Menyoal Proyek Impian Lumbung Padi Nasional

0

Oleh : Winingtyas Wardani

PANGAN merupakan soal mati hidup suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi  maka ‘malapetaka’ oleh karena itu perlu usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner’ (Ir. Soekarno). 

SEPENDAPAT dengan apa yang dikatakan Presiden pertama kita, masalah pangan adalah masalah yang penting.  Sudah seharusnya negara memberikan perhatian penuh terhadap masalah pangan, dengan mengupayakan ketahanan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya.

Adanya prediksi ke depan dari FAO bahwa adanya pendemi, menyebakan  dunia akan menghadapi krisis pangan, membuat semua negara bersiap-siap memperkuat ketahanan pangannya.

Begitu juga dengan Indonesia. Belum lama ini pemerintah meluncurkan program pembangunan food estate atau Lumbung Pangan Nasional (LPN) .

Program yang akan dilaksanakan tahun ini berlokasi di Kalimantan Tengah, di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, tepatnya  di lokasi eks PLG (Pembukaan Lahan Gambut) sejuta hektar. Luasan LPN yang akan dibangun untuk tahun ini seluas 30.000 hektare. Sampai tahun 2022 ditargetkan luas LPN mencapai 148.000 hektare.

BACA : Sukseskan Program Food Estate, Danrem 102/Pjg Satukan Frekuensi dengan Dinas TPHP Kalteng

Rencana pembangunan LPN ini menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya  Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas, menyatakan pemerintah tidak belajar dari kegagalan pembangunan LPN tahun-tahun sebelumnya.

Mulai dari Presiden Soeharto dengan proyek pembukaan gambut sejuta hektar di Kalteng di tahun 1996-1997. Presiden SBY dengan proyek serupa di Ketapang seluas 100 ribu ha dan di Bulungan seluas 300 ribu ha. Lalu rencana  pengembangan LPN di Merauke seluas 1,2 juta ha di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Semua proyek tersebut sampai detik ini gagal total. (www.detik.com, 5/7/2020).

Kegagalan demi kegagalan dalam pembangunan LPN seharusnya  membuat pemerintah introspeksi, mengevaluasi kegagalan yang ada, bukan malah membangun proyek yang serupa. Sependapat dengan yang disampaikan para ahli, pembangunan LPN di Kalteng ini memang memiliki keberhasilan yang kecil. Ditinjau dari segi kelayakan teknis,  pembangunan LPN di ekosistem lahan gambut tidak semudah membangun LPN di tanah mineral.

Tidak semua kawasan gambut cocok ditanami atau dibudidayakan karena perbedaan karakteristik gambut.  Sedangkan kondisi gambut di sana sangat heterogen, karakter fisiknya tidak bisa disamaratakan. Pencermatan tentang kataeristik ini  berkaitan dengan perlakuan  prakondisi lahan sebelum dibudidayakan.  Yang patut diketahui, hanya gambut tipis saja yang memungkinkan untuk dibudidayakan.

BACA JUGA : Perluas Lahan Pertanian, Barito Utara Siap Jalankan Program Food Estate

Dari segi ekonomi,  budidaya di lahan gambut memerlukan input biaya yang lebih besar. Sifat tanahnya yang cenderung masam,  karakteristik ekosistemnya yang selalu tergenang air, memerlukan perlakuan khusus baik mengurangi kadar keasamannya maupun pengaturan tata airnya.

Diperlukan manipulasi lingkungan untuk mengkondisikan agar lahan bisa ditanami. Di antaranya dengan pembuatan kanal-kanal untuk mengatur tata airnya . Membuat guludan-guludan agar tanaman tidak tergenang. Menambah hara tanah untuk menetralkan keasamannya. Ini semua memerlukan biaya yang besar. 

Selain itu budidaya di lahan gambut memerlukan pemeliharaan tanaman  yang cukup intensif. Tenaga kerja ataupun penduduk yang nanti akan mengerjakan harus ada. Pembangunan akses menuju ke lokasi juga harus dilakukan. Yang berart juga memerlukan investasi yang tidak sedikit.

BACA JUGA : Panen Perdana Padi Siuti, Tim Riset ULM Berhasil Ubah Sawah Jejangkit

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, pembangunan LPN  di lahan gambut kecil kemungkinannya untuk berhasil. Untuk prakondisi lahan saja memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi untuk memanen hasilnya. Padahal krisis pangan sudah terjadi. 

