27.2 C
New York
Selasa, Juli 8, 2025

Buy now

‘Ketika Buta, Tuli, dan Bisu Menjadi Tradisi: Keberkahan Menjauh dan Kehancuran Merapat’

INDONESIA adalah sebuah negeri yang sesak dengan janji. Di negeri ini banyak penghuninya yang mulai terbiasa menutup mata, memekakkan telinga, dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Mereka tidak benar-benar buta, tidak sungguh-sungguh tuli, dan tidak secara fisik kehilangan suara. Tapi mereka memilih. Memilih untuk tidak melihat. Memilih untuk tidak mendengar. Memilih untuk tidak bicara. Ya, yak sadar di negeri ini, buta, tuli, dan bisu telah menjelma menjadi tradisi. Ia diwariskan, dibanggakan, dan dipertahankan seperti pusaka yang tak boleh hilang.

BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?

ALLAH SWT, dalam firman-Nya yang diturunkan berabad silam, telah menyodorkan perumpamaan yang seharusnya menampar kesadaran. QS. An-Nahl ayat 75 dan 76 berbicara tentang dua sosok: yang satu lemah, tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa; yang satu lagi kaya, dermawan, dan bermanfaat. Selanjutnya, yang satu bisu dan menjadi beban, yang satu berjalan lurus dan menegakkan keadilan. Tapi menyedihkannya, di negeri yang mayoritas penghuninya ber agama islam ini, manusia justru berlomba-lomba menjadi seperti sosok pertama: lemah, bisu, beban.

Penguasa menumpuk harta, meminta upeti bak penjajah, dan menggenggam kuasa sampai ke anak cucu, merampas apa yang bukan haknya. Aparat hukum sibuk menimbang keadilan dengan timbangan yang mereka miringkan sendiri. Pengusaha oligarki mencengkram leher rakyat dengan mengambil aset lahan mereka, berbagai utang dan harga-harga komoditas pokok mereka mainkan untuk keuntungan semata; demokrasi dan suara rakyat mereka kendalikan dengan berbagai cara.

Dan parahnya di tengah kerusakan itu, kebanyakan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kaum intelektual justru memilih diam. Mereka bukan hanya membisu, mereka berdiri membela para perampok. Mereka ikut menutup mata. Mereka ikut menulikan telinga. Mereka bahkan menyusun kalimat-kalimat indah untuk membenarkan kebusukan.

BACA JUGA: Wawancara Khusus Dr. Ir. Subhan Syarief, MT: Banjarmasin Sekarat, Namun Kita Sibuk Menimbun Sungai dan Rawa

Kita hidup di tengah pasar-pasar yang tak kenal iba; harga di atur oleh pemilik tak kasat mata, rakyat kecil di peras tenaga tak kenal waktu, di lorong-lorong yang penuh iklan menjanjikan perbaikan, di ruang-ruang yang dipenuhi perundingan yang tidak pernah benar-benar untuk rakyat. Kita mencium bau busuk ketidakadilan setiap hari. Kita tahu itu. Tapi kebisuan tetap dipelihara. Kebisuan menjadi zona nyaman. Tidak bicara berarti aman. Tidak bersuara berarti selamat.

Padahal semua tahu; Allah telah berkata, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi orang-orang yang ragu.” Tapi di negeri ini, keraguan bukan lagi soal kebingungan. Keraguan sudah berubah menjadi alasan untuk bersembunyi. Keraguan sudah menjadi komoditas.

Di tengah kebisuan massal ini, keberkahan perlahan menjauh. Tanah yang dulunya subur menjadi retak. Hujan yang dulu dinanti berubah menjadi banjir yang menenggelamkan. Sungai yang dulu bening berubah menjadi lumpur. Udara dam suhu yang dulu menyegarkan kini semakin panas dan tak nyaman, tak jarang juga memunculkan penyakit. Tanda-tanda itu sudah di depan mata. Tapi mata-mata itu tertutup. Telinga-telinga itu dipasung. Lidah-lidah itu terkunci.

BACA JUGA: Hari Jadi 496 Tahun Banjarmasin di jrektv, Dr H Subhan Syarief: Kota Yang Memiliki Karakter, Khas Etnik dan Unik

Di kampus, di masjid, di mimbar-mimbar, dan di televisi, kita mendengar banyak kata-kata. Tapi sedikit yang berani menyuarakan kebenaran. Yang banyak justru membungkus ketidakadilan dengan kata-kata manis. Yang banyak justru menjual akal mereka kepada penguasa.

Di negeri ini, buta bukan soal kehilangan penglihatan. Tuli bukan tentang hilangnya pendengaran. Bisu bukan tentang tak bisa berbicara. Buta adalah ketika hati memilih tidak melihat. Tuli adalah ketika nurani memilih tidak mendengar. Bisu adalah ketika keberanian disimpan rapat-rapat, dikunci dalam lemari, dan dibuang kuncinya.

Ada yang berani bersuara, tentu saja. Tapi suara-suara itu kerap tenggelam, ditutup, dipelintir. Mereka berteriak, tapi gema suaranya kalah oleh tepuk tangan di pesta para pencuri. Mereka menulis, tapi tulisannya dibungkam oleh gempuran propaganda yang deras.

Berapa lama lagi kita akan memelihara tradisi ini? Berapa banyak lagi yang harus hancur sebelum kita tersadar? Berapa banyak lagi yang harus hilang sebelum kita berhenti menjadi penonton di negeri sendiri?

BACA JUGA: Pentingnya Tahap Negosiasi Awal Pasar Batuah, Subhan Syarief: Butuh Pelibatan Masyarakat Sekitar Lokasi, Pedagang, dan Pengunjung/Pembeli

Ketika kebisuan dijadikan budaya, ketika ketulian diwariskan sebagai amanat, ketika kebutaan disanjung sebagai bentuk kehati-hatian, maka jangan salahkan siapa-siapa jika keberkahan meninggalkan kita. Dan jangan heran jika kehancuran, yang tadinya berdiri jauh, kini mengetuk pintu kita dengan santai.

Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri yang mau mengubahnya. Tapi bagaimana bisa mereka berubah jika mata tetap terpejam, telinga tetap terpasang sumbat, dan lidah tetap dikunci?

Inilah potret buram Indonesia; negeri yang sikap prilaku buta, tuli, dan bisu terhadap kebenaran menjadi tradisi. Negeri yang pelan tapi pasti keberkahan menjauh. Kehancuran merapat. Ironisnya banyak penghuni sekaligus pemilik asli negeri yang tak paham dan tetap memilih diam, mengira mereka telah selamat, padahal sejatinya perlahan mereka di biarkan tenggelam dan hilang di tengah kekayaan tanah, laut dan daratan yang melimpah ruah. (jejakrekam)

(Subhan Syarief/IQRA:004/AI:2025/Batang Banyu Institute)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,400PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles