17.8 C
New York
Selasa, Mei 13, 2025

Buy now

Aroma Cawe-cawe Dalam Keputusan Panglima TNI?

KEPUTUSAN seumur jagung Panglima TNI Jenderal Agus Subianto menjadi sorotan publik terkait mutasi di lingkungan TNI.

Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan kurang dari 24 jam, Panglima mendadak merevisi keputusan mutasi yang telah dibuatnya.

Letjen Kunto Arief Wibowo yang semula menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I dimutasi oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subianto.

Letjen Kunto dimutasi dengan posisi baru ‘masuk kotak’ sebagai staf khusus KSAD. Padahal ia baru saja menjabat sebagai Pangkogabwilhan I.

Namun, keputusan mutasi itu yang dibuat Panglima pada 29 April, keesokannya, 30 April, tiba-tiba direvisi.

Sikap Panglima ini pun menimbulkan tanda tanya dan mengaitkan dengan situasi politik di Tanah Air.

Pasalnya, keputusan Panglima TNI memutasi Letjen Kunto hanya berselang beberapa hari setelah Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno yang juga Mantan Wakil Presiden RI, memimpin gerapan purnawirawan jenderal TNI yang meminta untuk mengevalisi posisi Wapres Gibran Rakabuming Raka.

Kaitannya dengan Letjen Kunto? Try Sutrisno merupakan ayah dari Kunto.

Yang mencengangkan, keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subianto ini diduga tanpa sepengetahuan Presiden Prabowo Subianto.

Dari sinilah Panglima TNI pun tiba-tiba merevisi keputusan mutasi dan mengembalikan posisi Letjen Kunto sebagai Pangkogabwilhan I.

Tak pelak, muncul spekulasi mutasi yang dilakukan Panglima atas ‘arahan’ di luar pemeritahan dan kekuasan Presiden Prabowo Subianto selaku Panglima Tertinggi.

Sorotan pun keudian diarahkan kepada mantan Presiden Joko Widodo.

Tidak sedikit pengamat menduga-duga ada cawe-cawe mantan presiden dua periode itu. Selain terkait kepentingan anakanya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wapres, pengganti Letjen Kunto sebagai Pangkogabwilhan I pernah menjadi ajundan Jokowi, membuat sinyalemen itu makin kuat.

Cawe–cawe

Soal cawe-cawe Jokowi, sebenarnya bukan kisah baru. Pada saat menjabat Presiden, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu, juga sering dikaitnya dengan cawe-cawe sejumlah kejadian politik dan pemeritah di Tanah Air, terutama saat menjelang Pemilu 2024 lalu.

Pengamat dari Kalimantan Selatan, Dr Ir H Subhan Syarief MT, pernah menulis terkait dugaan cawe-cawe Jokowi saat menjabat Presiden.

Berikut tulisan lengkap Dr Ir H Subhan Syarief MT, yang dilansir jejakrekam.com pada 16 Juni 2023:

Dalam tulisannya Subhan Syarief awalnya mengutip sambutan tokoh aktivis Aung San Suu Kyi saat mendapatkan Penghargaan Sakharov untuk Kebebasan Berpikir, di tahun 1991 menyatakan : “Bukan kekuatan yang merusak, tapi ketakutan : Ketakutan kehilangan kekuasaan merusak mereka yang menggunakannya.”

Pandangan ini menjadi menarik ketika dirujukkan dengan kondisi kekinian yang terjadi di Indonesia, terkhusus kondisi perpolitikan menjelang pemilu di tahun 2024 ke depan.

Bila ini kemudian dikorelasikan langsung, terkhusus dengan beragam pandangan, opini atau kritik dari para tokoh yang suka mengamati sikap kata para pemangku kebijakan selaku pemegang kuasa tertinggi di negeri ini, baik hal bagaimana opini 3 (tiga) periode, menunda pemilu, adanya JR hal proporsional tertutup yang digiring di MK, issu pengambil alihan Partai Demokrat, issu penjegalan capres tertentu.

Ya, memang begitu banyak lemparan ‘bola panas’ bersilancar ke permukaan yang mengandung issu adanya gerakan politik tak berkepatutan.

Menariknya lagi, omongan presiden selaku penguasa tertinggi pun tersirat mengungkapkan, bahwa dia condong untuk mendukung capres tertentu, dan kemudian bersinyal tak mendukung capres yang lain.

Hal tersebut dilakoni baik terlibat langsung ataupun tak langsung dengan mengkomunikasikan ke pihak partai politik, tentang figur tertentu yang cocok dan didukungnya untuk bercalon menggantikan dirinya.

