Terdakwa Kasus Alkes Fiktif Divonis 12 Bulan, Ketua LBH dan HAM Kalsel: Putusan Tidak Berpihak Pada Pencari Keadilan

0

BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya Tanggal 11 Juni 2024, Pengadilan Negeri Banjarmasin menggelar sidang putusan kasus penipuan kerjasama alat kesehatan (alkes) fiktif, yang mengakibatkan kerugian kepada korban senilai Rp 23 miliar.

TERDAKWA Arianto Bin Arif Riswanto (Alm) yang mengikuti jalannya sidang secara online dari Lapas Kelas IIA LP Teluk Dalam Banjarmasin, hanya di vonis hakim 12 bulan penjara. Putusan itu lebih tinggi dua bulan dari tuntutan JPU dari Kejati Kalsel, yang menuntut 10 bulan penjara.

Ketua Pusat Lembaga Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Selatan, Dedy Koco Susilo sangat menyangkan putusan hakim yang hanya memvonis 12 bulan penjara. “Tentu putusan ini tidak berpihak kepada pencari keadilan,” ujarnya kepada jejakrekam.com, Kamis (13/6/2024).

BACA: Terdakwa Kasus Penipuan Alkes Fiktif Divonis 12 Bulan Penjara, Kuasa Hukum Korban: Apakah Keadilan Kalah Dengan Kekuasaan Dan Mafia Hukum?

Padahal kasus ini telah ramai dan menjadi perhatian publik di Kalimantan Selatan bahkan nasional. Dimana, kasus ini berbelit-belit hingga bertahun-tahun korban mencari keadilan. Puncaknya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin memberikan putusan 12 bulan penjara, kepada Terdakwa Arianto bin Arif Riswanto (Alm).

Dedy menyebut, Kasus dengan perkara pidana Nomor 231/Pid.B/2024/PN Banjarmasin ini, merupakan pertaruhan apakah hukum berpihak pada keadilan atau tidak. Ternyata putusan sudah dapat diprediksi, tidak berpihak kepada para pencari keadilan.

“Bayangkan, pencari keadilan dalam memperjuangkan haknya berjuang selama hampir 3 (tiga) tahun sejak 2022 hingga 2024, sampai pada akhirnya memasuki vonis hakim, dan terdakwa hanya diganjar 12 (dua) belas bulan,” ucap Dedy.

“Apakah ini sesuatu hal yang adil? Lebih lama berjuang tetapi pelaku kejahatan diganjar hukuman lebih singkat dari proses hukumnya. Seolah para pemangku kebijakan diam tak bergeming ketika masyarakat pencari keadilan menyuarakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Belum lagi sebagaimana kita cermati dalam pemberitaan lokal dan nasional, korban telah menyampaikan kejanggalan,” bebernya.

BACA JUGA: Terdakwa Pengadaan Alkes Fiktif Hanya Dituntut 10 Bulan, Kuasa Hukum Korban Sebut Kerugian Hingga Rp 23 Miliar

Kejanggalan sakit TBC Terdakwa Arianto, tidak dihiraukan oleh Majelis Hakim. “Dalam proses persidangan, Majelis Hakim terkesan ‘mengistimewakan terdakwa’, dimana terdakwa hanya hadir melalui sidang online dengan alasan TBC takut menularkan,” sebutnya.

“Namun sebagaimana pemberitaan, terpampang jelas dalam persidangan Terdakwa Arianto tanpa memakai masker, dan nampaknya tidak menularkan TBC yang digembar-gemborkan sebagai penyakit ‘LUAR BIASA’,” tambah Dedy.

Dedy juga menyinggung tentang sikap Majelis Hakim, yang menganggap pantauan oleh Komisi Yudisial RI Perwakilan Kalimantan Selatan hanya biasa saja. “Padahal itu mengisyaratkan adanya dugaan proses hukum ini ditunggangi oleh oknum-oknum mafia hukum, namun Majelis Hakim tidak menangkap sinyal-sinyal tersebut sebagai rambu-rambu dalam menegakkan keadilan,” sesalnya.

“Terkait Kasus ini, kami telah bersurat kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan dengan Nomor: Ext/PBH-HAM/KejatiKalsel/VI/2024 tertanggal 29 Mei 2024, untuk memohon informasi mengapa pelaku hanya diberikan tuntutan 10 bulan pidana penjara,” tegasnya.

“Kemudian kami juga telah mengajukan surat Tim Amicus Curiae kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin yang mengadili terdakwa, dengan Nomor: Ext/PBH HAM/Amicus-PN.Bjm/VI/2024 tertanggal 29 Mei 2024. Agar kiranya Majelis Hakim dapat memberikan rasa kepercayaan penegakan hukum di Kalimantan Selatan dan memberikan pertimbangan yang berkeadilan,” tegasnya lagi.

BACA JUGA: Selalu Hadiri Sidang Secara Online, Terdakwa Kasus Penipuan Dan Penggelapan Jadi Sorotan Penasehat Hukum Korban

Diakui Dedy, perkara ini telah menjadi pukulan yang telak dalam proses penegakan hukum di Kalimantan Selatan. “Tuntutan 10 bulan dan vonis 12 bulan tersebut sangat menciderai rasa keadilan di masyarakat, bahkan menjadi preseden buruk karena akan dapat diikuti menjadi sebuah acuan ternyata lebih baik melakukan kejahatan besar dituntut ringan daripada melakukan kejahatan kecil dituntut dengan berat,” cecarnya.

Namun, pihaknya masih menaruh harapan bahwa Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan yang mewakili Para Pencari Keadilan melakukan upaya hukum banding demi tegaknya supermasi hukum dan keadilan.

Kemudian, Majelis Hakim di tingkat banding nantinya mempertimbangkan dengan benar berdasarkan kebenaran dan keadilan.

“Selanjutnya, adanya tim khusus baik dari Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI dan Kepolisian Republik Indonesia serta Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, untuk menurunkan sesegera mungkin untuk membongkar adanya dugaan praktek mafia hukum dalam seluruh proses hukum ini, demi tegaknya keadilan dan kebenaran,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.