Wakil Ketua Komnas HAM Sebut Dokumen Kerusuhan 23 Mei 1997 Dimakan Rayap

0

KERUSUHAN 23 Mei 1997, masih menyisakan misteri. Peristiwa yang disebut Jumat Membara atau Jumat Kelabu ini sudah 22 tahun berlalu, sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di era Orde Baru, tidak ada laporan akurat untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

SELAMA ini, publik dengan bermodal informasi sepenggal, mengaitkan peristiwa kerusuhan ini karena gesekan massa pendukung Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hingga terjadi aksi penjarahan, pembakaran dan kerusuhan massal. Korbannya pun tak jelas berapa jumlahnya. Ada yang menyebut ratusan jiwa. Berikut bangunan dan lainnya yang dibakar massa.

Ternyata untuk mengungkap peristiwa yang diduga ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kini dokumen itu telah dimakan rayap di Kantor Komnas HAM di Jakarta. Wakil Komnas HAM Hairansyah mengakui saat ingin membuka file kerusuhan 23 Mei 1997 itu, terkendala dokumen yang sudah tak terbaca.

BACA : Jangan Tutup Mata dan Telinga atas Tragedi 23 Mei di Banjarmasin

“Ketika saya telah diangkat menjadi anggota Komnas HAM, saya langsung buka file yang ada di kantor. Ternyata, dokumen hasil investigasi Komnas HAM yang dimotori  dua investigator, yakni guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya, Prof Soetandyo Wignjosoebroto dan Asmara Nababan, sudah tak bisa terbaca lagi,” kata Hairansyah kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Sabtu (25/5/2019).

Mantan komisioner KPU Kalsel ini mengakui hasil investigasi Komnas HAM saat kerusuhan 23 Mei 1999 itu terjadi, sudah cukup lengkap digali kedua investigator andal tersebut.
“Ya, karena sistem arsip di Komnas HAM kurang baik, akhirnya dokumen ini dimakan rayap. Tidak seperti sekarang, pengelolaan arsip lebih bagus, karena bisa disimpan dalam komputer,” tutur Ancah, sapaan akrabnya.

BACA JUGA : Melawan Lupa: Jumat Kelabu 23 Mei 1997

Ia mengakui tak hanya dokumen, soft copy atau hard copy dari hasil investigasi itu juga tak ditemukan lagi. Padahal, menurut Ancah, jika dokumen itu masih bisa terbaca, bisa diungkap lagi untuk membeberkan fakta sesungguhnya yang terjadi di Banjarmasin.

“Memang, ada buku Amuk Banjarmasin yang ditulis almarhum Munir dari YLBHI, namun perlu disandingkan dengan hasil investigasi dari Komnas HAM. Ini kesulitan kami untuk menindaklanjutinya,” beber Ancah.

Ini ditambah, masih menurut dia, sumber-sumber yang melakukan investigasi juga telah tiada, sehingga kerusuhan 23 Mei 1997 terbesar di Banjarmasin itu kini masih diliputi misteri.

“Memang, waktu kerusuhan 23 Mei 1997, saya jadi wartawan di harian Dinamika Berita. Waktu itu, saya ingat betul jika Komnas HAM turun ke Banjarmasin. Nah, data ini yang perlu digali lagi, sayangnya lagi dokumennya sudah dimakan rayap,” tutur Ancah lagi.

BACA LAGI : Belajar dari Tragedi Jumat Kelabu, Ketika Polarisasi Masyarakat Makin Menggebu

Alumni Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ini mengakui banyak cerita yang berkembang di masyarakat Kalsel, khususnya Banjarmasin dalam mengungkap kerusuhan 23 Mei 1997 itu. Termasuk, ada pasukan berbaju hitam yang menghalau para perusuh, hingga menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak.

“Memang saat itu ekskalasi politik nasional sangat tinggi, ketika itu PPP dan PDI bergabung melawan hegemoni Golkar selaku partai berkuasa di era Orde Baru. Kasus ini juga dikaitkan dengan etnis tertentu. Nah, untuk mengungkapnya kembali, tentu butuh dokumen yang terpercaya dari sumber kredibel,” tandasnya.(jejakrekam)

 

 

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.