Kekerasan pada Anak Didominasi Emak

Oleh: Hasni Tagili, M. Pd

0

TANGGAL 29 Juni, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional. Untuk tahun ini, tema yang diangkat adalah Cinta Keluarga, Cinta Terencana.Hal ini dicanangkan mengingat pentingnya mencintai keluarga dan perencanaan membangun keluarga (Tribunnews.com).

SAYANGNYA, momen ini dinodai oleh segelintir kasus kekerasan pada anak. Mencengangkannya, pelaku tindak kejahatan terhadap anak ini malah didominasi oleh emaknya sendiri. Miris! Sebut saja seorang ibu di Dusun Tempur, Malang, yang tega menghabisi nyawa anaknya yang berusia 8 tahun dengan gayung. Ia mengaku spontan melakukan hal itu. Sebabnya, si anakhabis main layangan lama dan mengambil uang lebaran di dalam amplop (Viva.co.id, 22/06/2018).

Nasib na’as juga menimpa korban berinisial MR, seorang balita 2.5 tahun di Surabaya, Jawa Timur,yang tewas dianiaya bapak tirinya (iNews.id, 25/06/2018). Saat kejadian, ibu kandung MR sedang menghadiri acara halal bihalal. Dipicu oleh tangisan korban yang tiada henti, pelaku memukul kepala korban menggunakan gayung serta memasukkan kepala korban ke dalam ember yang berisi air selama kurang lebih 10 detik. Tidak hanya itu, ia juga menganiaya dengan memukul perut korban dengan tangan. Benar-benar tega!

Bukan hanya tahun ini, tahun-tahun sebelumnya pun kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi oleh para emak ini juga kerap terjadi. Masih ingat ketika publik dikejutkan dengan aksi seorang istri prajurit Polriyang telah melakukan pemutilasiandengan kejiterhadap dua anak kandungnya akibat depresi (Kendari Pos, 03/10/2016).Pelaku yang merupakan warga Gang Jaya 24 Cengkareng itu telah memutilasi dua anaknya, namun salah satu anaknya bisa diselamatkan (Merdeka.com, 03/10/2016).

Banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan pada anak oleh keluarganya, serasa menjauhkan kita dari slogan manis yang hadir di setiap Harganas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2018 setidaknya sebanyak 23 kasus anak mengalami kekerasan. Dari 23 kasus itu, 16 anak di antaranya meninggal di tangan orangtuanya.

Dan ibu menempati pelaku kekerasan tertinggi sebanyak 44%, ayah 18 %, ibudan ayah tiri sebanyak 22 %, pengasuh 8 %, dan pengasuh pengganti seperti tante dan ayah tiri sebanyak 8% (Republika, 26/03/2018).

Demikian juga angka perceraian yang semakin hari makin meningkat saja angkanya. Indonesia menempati ranking teratas dengan jumlah perceraian tertinggi di dunia. Tercatat ada sekitar 40 kasus perceraian yang terjadi di setiap jamnya. Dari data tersebut juga didapat bahwa ada sejumlah 70,5 % adalah gugat cerai (Khulu’), dan cerai talaq hanya sekitar 29,5 % kasus.

Makin bertambahnya angka perceraian ini tentu membawa dampak besar bagi masa depan bangsa. Dan faktor keluarga merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap makin banyaknya generasi yang terjerumus dalam kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas bahkan LGBT.

Menyikapi berbagai kasus kekerasan anak yang dilakukan oleh ibunya sendiri, setidaknya akan kita dapati dua penyebab. Pertama, persoalan ekonomi selalu memiliki porsi tersendiri di setiap lini permasalahan secara global, tak terkecuali masalah kekerasan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri.Nafkah bulanan yang tidak mencukupi dari suami, terkadang memicu si ibu untuk bekerja pula.

Lantaran sibuknya bekerja, ibu akhirnya lupa mengurus anaknya. Jadilah percekcokan antara si ibu dan suaminya. Entah suami protes karena si istri bekerja, atau karena tidak mengurus anak mereka.Kalau pun istri pada akhirnya tidak bekerja meski dihimpit kesulitan ekonomi, hal tersebut juga berpotensi menjadikan si ibu mengalami stres berat akibat tidak sanggup memikirkan kebutuhan rumah tangga yang banyak, sementara penghasilan suaminya tidak berbanding lurus dengan kebutuhan tersebut.

Kedua, buruknya komunikasi antara suami/keluarga dan istri turut memperparah kondisi psikologis seorang ibu.Keadaan suami yang bertindak masa bodoh, menganggap bahwa ketika istri telah menerima gaji bulanan maka tugas suami pun selesai.Padahal suami seharusnya memperhatikan komunikasi terhadap istri, mengerti peran istri, dan memperlakukan istri dengan ma’ruf.

Seringkali sang istripun tidak mampu mengungkapkan keinginan dan pendapatnya kepada suami sehingga kekesalan dan kejenuhannya semakin menjadi.Belum lagi jika pihak keluarga memperlakukan istri dengan buruk, tentu saja chaos tak akan bisa terhindarkan.

Kerusakan sistem kapitalisme mendorong terciptanya ketiga faktor tadi.Betapa tidak, sistem ini menyebabkanmatinya fitrah seorang ibu. Sistem kapitalis adalah sebuah peratutan hidup yang lahir dari ide sekularis (pemisahan agama dari kehidupan). Sistem ini sangat berorientasi pada materi (uang, harta, dan lain-lain) dan menjadikan ide liberal (kebebasan) sebagai pijakan kehidupan.

