9.9 C
New York
Minggu, November 16, 2025

Buy now

HIKAYAT ANDIN MARAH – Trah Daha dan Luka Batang Banyu (Episode 10) : Guru Agung dan Bayangan Mahapatih

Oleh: Subhan Syarief

“YANG menolak tahta, sejatinya sedang menegakkan tiang.
Yang mengejar kuasa, kerap hanya menebalkan bayangan.”

Kabut pagi menempel pada ukiran naga Balai Agung. Kain hitam masih tergantung; bau dupa bercampur wangi daun muda. Gong duka diganti denting kecil tanda musyawarah adat. Dari halaman, rakyat menunduk; dari serambi, dayang menyusun pahar sirih dan beras kuning. Sungai Batang Banyu mengirim angin lembab, seolah hendak menutup luka yang baru dibuka.

Anang berbisik, “Kakek… apakah setelah raja mangkat rumah tak runtuh?”
Andin menepuk lututnya. “Rumah runtuh bila tiangnya saling mendahului. Hari ini tiang memilih beriring.”

Para bangsawan berdiri setengah lingkar. Pangeran Tumenggung melangkah dengan pakaian putih tanpa hiasan. Di hadapan kursi pusaka, diletakkan tempayan berisi air Batang Banyu yang diambil jelang subuh; saat sungai masih suci dari dagang kata. Dua tetua menarik kain putih; air dipercik ke ubun-ubun, dada, dan tangan.
“Air untuk mengingat bening, kain untuk mengingat batas,” bisik Andin. “Agar orang di kursi ingat dirinya wadah, bukan lautan.”

Lembar naskah adat dibuka, dibacakan pasal tentang sesusu, tentang tiga tiang penyangga rumah, tahta sebagai amanah bukan warisan lidah. Keris pusaka disentuhkan ke kening Tumenggung.
“Keris untuk tajamkan akal, bukan amarah,” gumam tetua.

BACA: HIKAYAT ANDIN MARAH – Trah Daha dan Luka Batang Banyu (Episode 9) : Darah di Singgasana

Anang berbisik, “Apakah itu cukup menjauhkan perang?”
“Upacara menambat perahu,” jawab Andin, “tapi angin tetap ada. Tanpa tambatan, perahu hanyut sebelum fajar.”

Tumenggung bersumpah: “Aku, yang nama kecilku belum lupa pangkuan ibu, berjanji menjaga adat, menegakkan kasih, mengikat lidah dari dusta.” Suaranya tenang tapi berat, seperti batu yang menunggu tempatnya.

Semua menoleh ke Pangeran Bagalung. Ia berdiri tanpa mahkota, lalu berkata, “Kami bertiga bukan berebut takhta. Kami berebut cara paling benar menjaga rumah. Takhta hari ini milik Tumenggung; ia duduk dengan restu adat dan air sungai. Aku memilih duduk di tikar rakyat; menjadi Guru Agung yang mengingatkan, bukan penguasa yang memerintah.”

Air mata lebih dulu jatuh sebelum sorak. Kalimat itu mematahkan lidah fitnah yang kemarin menuduh saudara sesusu berebut kuasa.
“Kenapa menolak mahkota?” tanya Anang.
“Karena sebagian orang tahu,” kata Andin, “mahkota memerintahkan kepala untuk menunduk dahulu. Menolak bukan lari, tapi memberi ruang agar satu kursi tak diduduki dua niat.”

Bagalung menata madrasah balairung; memanggil guru-guru tua dari hulu dan pesisir, mengajar huruf pada anak prajurit, hukum pada petugas pasar, dan tata krama pada juru tulis. “Bila ilmu rakyat bertambah, lidah fitnah jadi pendek,” katanya.

Ia juga mengusulkan agar Mahapatih; besan Raja Sukamara dan kakek dari ayahanda Samudera dibatasi wewenangnya. Selama ini ia menabur kata “amanah” untuk menutup ambisi, menautkan diri dengan empat saudagar Bandarmasih dan lorong gelap gudang ketiga¹²³.

“Bukankah Mahapatih penjaga adat?” tanya Anang.
Andin tersenyum pahit. “Kata-kata bisa jadi baju siapa saja. Sekadar memakai baju penjaga tak membuat hatinya berhenti jadi pedagang.”

