Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih
DUA puluh tahun lalu, saya pernah menulis di harian Banjarmasin Post pada rubrik opini, edisi Selasa, 3 Mei 2005. Tulisan itu berjudul: Etika Profesi, Idealisme, Dan Wartawan ‘Bodrex’ (Tinjauan Kritis Terhadap Kebebasan Pers). Opini itu bisa jadi masih relevan dalam konteks yang terjadi saat ini. Berikut narasi dari opini yang dimuat.
ADA hal yang menarik ketika saya membaca sebuah tulisan yang ditempelkan di sebuah dinding kantor Humas Pemko Banjarmasin beberapa hari lalu. Tulisan yang dimuat Majalah Fakta edisi Maret 2005 itu menjelaskan, betapa meresahkannya pejabat daerah dan pengusaha di Kalsel dalam menghadapi wartawan ‘bodrex’. Selain suka meminta-minta uang ke pejabat dan pengusaha, mereka sering mengancam pejabat dan pengusaha jika mereka tidak diberi ‘angpao’.
Menurut informasi dari media tersebut, pejabat yang sering diminta ‘angpao’ oleh wartawan ‘bodrex’ adalah pimpinan proyek (pimpro) Dinas Pekerjaan Umum Kalsel.
Maklum, dinas PU sering disebut sebagai dinas ‘basah’. Akibat seringnya wartawan ‘bodrex’ melakukan aksi terhadap pejabat di lingkungan PU, maka ada kebijakan dari dinas PU untuk menutup diri terhadap wartawan.
Apa yang terjadi dari peristiwa itu, sungguh meruntuhkan idealisme dan profesionalisme wartawan. Dampaknya cukup jelas, wartawan untuk mengkonfirmasi berita ke dinas itu, jelas dianggap sama dengan wartawan ‘bodrex’. Ini jelas-jelas sangat merugikan wartawan yang bekerja secara profesional.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalsel yang menaungi profesi wartawan seharusnya bisa mengambil sikap terhadap hal ini.Apalagi Ketua PWI Kalsel HG Rusdi Effendi AR, yang saya kenal betul beliau adalah orang yang tegas terhadap penyimpangan dalam dunia pers. Maklum, beliau adalah pemimpin dan pemilik media terbesar di Kalsel.
Wartawan ‘bodrex’ memang cukup lama dikenal di kalangan wartawan dan pejabat serta pengusaha. Istilah wartawan ‘bodrex’ sendiri muncul dari iklan obat sakit kepala di televisi, yang di dalamnya terdapat ‘pasukan bodrex datang’. Secara faktual wartawan ‘bodrex’ biasanya datang beramai-ramai seperti pasukan.
Versi lain mengatakan, istilah ‘bodrex’ berasal dari narasumber yang merasa ‘sakit kepala’ jika didatangi wartawan palsu. Untuk menghilangkan ‘sakit kepala’ itu, sumber berita memberi amplop berisi uang sebagai ‘obat’ penangkalnya.
Sejak pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, wartawan ‘bodrex’ lebih dikenal sebagai WTS (wartawan tanpa surat kabar). Dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ sebenarnya tidak ‘bekerja’ pada sebuah media. Mereka hanya mengaku sebagai wartawan, padahal profesi wartawan yang diakuinya adalah wartawan gadungan yang biasanya hanya memeras pejabat dan pengusaha yang dianggap ‘bermasalah’.
Namun seiring reformasi dan jatuhnya orde baru, wartawan ‘bodrex’ tampil berani dan terang-terangan beroperasi untuk menjalankan profesinya dengan mengatasnamakan ‘wartawan’. Malah dalam menjalankan aksinya, mereka dilengkapi dengan kartu pers dan mempunyai penerbitan tertentu.
Dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan, orientasi wartawan ‘bodrex’ tidak lagi memakai kaidah jurnalistik, yang seharusnya menyampaikan fakta sesungguhnya. Tetapi orientasi mereka sudah berubah menjadi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dengan berkedok sebagai wartawan, sehingga berita yang dibuatnya keluar dari konteks kaidah jurnalistik itu sendiri.
Malah dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ tidak segan-segan melakukan tindakan penipuan dan pemerasan. Modusnya beragam, ada yang meminta uang untuk biaya perjalanan, mengajukan proposal kegiatan, dan biaya iklan.
Wartawan amplop juga sangat tipis batasannya dengan wartawan ‘bodrex’. Asumsi ini bisa benar, jika praktik amplopisme ini juga dilakukan oleh wartawan yang nyata-nyata tidak jelas identitasnya. Akan tetapi golongan wartawan ‘bodrex’ lebih kejam dalam menjalankan modus operandinya.
Kebebasan pers, selain meniupkan angin segar juga mengalirkan angin busuk bagi wartawan. Kemudahan untuk menerbitkan media, juga diikuti dengan penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan terang-terangan maupun tersembunyi. Sepak terjang menyimpang dari etika profesi, lama kelamaan menjadi budaya wartawan.
Pemberian amplop misalnya, dianggap suatu hal yang wajar. Salah satu teman saya yang berprofesi sebagai wartawan di Banjarmasin pernah mengatakan, pemberian amplop bukan dikategorikan sebagai sogokan. Namun pemberian itu sekadar untuk uang transpor yang diberikan narasumber. Tetapi, secara etik pemberian amplop jelas membuat citra wartawan semakin merosot baik di mata narasumber maupun masyarakat.
Bahkan ada pendapat yang mengatakan, pemberian amplop adalah sebuah penghinaan terhadap profesi wartawan. Ada kesan, seolah-olah pekerjaan wartawan itu profesi yang istimewa, sehingga dia harus mendapatkan pelayanan khusus. Celakanya, pelayanan itu diartikan dengan pemberian amplop alias sogokan.
Menerima sogokan jelas melanggar etika profesi wartawan. Pasal lima Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menyebutkan, wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Pasal ini jelas menafsirkan bahwa wartawan Indonesia dilarang menerima suap, dengan cara tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun. Ini untuk menjaga profesi wartawan itu sendiri.
Namun dalam praktiknya, wartawan Indonesia banyak melanggar kode etik yang dibuat.
Penyimpangan Profesi Wartawan
Ada beberapa pola penyimpangan yang dilakukan profesi wartawan.
Pertama, pola pasif. Wartawan hanya menerima amplop dari narasumber. Disebut pasif karena mereka tidak meminta, namun menerima kalau narasumber memberi. Pola ini biasanya dilakukan wartawan yang bekerja di perusahaan kecil dan menengah yang kurang memberikan gaji yang layak bagi wartawannya.
Namun, penyimpangan ini juga dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan besar, tetapi tidak memiliki peraturan yang tegas soal amplop. Wartawan ini dikenal sebagai tipe ‘kucing’ yang jinak dan manis setelah dilempar ikan.
Kedua, pola aktif atau agresif. Pola penyimpangan ini dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan ‘papan nama’. Dengan cara meminta amplop kepada narasumber secara aktif, bergerilya ke dinas pemerintahan atau perusahaan. Disebut perusahaan pers ‘papan nama’, karena perusahaan tersebut hanya terbit dua atau tiga kali, setelah itu mati.
Namun, wartawannya tetap aktif mencari berita dengan tujuan mencari ‘angpao’ dari narasumber. Selain itu, penyimpangan jenis ini dilakukan wartawan dengan cara mendatangi sumber berita dengan menunjukkan bukti tulisan berita, lalu mengharap pemberian ‘angpao’ dari sumber berita.
Wartawan ini dikenal dengan tipe ‘nyamuk’ yang suka merubung tempat potensial untuk ‘disedot’.
Ketiga, pola pemerasan. Pola ini dilakukan dengan cara mendatangi sumber berita yang bermasalah. Misalnya tersangka korupsi, pejabat atau pengusaha yang diduga selingkuh. Pelakunya adalah mereka yang mempunyai kartu pers dan menjadi ‘wartawan’ di salah satu media. Atau mereka hanya mengaku sebagai wartawan tetapi tidak memiliki media yang jelas keberadaannya.
Wartawan ini mempunyai tipe wartawan ‘kecoa’, sudah baunya tidak sedap, beraksi di tempat kotor lagi.
Kempat, pola penipuan. Pola ini adalah tipe musang berbulu wartawan. Artinya, menipu dengan mengatasnamakan profesinya untuk memperoleh keuntungan.
Contohnya, dengan cara mengedarkan daftar sumbangan kepada pejabat atau pengusaha untuk rekan wartawannya yang meninggal dunia, padahal rekan wartawannya masih sehat. Ini jelas penipuan. Mereka bisa wartawan yang tersesat atau bisa juga penipu. (Tim Aji Surabaya, Amplop Candu Bagi Jurnalis, 2001:11)
Banyak orang yang berpendapat, profesi wartawan adalah mulia. Pendapat itu dikaitkan dengan salah satu tujuan dari tugas wartawan itu sendiri, yaitu menyebarkan informasi kepada khalayak.
Mencari data dan mengungkapkan dalam bentuk berita. Dengan tugas tersebut, seorang jurnalis akan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat melalui informasi yang dipublikasikannya.
Sebagai seorang wartawan yang menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, ia dituntut memiliki integritas atau kepribadian yang baik, baik integritas dari segi moral maupun intelektual. Pasalnya, profesi wartawan sangat berbeda dengan profesi lainnya. Wartawan dituntut untuk tanggap terhadap gejala sosial di masyarakat.
Mengingat fungsi pers sendiri adalah sebagai kontrol sosial, sehingga seorang wartawan dituntut memiliki kepedulian terhadap gejala sosial.
