Kisah Korupsi Penarik Pajak di Era Kesultanan Banjar

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

PRAKTIK korupsi sudah marak di nusantara sejak zaman kerajaan. Seperti diungkap Emmanuel Subangun, dalam “Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”, terdapat tahap awal korupsi masa kerajaan di Indonesia. Tahap awal merupakan tahap legal dan politik.

DEMIKIAN halnya di Kalimantan bagian Selatan pada era Kesultanan Banjar. Walau bersifat ‘kecil kecilan’, toh korupsi ini berkelindan dengan penyelewengan, terutama dalam hal penarikan dan pembayaran pajak. Pajak merupakan penghasilan negara (penghasilan sultan pribadi) berupa pajak pemberian, bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi emas dan tambang intan, pembuatan perahu dan buruh kerja untuk keraton. Pajak ini semua dapat dibayar dengan uang atau dalam bentuk natura.

Saat itu, masyarakat yang masih belum mengenal perhitungan moderen dan berpendidikan terkadang oleh para pejabat penarik pajak. Mereka dikenakan pajak yang jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh kesultanan. Kelebihan tarikan pajak ini selanjutnya dinikmati oleh para oknum pejabat. Terutama, pajak pemberian (poll-tax) yang terdiri dari baktin, yaitu pajak berupa buruh-kerja dan nadar, yaitu pajak tanpa buruh-kerja.

Jumlah uang nadar adalah f (gulden atau florin) 5,60 untuk pembayaran pajak yang sudah kawin. Kemudian, f 2,90 untuk yang tidak kawin perorangan. Jumlah uang baktin f 2,60 untuk yang kawin. Di luar wilayah Banua Lima pajak tersebut berjumlah f 2,-, kecuali orang-orang Martapura adalah bebas dari jenis pajak (poll-tax) ini.

BACA : Blunder Van Twist Dudukkan Tamjidillah sebagai Sultan Muda Kerajaan Banjar

Perkampungan masyrakat Banjar di tepian Sungai Matapura.

Kampung-kampung Dayak yang dihuni kelompok etnis suku Dayak berkewajiban membayar tiap tahun berupa pembayaran upeti. Dari pajak tersebut biasanya diselewengkan beberapa pimpinan rendah dalam birokrasi yang terendah yakni pimpinan dari rakyat.

Dalam hal ini, hierarkis politik yang terbawah adalah berupa Pambakal atau kepala kampung yang “nakal”. Dia dibantu oleh Pangeran dan Panakawan mengumpulkan pajak. Selain itu, pajak juga terkadang ditinggikan oleh pimpinan kampung dapat membentuk sebuah sub-distrik, yang dipimpin oleh Lelawangan.

Selain itu yang menjadi sasaran penyelewengan adalah cukai retribusi untuk barang-barang adalah sepersepuluh dari harga barang-barang komoditi, kecuali garam. Retribusi padi tidak pernah dipungut tapi dalam bentuk zakat. Seluruh daerah membayar zakat, kecuali kampung-kampung suku Dayak.

BACA JUGA : Bubuhan di Era Kesultanan Banjar, Diberi Gelar Pembekal, Kiai hingga Andin (2-Habis)

Bukan hanya pajak, korupsi sebagai bentuk penyelewengan atau penyalahgunaan uang suatu untuk keuntungan pribadi atau orang lain, marak setelah kebijakan dalam Kesultanan yang dalam hal ini berupa hasil tanah apanase. Tanah yang diberikan sultan kepada anak-anaknya, atau familinya.turun temurun. Si pemegang mendapat sebuah surat hadiah dari raja, yang disebut vap, sebab segel raja dibubuhi pada surat tersebut.

Dari sebuah apanase si pemilik dapat mengambil penghasilan resmi berupa pajak pemberian (poll-tax), fitrah, zakat, hasil berbentuk natura seperti minyak kemiri, madu, ikan basah dan ikan kering, rotan, lilin, daging rusa dan tanduk rusa, telur itik, kura-kura sungai, monopoli rotan dan pajak rotan, sewa sungai ikan (paiwakan) dan sewa tanah.

Dari tambang intan, pemilik apanase tidak hanya memperoleh pajak yang umum. Namun, dia juga mempunyai hak monopoli dalam pembelian intan. Setiap intan yang ditemukan sebesar 4 karat, harus dijual pada raja atau pemilik apanase. Rakyat dalam tanah apanase harus memberi pelayanan pada pemilik apanase sebulan dalam tiap tahun. Mereka ditempatkan sebagai tenaga kerja untuk apanase. Dia dapat menggantikannya dengan uang, jika dia memilik uang, besarnya f 7,- per kepala.

BACA JUGA : Petaka Perjanjian 26 Ramadhan Bikin Kesultanan Banjar Tergadai

Sejak tahun 1826, Kerajaan Banjar hanya wilayah tanah tempat tinggal kelompok etnis suku Banjar. Terdiri dari daerah inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan dusun dengan pegunungan Meratus. Batasnya, sebelah barat dan utara sejauh sumber mata air sungai-sungai Paku, Sihong dan Nappo dan Gunung Luang.

Semua daerah ini yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam dua daerah teritorial. Sebagian adalah daerah pajak milik Sultan, dan bagian lain dibagi atas daerah apanase kerajaan, diberikan kepada keluarga dekat Sultan. Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari Banjar, Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan Banua Lima.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.