Ya, cukup banyak sikap prilaku dan bahkan ucapan yang memberikan atau terasa kuat bersinyal bahwa presiden kesulitan untuk bersikap netral, utamanya terkait issu politik paling strategis tentang hal siapa presiden pengantinya ke depan.

Kondisi tersebut tak sadar telah menjadi konsumsi menarik diperbagai media, terkhusus di dunia maya. Publik pun menduga bahwa ada hal yang terasa belum pas dalam proses persiapan suksesi kepemimpinan ke depan.

Dari berbagai gambaran informasi yang muncul tersebut akhirnya membuat semua pihak terutama mereka yang paham tentang falsafah bernegara menjadi merasa tak nyaman.

Memang fakta bicara, akhir-akhir ini dengan tak sungkan sang Presiden pun aktif mempromosikan capres yang bisa di andalkannya. Capres yang mungkin dianggap mampu meneruskan cita yang ingin dicapainya, mengamankan kepentingan dan kebijakan yang telah dilakukannya.

Bahkan dia pun tak sungkan mengundang beberapa partai politik yang searah dengannya kumpul di istana untuk ‘urun rembuk’ membicarakan hal tersebut, walaupun dibungkus dengan istilah untuk kepentingan masa depan Indonesia. Tapi sebagian publik yang kritis tetap menduga hal yang dibicarakan tak lepas dari urusan perpolitikan.

Kehebohanpun terjadi, ini ketika sang Presiden menggunakan istilah akan ‘cawe-cawe’ terkait kegiatan pemilu. Jikalau dulu publik hanya bisa menduga-duga bahwa Presiden tak netral maka sekarang pembuktian sinyal kemungkinan ‘tak netral’ didapatkan melalui langsung omongan Presiden.

Pengunaan istilah cawe-cawe, yang konon berasal dari bahasa Jawa, dalam tata Bahasa Indonesia bisa diartikan secara sederhana adalah ikut serta dalam menangani sesuatu.

Bila Kemudian dikaitkan dengan cawe-cawe dalam pemilu, maka secara mudah bisa diartikan bahwa Presiden akan ikut menanggani hal pemilu, termasuk tentu dalam urusan pilpres.

Bagi mereka yang cermat dengan piranti konstitusi, maka langkah tersebut akan menjadi masalah ketika keikutsertaan Presiden disebabkan karena hal ‘keberpihakan’ kepada salah satu capres dan kemudian menolak capres yang lain, atau ingin ‘menyingkirkan’ keikutsertaan capres yang lain yang tak dia restui untuk ikut dalam kompetisi.

Akan lain cerita, bila ternyata arahnya ‘cawe-cawe’ ingin mengamankan pemilu agar berjalan jurdil, agar sesuai jadwal, dan menjaga perpolitikan bisa berjalan sehat, menolak langkah ‘kriminalisasi’ terhadap capres ataupun partai politik peserta pemilu oleh pihak yang ingin menghalangi terlaksananya pemilu dengan baik dan lancar.

Ya, akhirnya tentu banyak yang berpikir, apa sebenarnya ‘bayangan’ kondisi yang ada dalam benak Presiden tentang pemilu ke depan. Apa pemilu ke depan kondisinya akan tak baik-baik atau akan terjadi sesuatu hal yang membahayakan keselamatan negara dan rakyat Indonesia.

Ucapan Presiden tentu punya makna, karena dia adalah panglima tertinggi negeri ini. Dia punya infrastruktur menampung dan mengolah informasi baik yang ‘kasat mata’ ataupun yang tersembunyi. Sehingga yang diucapkan pastilah terukur dan sudah melalui berbagai saringan.

Tentu, ucapan dan sikap tindakan presiden terkait hal pemilu dan capres -capres yang akan dicalonkan partai membuat muncul berbagai asumsi bahwa dalam benak Presiden sepertinya ‘ada sesuatu’ terkait pemilu ke depan.

Kondisi hal ‘ada sesuatu’ tersebut bagi yang kritis pastilah memunculkan tanya, dan tentu tak salah bila ujungnya ada yang membuat asumsi bahwa Presiden Indonesia era ini lagi dilanda kecemasan terkait masa depan kebijakan yang telah dilakukannya. Ataukah bisa juga karena Presiden belum siap untuk melakukan suksesi kepemimpinan secara ‘konstitusional’ sehingga tak sungkan menyatakan dia tak bisa tak ‘cawe-cawe’ dalam hal pemilihan umum, utamanya hal terkait siapa capres pengantinya ke depan.