Ini menunjukkan bahwa proyek ini terkesan hanya untuk  mengejar prestise atau pencitraan untuk menunjukkan kepedulian terhadap ketahanan pangan.  Dan patut diduga proyek ini hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir orang, atau pihak-pihak tertentu. Indikasi ke sana memang tercium ketika pemerintah akan membentuk lembaga ataupun badan baru yang  akan bekerja sama dengan BUMN (PT Rajawali Nusantara Indonesia) untuk turut  menangani proyek ini (www.detik.com,5/7/2020) .

Dalam pemerintahan yang dijalankan berdasarkan asas kapitalis sekuler hal yang demikian adalah keniscayaan. Kalau sudah demikian, ketahanan pangan yang akan diwujudkan dengan membangun LPN di Kalteng hanyalah  sekadar impian.

BACA JUGA : Uhaib As’ad : HPS Jangan Sampai Mengulang Proyek Sejuta Hektare Orde Baru

Akan sangat berbeda jika asas Islam yang digunakan untuk mengatur negara. Menurut pandangan Islam, adalah tugas negara untuk mengurusi urusan rakyat, termasuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Negara akan sekuat tenaga mewujudkan ketahanan pangan dengan anggaran yang berasal dari pos-pos pemasukan negara. Negara berusaha untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pokok, tidak tergantung kepada asing. Hal ini karena sangat berkaitan erat dengan kedaulatan negara.

Tegak di atas aqidah yang lurus, yang berasal dari Sang Maha Pencipta,  negara akan hadir di sektor pertanian mulai dari hulu ke hilir. Negara  menjamin ketersedian bibit, saprodi, pupuk dan sebagainya secara murah. Tidak seperti negara kita, dimana koorporate yang menguasai perdagangan bibit, pupuk. Sedangkan negara hanya berfungsi sebagai regulator.

BACA JUGA : Tokoh Dayak Protes Peladang Tradisional Jadi Kambing Hitam Karhutla

Dari sisi produksi,  juga demikian, negara  mendorong para petani agar mau menggarap tanahnya dengan optimal. Subsidi bibit dan pupuk diberikan bagi petani yang tidak mampu. Tanah-tanah mati atau  yang ditelantarkan dihidupkan, diberikan kepada petani yang tidak mempunyai lahan.

Dengan demikian tanah yang ada akan menjadi lebih produktif, dan  petani akan lebih bersemangat mengelola lahannya. Negara juga akan melakukan managemen logistik dengan cermat. 

Negara akan mengendalikannya dengan memperbanyak cadangan saat produksi melimpah  dan mendistribusikannya secara selektif ketika persediaannya mulai berkurang. Di sinilah peran teknologi pengolahan pasca panen menjadi penting. Negara akan mendorong penelitian-penilitian ke arah sana dengan serius.

Karena pertanian ini sangat berkaitan erat dengan musim, maka negara akan menganalisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Fenomena alam sepeti curah hujan ,kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi akan diamati secara seksama. Informasi ini disebarluaskan kepada para petani supaya mereka bisa mengatur jadwal dalam pengolahan lahannya.

BACA JUGA : DPRD Kalsel Gali Pengembangan Kawasan Food Estate di Kapuas

Negara juga akan menyiapkan mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini , berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu. Dengan demikian masyarakat akan siap dan tahu apa yang akan diperbuat jika bencana kerawanan pangan benar-benar terjadi.

Di sisi konsumen, negara akan mengedukasi rakyat untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi pangan. Kelebihan konsumsi pangan hanya akan menyebabkan obesitas, yang bisa memicu timbulnya berbagai penyakit dan juga memunculkan persoalan penanganan limbah. Edukasi ini diharapkan dapat mengubah gaya hidup konsumsi pangan yang belebihan.

Dengan hadirnya negara dalam sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya, ketahanan pangan akan tercapai. Proyek pencitraan seperti pembangunan  LPN yang dilakukan tanpa perhitungan yang cermat dan  hanya menghabiskan  anggaran tanpa hasil yang pasti jelas bukan merupakan pilihan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

Warga Kompleks Galuh Marindu 1 Banjarbaru Kalimantan Selatan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.