Oleh: Dr.Eng. Akbar Rahman, ST., MT
KITA hidup di masa yang berbeda. Bukan lagi soal “apakah” perubahan iklim akan datang, tapi seberapa besar kita siap menanggung dampaknya.
Kota-kota di dataran rendah seperti Banjarmasin kini berada di garis depan krisis iklim global.
Banjir besar yang dulu disebut kejadian seratus tahunan, kini bisa datang dua kali dalam lima tahun.
Curah hujan ekstrem dan hari kering panjang hadir dalam tahun yang sama. Iklim tidak lagi mengikuti musim, melainkan mengguncang sistem.
Di tengah tantangan itu, Kota Banjarmasin tidak boleh hanya bertahan. Banjarmasin harus bergerak menjadi kota tangguh iklim.
Yakni sebuah kota yang tidak mudah tumbang oleh air pasang, dan tidak lekas rapuh oleh gelombang panas. Adaptasi akan memperkuat daya lentur kota dari akar.
BACA: Musim Pancaroba, Kadinkes Banjarmasin Ingatkan Ancaman ISPA, DBD, dan Diare
Rencana aksi adaptasi perubahan iklim 2020–2030 yang telah disusun oleh tim pokja Kota Banjarmasin selama 5 tahun terakhir, menegaskan bahwa sebagian besar kelurahan di Banjarmasin menghadapi risiko ganda—banjir dan kekeringan sekaligus.
Kawasan seperti Kelayan Timur, Basirih, dan Pemurus Dalam, yang padat dan minim ruang terbuka, masuk dalam zona merah baik dari sisi kerentanan maupun keterpaparan.
Namun, respons terhadap risiko ini tidak bisa sebatas pengerukan sungai atau normalisasi sungai.
Adaptasi harus menyentuh akarnya, menata ruang berdasarkan data risiko, melindungi sempadan sungai dari alih fungsi dan pelanggaran bangun serta penyempitan. Memastikan infrastruktur sanitasi aman dan ramah lingkungan.
Banjarmasin memiliki modal sosial yang kuat. RT/RW yang aktif, komunitas lingkungan yang peduli, dan budaya kayuh baimbai yang hidup.
BACA: SAH! Presiden Prabowo Kembalikan 4 Pulau ke Provinsi Aceh
Modal ini harus ditransformasikan menjadi kapasitas adaptif dan kolektif, melalui edukasi sebagai pondasi, pemilahan sampah dari sumbernya, hingga lomba kebersihan sungai yang bukan sekadar seremonial.
Upaya mitigasi bertujuan mengurangi emisi dari aktivitas harian kota kita. Mitigasi sering terdengar seperti isu global yang jauh dari kehidupan sehari-hari.
Padahal ketika saya menulis dan menyusun laporan Gas Rumah Kaca (GRK) Kota Banajrmasin, emisi gas rumah kaca Kota di tahun 2020 saja sudah mencapai lebih dari 1 juta ton CO₂e apalagi hari ini—dan sebagian besar bersumber dari aktivitas rutin yaitu transportasi, listrik rumah tangga, dan timbunan sampah. Ini perlu menjadi perhatian seksama.
Di sinilah strategi mitigasi menjadi sangat penting dan strategis yakni mengolah sampah organik menjadi kompos dan biogas, melarang plastik sekali pakai, mengembangkan pusat daur ulang skala kota, dan mewajibkan septic tank kedap di setiap bangunan.
Semua ini bukan sekadar proyek lingkungan, tapi langkah menurunkan emisi sekaligus membangun ekosistem kota yang lebih sehat.
Namun demikian, mitigasi tidak akan berjalan jika hanya dibebankan ke satu dinas. Ia harus menjadi komitmen bersama, bekerja lintas sektor, lintas komunitas, bahkan lintas generasi.
Pendidikan harus mengajarkan literasi karbon, UMKM perlu diberi insentif produksi ramah lingkungan, dan belanja daerah harus mulai memprioritaskan infrastruktur rendah emisi.
Adaptasi dan mitigasi merupakan dua sisi koin yang sama. Di mana sering luput dalam perencanaan kota adalah bahwa adaptasi dan mitigasi seharusnya berjalan berdampingan, bukan bersaing dalam anggaran.
Ketika Kota Banjarmasin mengolah sampah organik misalnya, menjadi kompos atau biogas, mendorong pemilihan dan pemanfaatan ulang, kita sedang membersihkan drainase agar tidak banjir, sambil memangkas emisi GRK dari sektor limbah.
Kota ini perlu melampaui pendekatan proyek sektoral dan beralih ke tata kelola yang saling terhubung—yang melihat saluran air, tempat pengolahan sampah, taman kota, dan kebijakan RTRW sebagai satu sistem yang menentukan masa depan.
Selanjutnya Kota Banjarmasin harus lebih reaktif dalam menuju kota yang lebih reflektif.
Transformasi iklim tidak hanya butuh teknologi atau dana, tapi kesadaran kolektif.
Kota Banjarmasin harus membangun narasi baru, bahwa menjadi kota tangguh iklim bukan soal kekuatan menghadapi bencana, tetapi keputusan untuk tidak terus hidup dalam ketergantungan terhadap pola lama yang merusak lingkungan.
Apa yang diputuskan hari ini akan menentukan apakah kota ini akan jadi contoh kota air yang lestari, atau sekadar catatan kaki dari kota yang tidak siap berubah.
Adaptasi dan mitigasi iklim adalah pilihan politik, pilihan moral, dan pilihan teknokratis—semuanya menjadi satu. Dan tak ada waktu yang lebih tepat dari sekarang untuk memilih dengan benar.
Kota Banjarmasin punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi kota pionir dalam aksi iklim—modal data, modal sosial, dan kerangka kebijakan yang sudah ada.
Kini tinggal satu hal yaitu keberanian untuk mengeksekusi secara konsisten dan kolaboratif. Karena kota yang akan selamat dari krisis iklim bukanlah yang paling modern atau paling tua, melainkan yang paling siap berubah, belajar, dan bertindak nyata. (jejakrekam.com)
(Penulis merupakan pemerhati Kota dan Lingkungan, Ketua Jurusan Arsitektur FT-ULM)