Review Basurah 1.0: Jalan Sunyi Berita Seni

0

RABU (20/2/2019), Yayasan Palatar telah menggelar Basurah 1.0 di Anjungan Saidah dan Adinda, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Banjarbaru. Basurah 1.0 mengangkat tema tentang pertautan antara pers dan seni sebagai sebuah upaya pengembangan seni budaya. Bagaimana pers menempati peran yang penting dalam publikasi seni, kritik seni, pamer karya, dan pemberitaan seni itu sendiri.

ACARA dilangsungkan pada pukul 20.00 Wita. Basurah yang pada malam itu menghadirkan tiga panyurah, yaitu Novyandi Saputra (kritikus seni), Sandi Firly (redaktur, jurnalis), dan Sumasno Hadi (akademisi seni).

Diskusi dibuka dari Novyandi Saputra dengan pembahasan tentang ruang kritik seni pada media massa yang diterima ataukah diabaikan. “Kritik seni pada media massa hadir untuk memberikan nafas yang lebih panjang terhadap karya seni” ujar Novyandi Saputra.

Pada sisi lain seperti yang dipaparkan Novyandi, menjadi kritikus seni seperti dibiaskan oleh banyak orang. Kritik seperti selalu diartikan dalam konteks negatif, padahal kritik hadir untuk memberikan dokumentasi yang bersifat lebih membongkar karya seni dalam wilayah estetik-artistik.

Seniman yang menerima kritik juga jarang kemudian melakukan diskusi dengan kritikus baik berupa balasan tulisan ataupun bertemu langsung untuk kemudian karya dan tulisan kritik mampu hadir saling mengisi sebagai sebuah pengetahuan.

Sandi Firly memaparkan tentang keberadaan pers di Kalimantan Selatan yang kekurangan wartawan serta kekurangan ruang pada media massa, baik cetak maupun online.

BACA : Angkat Isu Pers dan Seni, Yayasan Palatar Adakan Basurah

Selain itu, menurutnya, seorang wartawan mempunyai gengsi ketika berhasil mendapatkan berita seperti kriminal atau korupsi dibandingkan dengan berita seni, yang biasanya pun hanya sebatas informasi. “Kegiatan seni jarang sekali dipublikasikan di media massa, kalaupun dipublikasikan hanya sebatas informasi bukan analisis” ujarnya.

Bagi Sandi, hingga saat ini masih banyak kawan-kawan seniman yang mengirimkan tulisan mereka baik berupa puisi, cerpen, opini, esai dan kritik seni. Hal itu dikarenakan adanya rasa kebanggaan dari kawan-kawan yang tulisannya berhasil masuk dalam media tersebut sebagai sebuah pembuktiaan kekaryaan.

BACA JUGA :  Dua Tahun Jejakrekam, Dua Tahun Ikhtiar Merawat Jurnalisme yang Mencerahkan

Tulisan tersebut tidak sembarangan terbit, namun harus masuk meja redaktur untuk kemudian dikurasi dan disesuaikan dengan ruang media tersebut. Sistem kurasi oleh redaktur ini menjadi poin penting bagi para penulis seni yang mengajukan tulisannya ke media massa.

Sumasno Hadi menambahkan, pers sebagai media massa dapat menjembatani karya seni kepada publik hal ini berkaitan dengan konteks karya seni yang merupakan subjektivitas seniman.

Teks yang dihadirkan seniman berupa makna-makna dan simbol-simbol yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat umum. Kritikus berperan untuk membuat karya seni itu terang.

Hadirnya media digital dan media sosial juga memberi dampak yang lumayan mudah untuk akses menerbitkan sebuah pemberitaan seni sekarang ini. Pemberitaan seni kemudian bisa lebih mudah diterbitkan. Sumasno Hadi menjelaskan bahwa hadirnya ruang alternatif itu merupakan bagian dari bagaimana kemudian kita memaknai sisi positifnya artinya itu bisa dimafaatkan yang kemudian bisa saja akan melahirkan sebuah kebiasaan public dalam mencari pemberitaan seni.

BACA JUGA :  Memasuki Tahun Politik, AJI Imbau Jurnalis Jaga Independensi dan Profesionalisme

Pada rentang diskusi tersebut yang berjalan dengan santai diterangi purnama bulan terjadi saling silang pendapat tentang posisi pemberitaan seni (kritik, review, pamer karya, dan lainnya) masiha dianggap tidak begitu penting bagi media cetak yang mapan di Kalimantan Selatan.

Radius ardanias Hadariah kemudian menyikapi hal tersebut dengan melihat keadaaan seni di Kalimantan Selatan ini belum berada pada wilayah industry sehingga kritik seni tidak mampu berdiri kuat untuk menambah value sebuah karya seni.

Ini berbeda dengan negara-negara atau daerah yang memposisikan seni masuk dalam wilayah industry, kritik seni menjadi salah satu bagian yang membuat orang akan hadir dalam sebuah pertunjukan karya seni.

Radius juga menjelaskan bahwa seni-seni tradisional yang memiliki nilai adiluhung tidak masuk dalam wilayah kritik seni karena posisi seni ini dekat dengan wilayah ritus dan kebiasaan masyarakat.

BACA LAGI :  Kemerdekaan Pers dan Kedaulatan Rakyat yang Masih di Bawah Ancaman

Kesimpulan yang didapat pada diskusi yang memposisikan panyurah dan audience berada pada posisi yang setara ini antara lain perlunya pembenahan ekosistem seni yang berkelanjutan yag mana salah satunya adalah berita seni (kritik, review, pamer karya) berada pada posisi yang kuat dalam sebuah media massa.

Karya-karya seni kemudian mampu berada nilai tukar yang baik dengan adanya pemberitaan tersebut. Kritikus-kritikus pertunjukan bukan sekedar menulis reportase pertunjukan namun lebih pada membuat sebuah karya seni mampu dipahami dengan lebih terang oleh para apresiatornya. Maraknya media digital dan media sosial menjadi salah satu ruang alternatif baru untuk memuat berita seni di era sekarang ini.

Program Basurah merupakan ruang terbuka untuk bertukar pikiran dan mengemukakan pendapat. Hal seperti ini bermanfaat untuk menciptakan sebuah ruang dialektika yang sehat. Dengan acara yang dikemas secara ringan dan juga santai setiap orang dapat mengutarakan apa yang menjadi pemikirannya. Selain itu, Basurah bukan hanya sebagai ruang diskusi yang membahas isu-isu kebudayaan namun juga bedah buku, bedah karya, hingga orasi budaya.(jejakrekam)

Penulis adalah Manager Program Basurah Yayasan Palatar

Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.