milik warga Desa Ambawang yang sudah lama mengelola serta memiliki bukti kepemilikan seperti sertifikat. “Jika pihak perusahaan sudah menerjunkan alat berat dan kemudian menggusur lahan perkebunan karet warga Desa Ambawang, tentu aparat penegak hukum harus bertindak. Sebab, hal itu jelas dilakukan secara sengaja,” kata Cak Kis.

Makanya, Walhi Kalsel mendesak agar negara hadir dalam menyelesaikan konflik antara warga dengan korporasi dan tidak membiarkan sengketa lahan ini berujung pada aksi yang tak diinginkan. “Sebab, semua kasus semacam ini tak bisa selesai hanya dengan ganti rugi. Maka pelanggaran hukum akan terus berulang, karena konflik sumber daya alam (SDA),  lingkungan dan konflik agrasia yang menjadi korban adalah rakyat. Seharusnya, negara turun tangan membela rakyat,” pungkas Cak Kis.(jejakrekam)

Penulis  : Ahmad Husaini

Editor    : Didi G Sanusi

Foto       : Walhi Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.