Pilkada: Pesta Rakyat atau Pesta Perjudian Kekuasaan

0

MENGAMATI perjalanan demokrasi di negeri pasca berakhirnya kekuasaan oligarki Orde Baru sebagai fenomena yang selalu menarik bila dilihat dalam konteks demokratisasi dan relasi kuasa para aktor yang bermain dalam panggung transisi demokrasi.

TRANSISI demokrasi yang diiringi konsolidasi demokrasi telah dibajak oleh aktor dan elite partai yang berlatar belakang pengusaha atau memiliki kuasa modal. Ketika kekuasaan oligarki dikendalikan oleh Soeharto dan para kroni politik telah menempatkan institusi negara sebagai arena persekongkolan membangun jaringan patronase politik dan bisnis. Selain itu, institusi negara menjadi instrumen untuk melegitimasi kekuasaan para kaum oligark dan berlindung di balik simbol-simbol kekuasaan untuk melestarikan kekuasaan dengan cara-cara predatoris.

Seperti ditulis ilmuan politik Vedi R Hadiz dan Richard Robison (2004); Vedi R Hadiz (2010) dan penulis buku Opposing Soeharto, Edward Aspinall, sepakat menyebut bahwa Soeharto as source of main patronage (Soeharto sebagai sebagai sumber utama patronase) dan sebagai pengendali kekuasaan oligarki kata Jeffery Winters (2011). Pemerintahan Orde Baru menempatkan kekuatan militer, birokrasi dan golongan karya (Golkar) sebagai alat legitimasi, justifikasi kekuasaan dan sekaligus sebagai instrumen mobilisasi dan represi terhadap rakyat.

Pada level ekstrim, negara tampil sebagai kekuasaan tunggul dan mengeliminasi kekuatan atau kelompok kritis di luar kekuasaan negara. Negara tampil sebagai monster menakutkan dan politik belah bambu pun secara terstruktur bekerja secara repressip dan menakutkan. Seperti disebutkan, militer, birokrasi dan Golkar menjadi payung agung bagi rezim Soeharto dan sekaligus menjadi pilar hegemonik yang tidak bisa dikontrol oleh kekuatan apa pun.

Para kelompok kritis tidak memiliki tempat atau ruang di negeri ini untuk memberikan kontrol terhadap kekuasaan. Seperti dijelaskan oleh Prof Harold Crouch, Soeharto telah menjadikan institusi militer sebagai alat kekuasaan Soeharto dan untuk mengamankan oligarki bisnis keluarga dan para kroni bisnis Soeharto. Sepanjang kekuasaan Soeharto, kehidupan demokrasi menjadi kabur. Pemilihan umum (Pemilu) tidak lebih sebagai arena pementas wajah demokrasi dan arena pembodohan politik secara legal bagi rakyat.

Tidak ada pilihan lain bagi rakyat kecuali mengikuti arus logika penguasa otoriter dan mengakumulasi logika rakyat di tengah ketidakpahaman rakyat mengenai arti sebuah demokrasi. Rakyat dimobilisasi dan direpresi oleh instrumen kekuasaan negara untuk mendukungan kekuasaan oligarki yang telah bertahan sekian lama. Menurut Prof Herbert Feith dari Australian National University, penulis buku Elections in Indonesia.

Feith berpendapat bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu demokrasi dalam sejarah pemilu di Indonesia. Para aktor politik dan elite partai tampil sebagai sosok yang memiliki kualitas dan menampilkan diri sebagai negarawan. Apa yang ditulis oleh Prof Herbert Faith itu menjadi perspektif perbandingan untuk memahami peta bumi demokrasi saat ini. Herbert Faith yang bertahun tahun menjadi profesor tamu di UGM secara fasih menjelaskan situasi politik di tahun 1950-an yang ditandai oleh kekuasaan politik Soekarno.

Tampilnya kekuasaan oligarki Orde Baru telah menjadikan kekuasaan politik Soeharto menjadi kekuasaan tunggal yang nyaris tidak terkontrol. Di era demokratisasi yang ditandai oleh pragmented society (masyarakat yang terpecah belah secara politik) telah dimanfaatkan oleh kelompok kekuatan yang memiliki kuasa modal. Seiring berjalannya waktu, dinamika politik semakin tidak menentu karena relasi kuasa para aktor politik lebih banyak diwarnai deal-deal politik dan persekongkolan.

Menjelang Pilkada Serentak 2018, yang dapat dijelaskan adalah bahwa ritual demokrasi akan datang sesungguhnya tidak lebih pertatungan para oligark yang berusaha mempertahankan atau merebutkan kekuasaan secara legal di tengah partai berwatak kartel.

Dalam konteks di Kalimantan Selatan, tampilnya para petahana dari Kabupaten Tabalong,  Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Tanah Laut secara teoritik lebih memiliki peluang untuk memenangkan perebutan kekuasaan. Melihat fenomena tersebut, pilkada serentak tidak lebih sekadar mendaulat kembali penguasa incumbent. Artinya, pesta sudah berakhir. Kalkulasi politik sudah dapat diprediksi siapa yang menjadi pemenang dan siapa pecundang.

Pertanyaannya adalah, apakah Pilkada Serentak 2018 sebagai pesta rakyat atau pestanya para pejudi politik kekuasaan yang tidak diwarnai oleh permainan politik uang. Sejak proaes pencarian kendaraan politik (partai politik) sudah diwarnai permainan politik uang antara kandidat dan rezim partai. Hal ini sudah menjadi pengetahuan publik

Seorang kandidat harus menyediakan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan kendaraan politik. Tidak.berhenti sampai disitu, proses selanjutnya, kandidat sudah menjadi sandera para tim sukses atau orang-orang yang berada dalam lingkaran ting satu, ring dua, atau ring seterusnya yang semua ring-ring itu harus digerakkan dengan kekuatan uang. Misalnya, ada tim sukses dari partai, tim sukses inti dan tim sukses dari para keluarga kandidat. Lagi-lagi sang kandidar tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi ritual politik gila ini.

Belum lagi membayar para tim survei yang di datangkan dari Jakarta atau tim survei lokal yang semua itu ada hitungan dana yang tidak sedikit. Akumulasi biaya politik berlapis-lapis ini telah menjadikan pilkada serentak tidak lebih arena perjudian kekuasaan atau arena perjudian sabung ayam sembari para penontong bertepuk tangan melihat ayam yang telah berdarah darah di tengah panggung.altar demokrasi gila.itu.

Kerasnya tepuk tangan publik yang.menyaksikan.perhelatan sabung.ayam politik itu semakin membangkitkan libido seksualitas politik yang tidak terkendali. Libido seksualitas politik semakin norak dengan iringan permainan politik uang dan bagi bagi sembako politik yang tidak mengenal dimensi dosa politik.

Dalam struktur logika para kandidat adalah: Menang dan menang. Sekiranya kucing belang itu bisa berkata, “Bapak calon penguasa, izinkan saya mencoblos namamu besok lusa, maka sang kucing belang itu pun akan mendapatkan uang atau sebungkus nasi sembari kucing berucap terima kasih. Inilah realitas kualita demokrasi kita. Yaitu suatu demokrasi yang masih sebatas menghadirkan demokrasi prosedural yang diwarnai politik uang dan politik transaksional.(jejakrekam)

Penulis : DR M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAAB

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Foto    : Nawacita.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.