Publik juga tak bisa disalahkan jika kemudian mengembangkan asumsi ‘bebas’ dengan tanya yang lebih luas.

Misalnya, apakah presiden sedang gelisah dan kuatir kalau pengantinya ke depan akan menjadi ‘antitesis’ seperti yang dulu pernah menjadi polemik di perpolitikan negeri ? ;

Atau bisa juga muncul asumsi lain seperti, apakah dia was-was bila ternyata nanti yang terpilih tak mendukung atau tak melindungi kebijakan yang mungkin salah, tak tepat atau bahkan terindikasi melanggar konstitusi negeri?

Atau, apakah ada pihak-pihak kuat di lingkungan kekuasaan saat ini yang memang sedang memainkan ‘bargaining’ hal kekuasaan ke depan, karena ketakutan bila ada perubahan besar dalam kebijakan ke depan yang berbeda dengan saat ini, sehingga kemudian meminjam tangan presiden untuk ‘cawe-cawe’?

Atau bisa saja mungkin muaranya karena Presiden merasa tak puas menjabat hanya selama 2 (dua) periode. Ya, bisa saja karena beranggapan bahwa dia belum bisa melaksanakan segala cita-cita yang ingin dia capai, sehingga ujungnya tak cukup ikhlas untuk menyerahkan kekuasaannya tersebut ?

Ya, berbagai asumsi yang muncul itu menjadi sebuah keniscayaan hadir kepermukaan. Tak bisa disalahkan, semua muncul sebagai respon dari sikap prilaku ucapan presiden, ataupun sikap tindakan atau ucapan para ‘punggawa’nya sendiri.

Dan juga tak salah bila kemudian, tindak tanduk Presiden tersebut menjadi menu menarik untuk dikonsumsi, diolah dan diperdebatkan oleh para analisis, pengamat dan tokoh politik sehingga ujungnya membuat kondisi perpolitikan negeri menjadi semakin semarak, atau bahkan menjadi semakin memanas.

Kembali ke pidato dari tokoh aktivis Burma Aung San Suu Kyi, terkhusus di penggalan kalimat “Bukan kekuatan yang merusak, tapi ketakutan. Ketakutan kehilangan kekuasaan merusak mereka yang menggunakannya” . Kata ini dalam tataran keilmuan bisa menjadi alat uji untuk membuktikan apakah kondisi tersebut bisa dijadikan rujukan, atau bahkan dijadikan indikator menggambarkan sebuah ilustrasi ‘kondisi psikologis’ yang terjadi menimpa Presiden Indonesia yang akan mengakhiri kekuasaannya.

Ya, apakah kata dan sikap prilaku, tindakan dan kebijakan Presiden menjelang habis masa jabatannya ini memberikan kode bahwa presiden sedang menghadapi ‘kondisi dilematis’ seperti yang digambarkan oleh Aung San Suu Kyi tadi.

Ketakutan berasal dari kata ‘takut’, yang menurut bahasa (KBBI) memiliki beberapa arti, seperti ‘merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana’ . Atau bisa juga diartikan dalam bentuk arti ‘takwa, segan dan hormat’ ‘tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), gelisah, khawatir, was-was dan bahkan cemas’.

Ketakutan akan kehilangan kekuasaan, sejatinya memang menjadi penyebab rusaknya nilai kualitas manusia yang menjadi pemegang kuasa.

Kondisi ketakutan ujungnya bisa memaksa sang pemegang kuasa akan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara. ‘Ketakutan kehilangan’ merupakan kondisi yang akan berdampak membuat seorang yang sedang berkuasa memungkinkan membuat kerusakan pada sebuah sistem kekuasaan atau sistem konstitusi bernegara yang telah terbentuk dan berjalan dengan baik.

Ya, Kekuatan ketika sedang berkuasa yang kemudian disertai dengan ‘kecemasan’ akan kehilangan kekuasaan tersebut bisa saja membuat pemilik kuasa memanfaatkan kekuatannya untuk mempertahankan atau tak mau iklhas melepaskan kekuasaan nya.

Memang ketika kekuatan ada dalam kekuasaan dan kekuasaan bisa membuat orang yang lemah menjadi memiliki kekuatan.

Kemudian berlaku tak bijak maka keduanya bisa saling digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau memperpanjang kekuasaan walaupun penguasa tersebut sudah tak lagi ada dalam kekuasaan.

Setiap manusia secara alamiah memiliki atau ditanamkan rasa takut, cemas, risau akan sesuatu hal. Ketika mengalami kondisi tersebut prilaku, tindak tanduk bahkan pola pikir pun berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri.

