Merawat Kemajemukan di Pusaran Problema Kebangsaan

0

INDONESIA dikenal negara yang majemuk. Hal ini tergambar dari 17 ribu pulau, terdapat 1.200 suku, 720 bahasa daerah, dengan berbagai macam agama, adat istiadat, dan budaya. Bentangan kemajemukan itu kini terus diuji dengan berbagai problema kebangsaan.

KONSTITUSI Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjamin adanya kebebasan beragama yang termaktub dalam Pasal 28E UUD 1945. Dengan dasar hukum itu, Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Rafiqah mengingatkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban seperti memfasilitasi dan mendorong setiap warga negara menjadi pengikut agama yang benar, memperkuat kerukunan beragama, memberi pengajaran dan pendidikan keagamaan bagi setiap siswwa, serta memberi pelayanan administrasi keagamaan.

Fakta itu justru bertolak belakang dari hasil riset yang dilakukan LK3 sepanjang tahun 2016, terkhusus di Kalimantan Selatan. Menurut Rafiqah, dalam bingkai isu pluralisme, terjadi pelarangan pendirian rumah ibadah oleh pemerintah daerah dan kelompok masyarakat, tanpa alasan kuat dan tak menemukan solusi jitunya. Ditambah lagi, adanya surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negerai (Mendagri) mengatur masalah itu.

“Dimulai dari Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Balangan dan Kotabaru. Pemerintah daerah seperti menghindar kalau ada masalah ini, seakan takut berdampak politik bagi jabatan atau posisi sang kepala daerah,” ujar Rafiqah, dalam jumpa pers di Sekretariat LK3 Banjarmasin, Senin (16/1/2017).

Dengan kegamangan pemerintah daerah itu, Rafiqah mengungkapkan akhirnya juga berdampak pada semakin mudahnya masyarakat terprovokasi isu-isu agama. “Konflik agama dan isu penistaan agama terjadi di Medan, Jakarta, Kalimantan Barat, dan lainnya, juga menjalar ke Kalimantan Selatan,” kata Rafiqah.

Hal itu juga memicu makin menguatnya ujaran kebencian antar umat beragama. Rafiqah mencatat hujatan berbau isu agama dan suku itu bukan hanya marak di media sosial (medsos), tapi juga di mimbar-mimbar khotbah. “Pernyataan kafir, musyrik, sesat, murtad dan sebagainya disampaikan secara vulgar,” ucap aktivis pluralisme ini.

Tak mengherankan dengan kondisi itu, membuat semakin kompleks hubungan internal dan antar agama. Rafiqah mengatakan kondisi itu makin membuat persoalan publik berujung pada diskriminasi. “Ini ditambah lagi adanya politisai isu agama dalam kebijakan. Tak  dipungkiri, dalam Indeks Demokrasi Indonesia, bagi Kalimantan Selatan menjadi terhambat. Ini dikarenakan masih aktifnya 25 aturan tertulis yang membatasi kebebasan serta mengharuskan untuk menjalankan agamanya,” tuturnya.

Jebolan IAIN Antasari Banjarmasin ini juga mempertanyakan belum terakomodirnya agama lokal dalam kebijakan, semisal agama Kaharingan yang dianut warga Dayak. “Akhirnya, komunitas agama lokal ini menjadi objek penyebaran agama lainnya, baik melalui penyebaran langsung maupun lembaga pendidikan,”cetus Rafiqah.

Sedangkan, cendikiawan Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Selatan, Humaidi menganjurkan adanya revitalisasi ideologi dan jucidial rivew aturan-aturan yang mengekang kebebasan beragam itu. “Problema keumatan yang terjadi Kalimantan Selatan juga menyangkut kultur keagamaan. Faktanya, coba lihat, saat ini ulama-ulama lokal seperti tergusur dalam tataran pembinaan umat, apalagi politik dengan para habaib. Sudah saatnya, kita bergerak untuk kembali kepada ulama-ulama lokal yang sebetulnya begitu menyentuh umat,” ucap peneliti budaya ini. Dia mencontohkan begitu kuatnya pengaruh para habaib yang terkadang justru bertolak belakang dari esensi yang ada. “Saya masih ingat, ketika KH Badaruddin (Guru Ibad) di Martapura, begitu tegas agar posisi sakral habib itu tak boleh disalahgunakan, apalagi memanfaatkan umat,” ujarnya.

Hal ini juga ditimpali Hairansyah. Komisioner KPUD Kalimantan Selatan yang juga seorang praktisi hukum ini membagi problema kebangsaan dan kenegaraan Indonesia terbagi dalam problem struktural, politik, dan kultural.  Menurutnya, saat ini, banyak aturan yang dibuat justru telah terkooptasi kekuataan. “Ditambah lagi, keberagaman yang ada justru diabaikan, dan memunculkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat,” kata mantan Direktur Eksekutif Yayasan Dalas Hangit (Yadah) ini.

Ia berharap ada politik identitas yang kerap dipakai dalam meraup suara massa, khususnya di Kalimantan Selatan bisa diminimalisir. “Simbol habib, contohnya ternyata sangat laku di Kalimantan Selatan. Faktanya, dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dua habib bisa terpilih dan meraup suara terbesar. Bayangkan, kalau ada empat habib yang bertarung, mungkin semua kursi senator yang direbut mereka,” tutur Ancah, sapaan akrabnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi G Sanusi

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.