18.4 C
New York
Minggu, Mei 18, 2025

Buy now

Vicktor Gao Sebut Indonesia Bisa Ikuti Jejak Tiongkok Menjadi Raksasa Ekonomi

VICKTOR Zhikai Gao atau lebih dikenal dengan Victor Gao, seorang pengacara, pengusaha, dan analis China, menyakini Indonesia bisa mengikuti jejak Tiongkok untuk menjadi raksasa ekonomi.

GAO mengatakan, pada 1978, di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok memprioritaskan pembangunan jangka panjang dan melakukan reformasi internal demi pertumbuhan dalam 20 tahun ke depan.

Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% menuju visi “Indonesia Emas 2045”.

Menurut Victor Gao, Wakil Presiden Center for China and Globalization (CCG), Indonesia perlu membuat peta jalan sendiri, bukan meniru negara lain.

“Stabilitas dalam negeri dan hubungan baik dengan semua negara sangat penting. Pembangunan harus dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan unik Indonesia,” katanya.

Gao juga menyoroti posisi strategis Indonesia di garis khatulistiwa yang cocok untuk peluncuran satelit.

Dengan ini, kata dia, Indonesia bisa menjadi pusat peluncuran satelit dunia dan mengembangkan program luar angkasa nasional, menarik investasi dari negara-negara mayoritas Muslim dan Teluk. Tiongkok bisa ikut berpartisipasi.

Ia juga menyarankan reformasi mata uang, misalnya dengan redenominasi agar 1 USD = 162 IDR, guna menghapus warisan krisis ekonomi 1990-an.

Dengan strategi ini, Indonesia berpeluang menjadi pemimpin global dalam inovasi dan pembangunan.

Dikutip dari berbagai sumber, Victor Gao, lahir pada 1962, adalah seorang pengacara, pengusaha, dan analis China yang merupakan wakil presiden Pusat China dan Globalisasi (CCG) yang berpusat di Beijing.

Gao dikenal juga sebagai pakar hubungan internasional di Universitas Soochow, sebagai Profesor Ketua.

Dia juga tercatat sebagai anggota Komite Kota Beijing dari Komite Revolusioner Kuomintang China.

Gao sebelumnya adalah seorang penerjemah untuk mendiang pemimpin China Deng Xiaoping.

Kehidupan dan Pendidikan Victor Gao Gao dibesarkan di pedesaan China selama tahun 1970-an, sekolah menengah atas di China Selatan.

Ketika pemimpin Partai Komunis China Deng Xiaoping membuka kembali universitas selama reformasi ekonomi China, Gao meyakinkan pemerintah setempat untuk mengizinkannya mengambil Gaokao (ujian) untuk masuk perguruan tinggi pada tahun 1977 sebelum dia lulus sekolah menengah atas.

Gao meraih gelar Sarjana Seni (B.A.) dalam bahasa dan sastra Inggris dari Universitas Soochow pada tahun 1981, kemudian meraih gelar Magister Seni (M.A.) dalam bahasa dan sastra Inggris dari Universitas Studi Luar Negeri Beijing pada tahun 1983.

Dia menempuh pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat di Universitas Yale, tempat dia lulus dengan gelar magister dalam ilmu politik pada tahun 1990 dan kemudian gelar Juris Doctor (J.D.) dari Sekolah Hukum Yale pada tahun 1993.

Dia diterima di Asosiasi Pengacara Negara Bagian New York pada tahun 1994. Karier Victor Gao Dari tahun 1983 hingga 1988, Gao menjadi penerjemah untuk Deng Xiaoping.

Dia juga menjadi anggota Kementerian Luar Negeri dari tahun 1983 hingga 1989 di Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Setelah meninggalkan Kementerian Luar Negeri pada tahun 1988, Gao direkomendasikan oleh Henry Kissinger untuk belajar di Universitas Yale, di mana dia memperoleh gelar Juris Doctor dari Sekolah Hukum Yale pada tahun 1993.

Kemudian dia menjadi penasihat kebijakan untuk Komisi Sekuritas dan Berjangka Hong Kong dari tahun 1999 hingga 2000.

Gao pernah menjadi bankir investasi untuk Morgan Stanley. Dia adalah direktur Asosiasi Studi Internasional Nasional China dan direktur eksekutif Asosiasi Ekuitas Swasta Beijing. Gao juga merupakan wakil presiden Pusat China dan Globalisasi.

“Gao pernah diperlakukan sebagai lawan bicara yang bereputasi baik dalam hubungan AS–China,” tulis majalah Foreign Policy.

Pandangan Victor Gao soal Hong Kong dan AUKUS Pada tahun 2014, Gao mengecam protes pro-demokrasi di Hong Kong sebagai tindakan ilegal dan provokatif.

Dia mendukung Undang-Undang Keamanan Nasional dan integrasi Hong Kong yang berkelanjutan dengan China.

Pada September 2021, Gao menyebut pakta AUKUS sebagai “pelanggaran berat terhadap hukum internasional”, mengeklaim bahwa Australia yang dipersenjatai dengan kapal selam nuklir akan menjadi target serangan nuklir di masa mendatang.

Dia pernah menyebut warga Australia “tidak punya otak”.

“Saya akan mengatakan kesepakatan AUKUS itu sendiri dengan memungkinkan Australia membangun kapal selam nuklir akan memiliki satu konsekuensi besar bagi Australia, yaitu, Australia tidak akan lagi menikmati manfaat dan hak istimewa yang sangat langka untuk tidak menjadi target senjata nuklir di masa mendatang,” katanya.

Sedangkan soal Taiwan, Gao mendukung segala cara yang mungkin untuk mencapai penyatuan China dengan pulau tersebut.

Pada Oktober 2021, Gao mengeklaim bahwa orang Taiwan keturunan Jepang mendukung kemerdekaan Taiwan, dan bahwa setelah China mengambil alih, mereka harus menunjukkan dukungan untuk penyatuan kembali secara tertulis atau beremigrasi.

Majalah Foreign Policy menganggap komentar Gao itu sebagai seruan untuk pembersihan etnis. Pada Agustus 2022, Gao berpendapat bahwa “misi militer China adalah untuk membebaskan Taiwan.” (jejakrekam.com)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles