SEBUAH kabar aneh berembus dari kota tua di tepi Sungai Yamuna pada awal dekade 1970-an. Di ruang arsip berdebu milik Universitas Prayag, yang kini dikenal sebagai University of Allahabad di Uttar Pradesh; seorang sarjana Sanskerta bernama Ved Prakash Upadhyay membalik halaman-halaman naskah Veda yang telah rapuh dimakan waktu. Di antara daun lontar yang mencatat doa-doa purba, ia menulis kesimpulan berani yang membuat dahi para brahmana berkerut: *“Mungkin avatar terakhir telah datang.”*¹
NAMA Upadhyay tak sepopuler Swami Vivekananda atau Sarvepalli Radhakrishnan, namun penelitiannya menimbulkan gelombang halus di dunia akademik India. Dalam karya bertajuk Naraśaṁsa and the Antim Rishi serta Kalki Avatar and Prophet Muhammad, ia mengajukan tafsir yang melintasi garis agama: bahwa sosok Kalki Avatar, penjelmaan terakhir Dewa Viṣṇu dalam kitab-kitab Hindu, telah terwujud dalam diri Nabi Muhammad SAW.²
BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?
Kalki, dalam bahasa Sanskerta, berarti penghapus kekotoran: penjelmaan Viṣṇu di penghujung zaman Kali Yuga, masa ketika moral manusia terbalik dan keadilan memudar. Dalam Vishnu Purāṇa tertulis bahwa Sang Avatar akan lahir di desa Shambhala, dari pasangan Viṣṇuyaśas dan Sumati, menunggang kuda putih, memegang pedang menyala, dan menegakkan kembali dharma yang runtuh.³ ⁴ Bagi umat Hindu, ini nubuat tentang pembaruan dunia; bagi Upadhyay, mungkin itu sudah terjadi tanpa disadari sejarah.
Ia memulai dari akar kata. Viṣṇuyaśas berarti “yang termasyhur karena Tuhan”, sedangkan Sumati berarti “perempuan penuh kedamaian”. Nama-nama itu, tulisnya, tak jauh dari Abdullah dan Aminah, orang tua Nabi Muhammad. Shambhala, yang biasa dimaknai sebagai negeri mitologis di utara India, ia baca ulang sebagai “tanah damai”; dan di peta Arab berdiri Makkah, yang dikenal sebagai Dār al-Salām, kota kedamaian. “Kuda putih” dan “pedang menyala”, katanya, bukan kias kekerasan, melainkan simbol pencerahan dan keberanian spiritual. “Jika avatar datang untuk memurnikan dunia,” tulisnya, “maka Muhammad telah melakukannya.”⁵
Pernyataan itu bagai petir di siang bolong. Sebagian cendekia menyebutnya jembatan antara dua peradaban besar; sebagian lagi menuduhnya mencampuradukkan doktrin. Tapi Upadhyay tak pernah menulis untuk mengguncang altar. Ia menulis karena menemukan gema yang sama dalam teks-teks tua. Dalam Atharvaveda Kanda 20, terutama pada bagian Kuntap Suktas, ia membaca istilah Naraśaṁsa; “yang dipuji”, dan menemukan kesepadanan linguistik dengan kata Arab Muhammad, yang berarti “yang terpuji”.⁶ Baginya, ini bukan wahyu baru, melainkan penemuan semantik yang menuntut keberanian tafsir.
BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?
Perdebatan pun merebak di kalangan akademisi. Bagi banyak sarjana Hindu ortodoks, Kalki masih akan datang pada akhir zaman; ia adalah harapan eskatologis, bukan catatan sejarah. Namun bagi Upadhyay, tafsir agama adalah medan yang selalu hidup. Ia melihat bahwa semua teks besar di Veda, Injil, Taurat, maupun Al-Qur’an, berbicara dalam pola yang sama: manusia jatuh, lalu seorang pembawa cahaya datang mengingatkan. “Apakah penting namanya? Yang utama ialah api moral yang dibawanya,” tulisnya dalam pengantar edisi kedua karyanya.²
Di luar India, pemikiran ini memicu rasa ingin tahu. Para peneliti perbandingan agama meninjau ulang hubungan semantik antara Weda dan Al-Qur’an. Di Barat, sejarawan agama seperti Wendy Doniger dan Gavin Flood tetap berpegang bahwa Kalki hanyalah simbol siklus moral, bukan figur historis.⁷ ⁸ Namun justru di celah tafsir itulah daya riset Upadhyay hidup: ia tidak memaksa pembenaran, hanya membuka kemungkinan.
Sejarawan di New Delhi menulis bahwa Upadhyay “menyentuh urat sensitif antara filologi dan iman.” Ia menantang cara baca tunggal atas kitab suci. Di dunia akademik yang sering terjebak antara skeptisisme dan dogma, ia berjalan di tengah: seorang penganut yang sekaligus peneliti, yang memandang bahasa sebagai jembatan spiritual.
BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?
“Peradaban,” tulisnya dalam Religious Unity in the Light of the Vedas, “tak membutuhkan mukjizat baru, melainkan kemampuan mengenali mukjizat yang sudah terjadi.”⁹ Ia melihat kebangkitan masyarakat Arab abad ke-7; dari puak-puak buta huruf menjadi komunitas berilmu: sebagai wujud nyata nubuat tentang pemurnian dunia. Ia menganggap Muhammad bukan sekadar nabi dalam garis tradisi Semitik, melainkan figur universal yang memantulkan cahaya avatar purba ke zaman modern.
Kini, lebih dari setengah abad berlalu, naskah-naskah tua Upadhyay tersimpan di Internet Archive, dibaca diam-diam oleh para peneliti muda dari berbagai latar iman. Ia tak lagi hidup, tetapi riak pemikirannya masih menyebar di jurnal, forum akademik, hingga ruang maya. Beberapa menolak, sebagian memuji, namun tak ada yang bisa menolak daya tarik pertanyaannya: mungkinkah mitos dan sejarah hanyalah dua cermin yang saling memantulkan cahaya?
Barangkali, kebenaran tentang Kalki tak akan pernah diputuskan oleh dewan mana pun. Ia adalah bahasa zaman yang selalu bisa dibaca ulang. Setiap masa kegelapan akan melahirkan harapan, dan setiap harapan mencari nama. Dalam pencarian itulah, riset Ved Prakash Upadhyay tetap hidup: bukan karena membuktikan sesuatu, tetapi karena berani mempertanyakan segalanya.
BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?
Dan mungkin, sebagaimana ia tulis di halaman terakhir bukunya, “Yang disebut avatar bukanlah tubuh yang turun, melainkan kesadaran yang bangkit.” Entah di Shambhala atau di padang pasir, kesadaran itu akan selalu mencari celah untuk bersinar.
Ya, sejatinya Nabi Muhammad SAW adalah cahaya yang akan selalu mencari celah untuk memancarkan sinarnya di tengah kabut dan gelapnya kehidupan. (jejakrekam)

(Subhan Syarief/AI:2025/Batang Banyu Institute)


