KIAI Cakrawati adalah seorang pejuang perempuan dalam Kesultanan Banjar yang terkenal karena keberaniannya dalam pertempuran melawan Belanda.
Dikutip dari akun TikTik @fahrul_islam menyebutkan, Kiai Cakrawati disebut juga dengan panggilan Galuh Sarinah atau Galuh Gunung Pamaton, dan ikut serta dalam Perang Banjar bersama Pangeran Hidayatullah.
Kiai Cakrawati juga dikenal karena kemahirannya menunggang kuda dan mengenakan pakaian perang laki-laki peninggalan suaminya.
Dari sejumlah sumber dikisahkan, Kiai Cakrawati turut berperang melawan Belanda, mendampingi Ratu Jaleha dan pejuang perempuan lainnya.
Nama Kiai Cakrawati dipakai untuk menghormati suaminya yang meninggal dibunuh Belanda dalam sebuah pertempuran.
Kiai Cakrawati berjuang bersama Pangeran Hidayatullah dan para panglimanya dalam Perang Banjar, memiliki keahliannya dalam berperang sambil menunggang kuda.
BACA: Proyek Jembatan Pulau Laut Berlanjut: Sisi Tanbu Dikerjakan PT PP, PT Hutama Karya di Kotabaru
Dalam peperangan, Kiai Cakrawati mengenakan pakaian perang laki-laki peninggalan suaminya saat berperang.
Kiai Cakrawati ikut serta dalam pertempuran di Gunung Pamaton dan Benteng Gunung Madang, Kandangan.
Perang Gunung Pamaton, terjadi saat Mayor Koch melakukan penyerangan besar-besaran secara tiba-tiba ke benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah di tanggal 19 Juni 1861, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang telah bocor ke pihak Belanda.
Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit menahan serangan Belanda sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran.
Pertempuran bahkan terjadi pula di daerah Kuala Tambangan di selatan. Di sekitar daerah Mataraman, panglima Pambakal Mail juga terlibat pertempuran menghadapi serdadu Belanda.
Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie.
Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk warga sipil, membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak.
BACA: Pangeran MBS Dukung Penuh Kampung Haji Indonesia di Arab Saudi
Tumenggung Gamar yang lalu membawa pasukannya untuk memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil melakukan serangan, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.
Serangan Belanda di tanggal 19 Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton akhirnya berhasil digagalkan oleh rakyat Banjar yang memiliki persenjataan yang lebih sederhana.
Dalam pertempuran di Gunung Pamaton, banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm yang memimpin langsung serangan Belanda tewas terkena tombak dan tusukan keris di perutnya.
Sementara mayat-mayat pasukan Belanda yang terbunuh dihanyutkan di sungai Pasiraman, dimana Pambakal Intal dan pasukannya berhasil menguasai senjata para serdadu Belanda. Benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh banyak pimpinan perang Banjar, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara.
Terdapat juga panglima perempuan dalam pertempuran ini yaitu Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda, dimana ia sebelumnya juga ikut mempertahankan benteng Gunung Madang.
Di bulan Agustus 1861, Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, serta menghancurkan hutan-hutan yang berpotensi dapat dijadikan benteng pertahanan oleh rakyat Banjar.
Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena Hidayatullah menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
Namun ibu dari Sultan Hidayatullah, Ratu Siti, berhasil ditemukan oleh pasukan Hindia Belanda dan disandera di Martapura.
Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah ditangkap oleh pihak Hindia Belanda pada 28 Januari 1862, dikarenakan adanya kabar bahwa ibunya akan dihukum gantung.
Hidayatullah menyerahkan diri karena ia mendengar kabar bahwa ada kemungkinan setelah ibunya dihukum gantung, jasadnya akan dimutilasi oleh pihak pemerintahan kolonial.
Lalu pada 2 Maret 1862 ia dibawa dari Martapura ke Banjarmasin, lalu menuju Batavia menggunakan kapal uap di tanggal 3 Maret 1862 dan akhirnya diasingkan ke Cianjur.
Tampuk kepemimpinan Kesultanan Banjar lalu diserahkan kepada Pangeran Antasari, yang dinobatkan pada 14 Maret 1862 dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Perang Banjar sendiri baru benar-benar berakhir di tahun 1906. (jejakrekam.com, berbagai sumber)