Pelantikan ditutup dengan beras kuning dan doa panjang. Di halaman, rakyat menyalakan pelita kecil.
“Lihat, Nak,” kata seorang ibu, “tahta tidak jatuh seperti buah. Ia ditempatkan oleh adat.”

Sementara itu Mahapatih mundur setapak, wajahnya datar, matanya tanpa jejak. Ia menyuruh juru kabar menyebar cerita manis: “Bagalung menolak bukan karena ikhlas, tapi karena takut tuduhan racun.” Ia menulis surat dengan tangan tua dan niat muda¹⁴.

“Apakah Bagalung tidak tahu?” tanya Anang.
“Ia tahu,” jawab Andin. “Karena itu ia memilih tikar. Dari tikar, orang bisa mendengar lebih banyak daripada dari singgasana.”

Sore merayap. Raja Tumenggung memanggil Andin ke serambi. “Kabar sayembara Samudera makin liar. Mahapatih menyaru doa di pasar; saudagar menyaru syiar di dermaga.”
Andin menunduk. “Kabut menutup jejak orang yang hendak menyelamatkan, bukan menutup kebenaran. Aku akan memanggil jam yang tak tertulis di kalender; agar langkah yang mencari Samudera bertemu senja.”

Malam turun. Madrasah balairung dibuka. Bagalung duduk bersila di depan juru tulis dan anak-anak prajurit. Ia membaca pasal “Saudara sesusu”: bahwa bila berselisih, air susu ibu lebih tua dari air mata dunia.
“Siapa pun yang memakai kata amanah untuk memutus saudara sesusu,” katanya, “ia bukan membawa pesan leluhur, tapi surat dagang.” Di belakang, Mahapatih berdiri dalam bayang tiang, senyumnya setipis kulit.

“Apakah orang mengerti, Andin?” tanya Anang.
“Tidak sekaligus,” jawab Andin. “Ilmu seperti air meresap; ia mendinginkan bara yang tak sabar.”

Di pasar, kabar pelantikan dibahas dengan nada getir. “Raja baru dengan air dan kain putih,” kata penjual kapur. “Dan Guru Agung yang menolak mahkota,” sahut yang lain. Tapi juru kabar Mahapatih menambahkan racikannya: “Hati-hati, di balik tikar ada tangan yang ingin memegang kas.” Saudagar mengangguk, lalu mengulang nama syiar dari pesisir: “Bandarmasih pintu agama; bila hulu menahan, pusat harus dipindah.”¹²

Andin menatap cucunya. “Agama menyuburkan padi bila dituangkan di tanah yang benar. Bila dipakai mengapungkan perahu emas, ia menenggelamkan sawah.”
“Jadi siapa yang akan menang, Andin; air atau api?”
“Yang ditolong angin,” jawabnya pelan. “Karena angin yang menentukan ke mana kabar berjalan.”

Menjelang tengah malam, Raja Tumenggung dan Guru Agung duduk di hadapan naskah kas dan peta sungai. Mereka sepakat: Guru Agung membersihkan kata, Raja membersihkan kas, Mahapatih dibatasi pada protokol dan logistik. Keputusan disegel dengan air yang tadi memerciki ubun-ubun raja: seolah Batang Banyu ikut menandatangani.

“Apakah Mahapatih akan tunduk?” tanya Anang.
“Bayangan tak tunduk pada cahaya,” jawab Andin. “Ia mengheningkan diri. Karena itu kita tak mengejar; kita menyalakan lampu di tempat yang disukainya.”

Kabar sayembara terhadap Samudera tetap berputar. Ibundanya dan adik-adiknya ditahan sebagai sandera; kabar palsu menyebut Bagalung–Tumenggung pelakunya. Raja tak menjawab dengan teriak, Guru Agung tak menimpali dengan sumpah. Mereka memilih menebalkan adat: subuh membaca naskah, petang mencatat kas, malam mengganti sandi peronda.

“Kalau begini terus, apakah rumah selamat?” tanya Anang.
Andin menatap sungai yang memantul bulan. “Rayap sudah bekerja lama; obat pun perlu waktu. Yang penting, tiang tidak saling mendorong.”

Kabut menurun, bambu beradu pelan seperti doa. Raja duduk di kursi tanpa mahkota, Guru Agung di tikar tanpa jarak, dan Mahapatih: di balik tirai; menjahit malam dengan benang yang tak terlihat. (Bersambung ke episode 11)

Penulis: Pegiat Batang Banyu Institute

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,800PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles