Pihak Tergugat Absen, Hakim PTUN Jakarta Kecewa, Walhi : Alasan Tak Aman, Sama Menghina Warga Kalsel

0

ALASAN keamanan, perwakilan PT Mantimin Coal Mining (MCM) serta tergugat tim kuasa hukum Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memilih tak menghadiri agenda sidang pemeriksaan setempat di Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Jumat (13/7/2018).

PADAHAL, tiga majelis hakim PTUN Jakarta yang dipimpin Sutiyono hadir untuk mengecek lokasi tempat izin tambang operasi produksi batubara PT MCM melalui SK Menteri ESDM bernomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 itu.

Agenda pemeriksaan setempat ini juga dihadiri pejabat Pemkab HST, aktivis Gembuk HST, masyarakat Desa Nateh, masyarakat Murakata,  dengan pengawalan dari aparat Polres HST dan Koramil Birayang, Jumat (13/7/2018).

Sebagai penggugat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kecewa ketidakhadiran tergugat Kementerian ESDM dan tergugat intervensi, PT MCM dalam sidang pemeriksaan setempat itu. Apalagi, selama ini, Pemkab HST yang empunya wilayah tak pernah mengeluarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk perizinan tambang skala produksi dari PT MCM.

Terutama berada di Blok Batutangga di Kecamatan Batang Alai Timur seluas 1.995 hektare, belum lagi wilayah Blok Upau mencakup Kabupaten Balangan dan Tabalong. “Ini adalah keputusan sepihak dari Kementerian ESDM tanpa memperhatikan kondisi yang ada di lapangan. Buktinya, bisa dilihat di lapangan bahwa kawasan izin tambang itu berada di areal hutan dan sungai sebagai sumber air bagi daerah,” ucap Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (LHD) Kabupaten HST, Muhammad Yani.

Walhi bersama Gembuk HST pun menurunkan 7 pengacara lingkungan untuk menggugat Menteri ESDM dan PT MCM. “Ini jelas, secara sepihak Menteri ESDM mengeluarkan izin tanpa mengindahkan kaidah aturan lingkungan hidup. Faktanya, hutan terakhir dan sumber air yang ada di Pegunungan Meratus, HST ini tengah terancam tambang batubara dan eksploitasi lainnya,” sahut Pengkampanye Energi dan Perkotaan Eknas Walhi, Dwi Sawung kepada wartawan, usai sidang pemeriksaan setempat di Desa Nateh, Jumat (13/7/2018)

Ia mengungkapkan gugatan Walhi dan Gembuk HST telah diajukan sejak 28 Februari 2018 untuk membatalkan SK Menteri ESDM terhadap peningkatan PKP2B eksplorasi menjadi eksploitasi tambang batubara milik PT MCM . “Sayang, hari ini, baik tergugat (Menteri ESDM) dan tergugat intervensi tidak hadir. Padahal, jelas Kabupaten HST merupakan satu-satunya kabupaten di Kalsel yang tak ada operasi tambang batubara dan lainnya. Jika nanti diizinkan beroperasi, tentu berbagai kerusakan baik kekurangan air, banjir di musim hujan dan masyarakat terusir dari tempat tinggalnya akan terjadi di sini,” kata Dwi Sawung.

Dia mengakui dukungan masyarakat HST melalui petisi sebanyak 46 ribu yang membubuhkan tandatangan menjadi amunisi dari persidangan di PTUN Jakarta. “Sesuai agenda pada Agustus 2018 nanti akan ada keputusan dari majelis hakim PTUN Jakarta. Kami yakin majelis hakim akan mengeluarkan keputusan yang berpihak kepada masyarakat HST, karena kawasan ini memang tak cocok untuk pertambangan, apalagi banyak hal yang dilanggar,” kata aktivis lingkungan berambut gondrol ini.

Kekesalan tidak hadirnya kuasa hukum dari Menteri ESDM dan PT MCM juga disuarakan Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan Hidup Ronald A Siahaan. “Ini bukti jika Menteri ESDM itu tidak tahu di lapangan. Makanya, majelis hakim menguji dengan pemeriksaan setempat. Ini jelas, Menteri ESDM itu tidak tahu bahwa lahan yang ada ini diberikan kepada warga asing, dalam hal ini PT MCM itu dikuasai investor dari India,” kata Ronald A Siahaan.

Yang membuat makin jengkel, sebut Ronald, adalah warga Desa Nateh dan lainnya juga tidak tahu kalau desanya termasuk dalam wilayah konsesi tambang PT MCM. “Hakim juga menyatakan kecewa ketidakhadiran pihak tergugat dan tergugat intervensi. Makanya, kemarahan dan kegelisahan warga HST ini, kami wujudkan lewat gugatan ke PTUN Jakarta,” kata Ronald lagi.

Dia juga menuding kekonyolan terjadi adalah surat pemberitahuan itu justru dikirim pihak PT MCM sehari atau tepatnya pada Kamis (13/7/2018), sebelum agenda pemeriksaan setempat dilakukan majelis hakim PTUN Jakarta. “Ini membuktikan mereka itu tidak serius dan main-main serta melecehkan proses persidangan yang berlangsung di PTUN Jakarta,” katanya.

Dia yakin majelis hakim akan mengambil keputusan berdasar saksi, fakta dan bukti termasuk di lapangan untuk membatalkan SK Menteri ESDM tersebut. “Di sini, dibutuhkan keberanian hakim. Apalagi, izin tambang di Pegunungan Meratus ini dikuasai warga India. Sementara, warga adat Dayak Meratus sudah turun temurun tinggal di sini,” tegas Ronald.

Ketersinggungan juga dikatakan Kisworo Dwi Cahyono. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel menilai alasan aspek keamanan yang disuarakan perwakilan PT MCM adalah mengada-ada. “Apa kita ini tak taat hukum. Lagipula, aspek keamanan juga dijamin aparat kepolisian. Mereka ini seperti menghina dan merendahkan masyarakat Kalsel dengan mengatakan seolah-olah lokasi yang dicek di lapangan tidak aman,” kata Kisworo.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.