Sebagai orang yang pernah menggeluti dunia wartawan, saya beranggapan memang dunia jurnalistik sangat ‘menggiurkan’ sekaligus menakutkan. Dunia wartawan diibaratkan sebuah pisau tajam, yang siap mengupas apa saja, tinggal kita yang harus bisa menggunakannya.
Bagaimanapun profesi wartawan adalah profesi yang menuntut kita untuk bersikap profesional dan idealis. Tidak jarang orang yang bersifat profesional dan idealis bisa tergelincir hanya karena ‘angpao’. Hal ini diakibatkan dari perusahaan di tempatnya bekerja belum memberikan kesejahteraan yang layak.
Kita patut acungi jempol langkah yang ditempuh Metro TV sebagai salah satu media berita, yang terang-terangan melarang reporternya menerima imbalan berupa apa saja. Keberanian Metro TV ini beralasan, perusahaannya berani membayar seorang reporter/jurnalisnya dengan upah yang tinggi. Langkah seperti ini yang kita harapkan bagi pemilik perusahaan pers di Kalsel.
Semoga pandangan ini menjadikan kita khususnya teman-teman saya wartawan di Kalsel bisa bersikap profesional, idealis dan independen terhadap segala hal. Bagi pemilik perusahaan pers, saya berharap bisa dapat meningkatkan kesejahteraan wartawannya. Tidak ada cara yang lebih tepat dan mulia yang harus dilakukan pemilik media, selain memberikan upah yang layak bagi profesi wartawan.
DEMIKIAN narasi opini itu di akhiri. Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah opini itu masih relevan dengan kondisi sekarang. Tentunya, hal itu perlu diperbincangkan lebih jauh, di tengah kondisi media yang sudah mengalami perubahan dan fragmentasi.
Dua puluh tahun lalu, media arus utama masih begitu masif. Di tengah perkembangan zaman dan teknologi serta digitalisasi, sekarang begitu banyak media yang bertransformasi ke arah digital (media siber). Lihat saja, begitu banyak media siber yang bertebaran di lini masa internet.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban dari masifnya media siber, maka dibuatlah pedoman pemberitaan media siber. Hal itu bertujuan agar media siber bekerja secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Layak kah Upah Wartawan?
Pertanyaan mendasar ini, sebenarnya kontrak produktif dengan yang terjadi sejak era kebebasan pers pasca orde baru. Banyak profesi wartawan tak memiliki status karyawan tetap, melainkan bekerja sebagai freelancer atau kontrak.
Survei AJI 2023 menemukan bahwa, 60% wartawan di Indonesia bekerja sebagai freelancer atau kontrak. Bayaran per artikel hanya Rp 100.000–500.000, padahal pengerjaan bisa memakan waktu berhari-hari.
Hanya 30% wartawan yang mendapat BPJS Ketenagakerjaan dari perusahaan. Kondisi ini membuat penghasilan wartawan tidak stabil dan seringkali jauh di bawah profesi lain yang memiliki kontrak tetap.
Lantas bagaimana gaji wartawan yang bekerja di media arus utama. Saya berpandangan masih bervariatif. Tentu ada yang di atas UMP. Tapi tak sedikit saya meyakini banyak yang di bawah UMP. Malah sering kali, upah yang di terima jauh di bawah standar layak, terutama bagi wartawan pemula atau yang bekerja di media yang mengalami penurunan oplah dan turunnya pendapatan iklan.
Secara umum, meski ada aturan yang mewajibkan perusahaan Pers membayar gaji wartawan minimal sesuai UMP, tapi yang terjadi di lapangan, malahan banyak wartawan yang masih menerima gaji di bawah standar.
Terus bagaimana upah wartawan yang bekerja di media online (siber). Hal itu tergantung pada kebijakan masing-masing pemilik dari media siber.
Saya tak bermaksud ingin membandingkan upah antara pekerja media (wartawan/reporter) antara satu media dengan media lainnya, apalagi membandingkan di luar profesi dunia Pers.
Jika muaranya adalah pendapatan media dari iklan mengalami penurunan serta tidak mampunya perusahaan media melakukan inovasi di tengah kemajuan teknologi yang berdampak memengaruhi upah yang layak.
Maka semua pihak wajib memperjuangkannya. Sejalan dengan hal itu mari kita dukung Pers yang sehat dengan cara mendukung perusahaan Pers dapat memenuhi standar yang layak bagi para pekerjanya.
Pers yang sehat sejatinya menyuguhkan informasi yang akurat, membuka ruang hak jawab, menghindari bias dan prasangka serta melakukan verifikasi dari karya jurnalistik. Pers yang sehat tentunya berbanding lurus serta berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan bagi pekerja perusahaan media.
Mari kita dukung Pers yang sehat. Pers yang membuka ruang tabir kebenaran demi kemajuan bangsa di segala bidang. Dan, sekali lagi, Pers yang berpedoman pada etika jurnalistik. (jejakrekam.com)
Penulis: Pegiat Jurnalisme, Alumni FISIP ULM