Dalam perspektif psikologis, para ahli memberikan pengertian ketakutan ataupun kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan munculnya rasa kekhawatiran atau keprihatinan.

Rasa takut juga kadang-kadang dialami dan memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.

Tak salah jika kemudian banyak muncul tanya, hal apa sebenarnya kondisi yang bisa membuat Presiden Jokowi menjadi ‘cemas’ atau mungkin bisa saja ‘takut’ ketika terjadi pergantian presiden ?

Apakah ketakutan tersebut karena didasari kecemasan jika yang menjadi penggantinya ternyata tak seperti yang di harapkan nya atau didukungnya ?

Atau apakah karena Presiden saat ini merasakan bahwa banyak langkah kerja atau kebijakan yang telah dilakukannya tak sejalan dengan aturan konstitusi negara ?

Atau mungkinkah karena Presiden beranggapan bahwa ada dasar kuat yang membuktikan pemilu ke depan akan memunculkan masalah negatif bagi keberlangsungan kehidupan bernegara, terkhusus bagi keselamatan rakyat ?

Memang untuk memastikan, maka semua langkah kebijakan ataupun sikap prilaku Presiden perlulah lebih ditelusuri, diukur dan diinventarisasi lagi rekam jejaknya secara rinci.

Untuk kemudian hasilnya ditarik terkorelasi dengan kata ‘cawe-cawe’ dalam pemilu tersebut. Ya, pamungkasnya munculkan tanya apakah semua terkait dengan persoalan piranti konstitusi ber-negara yang ada masalah, atau apakah terkait hal ketidakpuasan akibat visi misi yang dicanangkan tak bisa tertuntaskan, tentu termasuk hal pemenuhan terhadap janji-janjinya yang berujung memunculkan ketakutan atau kecemasan.

Tentu semua kebenarannya yang tahu adalah sang Presiden itu sendiri, sedangkan publik hanya lah bisa menduga, menilai dan menganalisisnya. Tetapi tak salah, jika kemudian pendapat dari Aung San Suu Kyi bisa menjadi sangat tepat dan wajar dalam memberikan gambaran kemungkinan kondisi yang terjadi. Akan tetapi finalisasi kesimpulannya kembali ada di tangan para pihak yang mau mencermati, menelaah, dan menyimak perjalanan yang sudah dilalui ataupun yang sudah terjadi.

Adapun bagi rakyat kecil ujungnya hanyalah sekedar melantunkan sebuah tanya. ‘Sebenarnya apa yang sedang anda cemas kan bapak Presiden…?’

Ya, harapan akhir adalah semoga Presiden yang sudah 2 (dua) periode menjabat ini dapat melewati kondisi panasnya ‘suhu politik’ untuk kemudian mampu bersikap bijak dan ikhlas seperti presiden -presiden terdahulu.

Presiden yang paham bahwa tugas utama diujung akhir jabatannya adalah bagaimana menjaga agar konstitusi bisa berjalan dengan baik, lancar dan aman, termasuk mengantarkan Pemilu yang Jurdil, aman dan berkualitas bisa terlaksana di tahun 2024 depan.

Sebagai penutup tulisan, mungkin ada baiknya untuk direnungkan, wabil khusus untuk mereka yang ada di lingkaran kekuasaan. Ini terkait pandangan yang mengungkapkan bahwa bila tak arif bijak dalam mengelola semua kecemasan dan ketakutan, dampaknya bisa saja mengakibatkan munculnya perilaku seperti, reaksi eksploitatif atau upaya menguasai orang lain, sering emosi, marah, dan gelisah.

Dan kemudian salah satu terkait reaksi eksploitatif tersebut dapat terlihat atau terwujudkan ketika seseorang melimpahkan jabatannya ke sanak keluarga, kerabat, kolega, dan orang dekatnya. Dan, hal ini semua bisa saja didasari akibat ‘takut kehilangan kekuasaan’ seperti yang tersirat diungkapkan pada pandangan Aung San Suu Kyi tersebut.

Memang kecemasan dan ketakutan yang terjadi bisa juga karena indikasi munculnya gejala ‘post power syndrome’ atau mungkin tepatnya ‘pra post power syndrome’.

Dan ini umumnya banyak terjadi menimpa para penguasa yang tak siap dan ikhlas untuk melepaskan kekuasaannya.

Ya, harapan kita, semoga para penguasa di negeri ini tak terkena sindrom ataupun gejala tersebut. (jejakrekam)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles