Banjarmasin Hambur Kaut

0

Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih (Aktivis, Pegiat Jurnalisme Sastrawi, Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat)

Berada di kota Banjarmasin hari-hari ini, seakan membawa warga kota masuk dalam lorong waktu yang tersublimasi pada keredupan cahaya aura kota yang asri, indah dan bersahaja.

Banjarmasin hari ini dihadapkan pada kompleksitas masalah perkotaan yang semakin menjadi-jadi, dan pada titik tertentu kota ini telah berada di lorong yang semakin tak pasti dan jauh dari kehidupan wajar.

Warga kota yang berinteraksi bersama lingkungannya, seyogianya memupuk akan terpeliharanya entitas akan jati diri serta kebudayaan yang dimilikinya. Namun sayang, tatanan (norma) yang memadukan rias keharmonisan ternodai oleh rasa keterasingan warganya sendiri pada jati diri dan karakter yang memadukannya. Belakangan, ironi ini menimbulkan keterasingan pada kegundahan warga kota yang menaunginya.

Itulah perwajahan kota tua bernama Banjarmasin di gerut usianya, menjelang ke-498 tahun. Suatu memori masa pengulangan usia yang cukup panjang. Tak ada makna yang ternilai bagi sebuah kota tua yang berulang tahun ini, selain yang terisisa hanyalah coretan dan guratan yang tersolek di wajah, yang menutupi ruang-ruang publik.

Ibarat wajah, kota Banjarmasin tak menampakan aura yang sesungguhnya. Wajah kotanya pun tertutup oleh noda-noda yang semakin tak tertata.Kota seakan berada dalam ruang hampa, jauh dari riak keharmonisan, kultur budaya tersingkirkan, malah disingkirkan.

Infrastruktur kota terjamahkan akan syarat kepentingan, ruang publik kota berisi barisan-barisan ornamen yang berdiri tegak pada glamornya materlistik yang metropolis, jauh dari jangkauan kadar edukatif. Sebuah kota tanpa makna yang kehilangan akan karakter dan jati dirinya.

Hilangnya Ruang Publik

Sebagai warga kota, kita pantas bertanya pada pemangku kebijakan ibu kota. Mau diarahkan kemana rangkaian-rangkaian gerbong kota Banjarmasin pada usia yang akan datang. Masyarakat kota adalah bagian dari “social planing mikro” yang tak bisa dilepaskan dari induk dasarnya “social planing makro yakni: pemerintah beserta jajarannya.

Pemerintah kota sebagai “social planing makro” berkewajiban mengaris-birukan peta Banjarmasin. Ia harus mampu menempatkan garis-garis rel sehingga barisan gerbong-gerbong yang membawa kereta tidak kehilangan arah.

Penulis ingin menekan secara lebih tegas, Kota Banjarmasin telah kehilangan rangkain gerbong-gerbongnya dan kini rel-relnya pun sudah banyak yang tak berfungsi, akibatnya arah kerata tak lagi mampu mencapai tujuan yang sebenarnya. Mau dibawa kemana kota Banjarmasin?

Publik kota, kini hanya menikmati hedonis sebuah kota legenda yang penuh sesak warganya, yang hampa dalam memahami nilai-nilai budaya. Ruang publik yang bercendramatakan pada keindahan dan artistik kota, sesungguhnya telah dirampas oleh kelompok kepentingan yang haus pada tindak tanduk kapitalistik semata.

Mereka menjadikan ornamen kota kehilangan historisnya sehingga membawa warga kota jauh dari jangkauan akan nilai historis yang arif terhadap budaya. Lengkaplah sudah perwajahan kota Banjarmasin di usianya yang senja.

Dimana-mana kehistorisan kota yang menjadi akar dari karakter setiap kota wajib dijaga, sayang “kesucian” monumen-monumen dari kehistorisan wajah ibu kota musnah begitu saja tanpa ada rasa kepedulian untuk memiliki. Bagaimanapun, harus diakui warga kota kini telah kehilangan sebuah masa lalunya yang hilang begitu saja tanpa otentitas yang tercitra.

Dalam bagian lainnya, sarana kota kini tak lagi dihidupkan oleh gegap gempitanya ruang edukatif sebagai pengejawantahan masyarakat modern yang haus akan ilmu pengetahuan. Masyarakat sejatinya adalah perlu keseimbangan, antara hajat akan keterpaduan pentingnya sebuah sarana edukatif yang berada dalam lingkungan ia berada.

