Oleh: Subhan Syarief
KABUT turun perlahan di tepian Batang Banyu¹. Daun nipah bergoyang, lampu minyak menari di dinding bambu. Di sudut pondok, Andin yang renta duduk menatap sungai yang memantulkan cahaya bulan. Di sisinya, cucunya, Anang, diam menunggu, takut mengoyak hening malam.
“Anang,” suara Andin seperti bisikan air yang menyapa batu, “setiap bara punya asal. Dengarkan, agar kau tahu siapa yang pertama meniup napasnya.”
“Dari mana bara itu bermula, Andin?”
Andin memejamkan mata. Dari bibirnya mengalir syair lama, lirih seperti mantra:
Merah lembayung di tepi hulu,
putih kabut menyelimuti rimba.
Anak lahir dari dua malu,
kelak menyalakan bara di dada.
“Dua arus bertemu di nadiku, Nak,” ucapnya pelan. “Yang satu datang dari istana Sukamara²; ayahku, Pangeran Mangkuwanaraya, pewaris darah Daha³ yang mahir membaca bintang dan memerintah Sungai. Yang satu lagi dari rimba Meratus⁴; ibuku, Putri Meratus bernama Dayang Laram Intan, anak dari Putri Kerajaan Ghaib di Pegunungan Meratus, pewaris darah penjaga hutan dan air. Ia tumbuh di lembah sunyi tempat angin membawa doa para leluhur, dikenal oleh burung-burung dan disapa roh air di setiap mata bambu.”
“Suatu musim,” lanjut Andin, “ayahku tersesat dalam perburuan kerajaan. Kudanya rebah di tengah belantara, dan di antara kabut ia melihat seorang perempuan menyalakan obor dari bunga hujan. Itulah Dayang Laram Intan. Mereka bertemu di bawah pohon beringin yang akarnya menjulur ke dua dunia. Di sanalah janji mereka diucapkan: tak di istana, tak di kampung, tapi di tanah di antara keduanya. Para tetua Meratus berkata, ‘pernikahan itu disaksikan oleh bumi, bukan oleh mahkota.’⁸”
“Malam kelahiranku,” lanjut Andin, “langit memerah. Danau di istana Sukamara berpendar seperti darah. Kakek menatapku lama, lalu berbisik, ‘Ia Andin Marah. Andin: lembayung. Marah: merah yang tak padam.’”
“Apakah istana bersuka cita?” tanya Anang.
“Mereka bersuka dengan bibir, tidak dengan hati.” Senyum Andin menua di cahaya lampu. “Rambutku panjang, mataku, kata mereka, memercik merah saat lampu padam. Para peramal bingung: apakah aku rahmat, atau petaka. Anak-anak istana menjauh; aku jadi bayang di dinding mereka. Sementara Samudera, cucu emas Sukamara, dielu-elukan. Ia cahaya di balairung; aku kabut di serambi.”
“Tidakkah bayangan merasa dingin?” tanya Anang lirih.
Andin tertawa kecil, seperti ranting yang patah tapi tak jatuh.
“Bayangan tidak dingin, Nak. Ia hanya kesepian karena cahaya tak pernah menoleh ke belakang. Aku tak marah pada terang, hanya pada tangan yang payungnya condong ke satu sisi.”
“Lalu, barak prajurit⁵ jadi rumahku. Di sana aku belajar menggenggam pedang tanpa menebas, menatap bintang tanpa merasa tinggi. Aku belajar, keberanian bukan darah biru, tapi darah yang tetap mengalir saat semua ingin berhenti.”
Hujan turun di Meratus. “Ada anak terpeleset di sungai,” ucapnya pelan. “Tanpa pikir, tubuhku melompat. Batu menghantam, arus menyeret, tapi tanganku menemukan tangan kecil itu. Kami terhempas di lumpur. Untuk pertama kali, aku bukan cucu gaib; hanya bocah yang melawan arus.”
“Apakah Raja tahu?” tanya Anang.
“Ia menatapku lebih lama dari biasanya,” ujar Andin. “Tapi sungai mengajarkanku: keberanian bisa menyelamatkan nyawa, tak selalu mengubah hati manusia.”
“Sore lain, seekor beruang madu⁶ menyerang Samudera. Aku maju dengan tombak kayu, berteriak hingga dada bergetar. Beruang mundur, cukup bagi prajurit menolongnya. Tak ada pelukan, tak ada terima kasih. Tapi aku tahu; ketakutan dan kasih bisa lahir dari luka yang sama.”
Andin menatap lampu yang hampir padam. “Anang, bara dari luka harus disuapi kesabaran. Bila kau pamerkan, angin iri akan memadamkannya. Simpan di dada; biarkan jadi cahaya kecil penuntunmu saat dunia memilih kilau, bukan kebenaran.”
Anang diam. “Apakah dua dunia itu berdamai di dalammu, Andin?”
“Damai, Nak, bukan sunyi,” jawab Andin. “Damai adalah saat dua suara berhenti saling berteriak dan mulai saling memberi tempat. Darah istana mengajariku berdiri tegak; darah Meratus mengajariku menunduk pada tanah. Bila keduanya berjalan bersama, manusia jadi jembatan. Bila salah satunya congkak, manusia jadi jurang.”
Malam menggantung. Batang Banyu bergemuruh lembut, seperti tangan tua mengelus kepala cucu.
“Dan bara itu, Andin? Apakah ia kelak meretakkan tahta Daha?”
Andin tersenyum samar. “Itu kisah lain, Nak. Bila malam masih sudi datang, akan kuceritakan padamu…” (Bersambung ke episode 2)
Penulis: Pegiat Batang Banyu Institute