Banyak kaum ibu secara tidak sadar terjebak dalam ide ini.Kapitalisme menjadikan materi sebagai standar hidup.Manusia jadi ingin punya uang yang banyak agar bisa beli rumah, kendaraan, HP terbaru, makan di restoran mewah, shopping, sekolah keluar negeri, dan lain-lain.

Manusiawi memang jika kita menginginkan itu semua, namun yang perlu kita ingat bahwa semua itu bukan lah tujuan hidup.Kita tidak boleh melepaskan kewajiban-kewajiban sebagai ibu yang memiliki peran penting dalam mengurus dan mendidik generasi.Selain itu, seorang wanita juga memiliki kewajiban untuk taat pada suami.

Kapitalisme juga memicu depresi sosial.Dalam kehidupan rumah tangga, stres bisa disebabkan oleh berbagai hal seperti kejenuhan dalam menghadapi anak-anak yang sulit diatur, tidak mau makan atau tidur, membuat rumah berantakan setelah ibu lelah membersihkan rumah, perlakuan buruk dari suami/keluarga/lingkunga, dan sebagainya.Pandangan hidup seseorangpun sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup tanpa disertai standar yang jelas tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang.

Sistem kapitalisme juga membuat bergesernya peran ibu. Ibu tidak lagi menyadari perannya yang berkaitan langsung dengan pemenuhan fungsi edukasi, reproduksi (berketurunan), proteksi (perlindungan), ekonomi, sosial, edukasi (pendidikan), afektif (kehangatan dan kasih sayang), rekreasi, dan fungsi reliji (keagamaan). Kapitalisme yang tengah mencengkram keluarga membuat suami pun tidak menyadari perannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang harusnya mengarahkan keluarga yang dipimpinnya.

Padahal dalam Islam, telah ditetapkan dua peran penting seorang perempuan yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.Dalam Muqaddimah Dustur Nizham al-Ijtima’i dinyatakan, “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anaknya dan pengelola rumah suaminya.Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.” Selain itu, negara yang menjaga ketakwaan individu akan menjamin terlaksananya peran ini dengan membekali para ibu agar mampu menjalankan tugas.

Maka berbahagialah para ibu muslimah karena Allah SWT memuliakan mereka.Diriwayatkan bahwa Jahimah as-Salami pernah memohon izin kepada RasulullahSAW untuk berjihad. Rasul bertanya kepadanya apakah ia masih memiliki ibu. Saat beliau mengetahuibahwa ia meninggalkan seorang ibu, beliau bersabda, “Hendaklah engkau tetap berbakti kepada dia karena surga ada di bawah telapak kakinya.” (HR ath-Thabrani dan an-Nasa’i).

Sebagai seorang ibu, perempuan wajib memiliki pengetahuan luas tentang metode mendidik anak agar nantinya terbentuk pribadi berkepribadian Islam yang cerdas dan bertakwa.Sebagaimana fitrah perempuan yang menjadi ibu yang menyayangi dan selalu mendampingi anak-anaknya, di dalam mendidik anak tentu saja akan ada hambatan.Tapi seorang ibu dituntut harus sigap dalam proses tersebut. Persiapan menyandang gelar ibu lah yang harus ditempuh ketika kita ingin lulus dalam ujian mendidik anak.Jauh sebelum menikah, seorang wanita harus menjaga pergaulan, menutup aurat, menjaga lisan, dan menghiasi dirinya dengan ilmu. Sehingga, ia tidak mudah terjangkiti depresi sosial.

Sebagai seorang pengurus rumah tangga, perempuan juga dimuliakan.Sehingga, melalui perannya ini, istri harus menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, kenyamanan tempat tinggal, dan keharmonisan didalamnya.Lihat bagaimana jawaban Rasulullah SAW saat Asma’ binti Yazid menyampaikan kebimbangannya terkait apakah peran istri di rumah akan sama mulia dengan peran laki-laki? Rasulullah SAW bersabda, “Pahamilah, wahai perempuan, dan ajarkanlah kepada para perempuan di belakang kamu.Sesungguhnya amal perempuan bagi suaminya, meminta keridhaan suaminya dan mengikuti apa yang disetujui suaminya setara dengan amal yang dikerjakan oleh kaum lelaki seluruhnya.”

Untuk bisa menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak dengan seoptimal mungkin, mencari nafkah dibebankan kepada suami atau walinya, begitu pula perlindungan dan keamanannya.Selain itu, merupakan kewajiban bagi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya dengan ma’ruf, mengarahkan mereka pada kebaikan dan, melindungi mereka.

Tak kalah pentingnya, dalam mekanisme Islam, negara akanmemfasilitasi pengoptimalisasian fungsi keluarga, sehingga fitrah dan peran Ibu dapat terjaga. Maka, hanya dengan sistem Islam, peran ibu sebagai pencetak generasi muda yang berakhlak mulia dan bermutu dapat dihidupkan kembali. Emak bukannya malah mendominasi tindak kekerasan terhadap anak. Wallahu a’lam bisshawab.(jejakrekam)

 

Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe, Sulawesi Tenggara

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.