Sarana edukatif yang membawa arus perubahan manusia-manusia modern yang tercerdaskan ketempat yang layak, kini tercampakan dan terpinggirkan oleh hegemoni penguasa kota yang tak lagi menaruh tempat pada peradabannya.

Adakah sarana kota di Banjarmasin yang bisa dibanggakan untuk sebuh kota yang membawa contoh pada ornamen-ornamen yang bernilaikan edukatif untuk menjawab akan tampilnya peradaban yang tercerdaskan oleh warga kota. Ini baru pada sarana yang berada pada wilayah edukatif, belum lainnya.

Kini publik bertanya lagi, dimana hingar-bingar kecerian anak-anak agar bisa tersenyum lebar bersama sanak keluarga untuk menikmati taman kota hingga membangun suasana kedamaian nan tentram, sementara dentuman kebisingan riak-riak kota setiap depanya selalu menyeruak dipermukaan.

Ruang publik justru berisikan “batu-batu beton” yang menempa perut kota yang menjauhi sifat keterpaduan ekosistem lingkungan. Banjarmasin yang memiliki karakter sebagai kota sungai lepas dari haru-birunya dalam menata wajah kota yang syarat akan pentingnnya menjaga karakter kota yang sesungguhnya.

Banyak hal yang harus dibenahi untuk membuat wajah kota Banjarmasin agar lebih ceria lagi. Kini yang kita rasakan adalah kegersangan dan keterasingan.

Benahi Kota

Hal biasa dilakukan belum tentu selalu benar, tetapi yang benar harus selalu dibiasakan. Prinsip ini wajib ditanamkan bagi seluruh stakeholder yang menjadi bagian dari masyarakat kota. Tanpa cara yang tepat dan benar bagaimana mengelola kota dengan baik, maka dipastikan kota ini kian hari menampakan wajah kusam yang tiada tara.

Secara kasat mata dalam sisi gelap kota Banjarmasin, dalam tata kelola kota yang didukung akan pengaturan infrastruktur adalah tidak terintegrasinya sejumlah utilitas dari infrastruktur kota yang menjadi daya dukung akan pentingnya kota yang rapi dan terencana.

Tak ada hal yang mustahil untuk dilakukan dalam mengurus kota Banjarmasin yang cakupan geografisnya cukup sempit, apalagi daya dukung kota yang terintegrasi dengan beberapa daerah lainnya sudah tertata dengan batas yang terukur. Tidak alasan untuk tak bisa dilakukan oleh pengelola kota untuk segera membenahi kota Banjarmasin ke arah yang benar dan tepat.

Mengelola tata kota Banjarmasin tanpa didukung dengan perencanaan yang terintegratif dengan sejumlah pernak-pernik kotanya akan membawa warga kota “terpenjara” oleh situasi yang serba sulit.

Penghuni kota dengan segala pluralitas profesi dan entitasnya harus diberikan tempat yang teduh, agar penghuninya tak merasa gerah yang berakibat pada kegalauan masyarakatnya. Ujung-ujungnya, warga kota tak lagi merasa berada di sebuah kota yang bersimbolkan pada ke”bungas”an dan ke”beriman”an yang menjadikan ciri khas kota Banjarmasin.

Penulis bukanlah seorang yang ahli dalam sebuah perencana kota, bukan pula seorang arsitek yang siap menyulap wajah kota hingga gemerlap. Tetapi penulis dan juga warga kota lainnya merasa gerah ketika orang yang diberikan kepercayaan penuh oleh warganya gagal dalam mengurus kota.

Ketidakbecusan pengelola kota membawa wajah kota Banjarmasin kedepan membawa kesimpulan penulis untuk mengatakan pengelola kota telah gagal membawa kota Banjarmasin sebagai kota “Bungas” dan “Baiman”.

Dengan segala keterbatasan yang ada, saat ini diperlukan perencana kota yang bisa mengembalikan dalam pengelolaan kota Banjarmasin kearah kota yang berkarakter, sesuai dengan karakter dan entitas budaya yang ada.

Kegagalan perencana kota hari ini dalam mengelola Banjarmasin yang berkarakter. sesuai jati diri kota yang sesungguhnya, hanya membawa warga kota menjadi “fosil hidup” sebagai saksi saksi sejarah yang bertebaran tanpa bisa menikmati hidup secara bebas diatas kaki sendiri. Sebuah ironi yang tiada tara.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.