ISTILAH oligarki bukan lagi kosa kata asing bagi publik Indonesia. Ia telah menjelma menjadi bagian dari bahasa sehari-hari ketika membicarakan kekuasaan, kekayaan, dan siapa sesungguhnya yang mengendalikan negara ini.
ARISTOTELES menyebut oligarki sebagai bentuk menyimpang dari aristokrasi; yakni ketika kekuasaan dikuasai segelintir orang kaya demi kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kebaikan bersama.
Di era modern, pemikiran ini diperkaya oleh Robert Michels melalui konsep “hukum besi oligarki” (The Iron Law Of Oligarchy) dalam Political Parties (1991).
Menurut Michels, semua organisasi, tak peduli seberapa demokratis awalnya, pada akhirnya cenderung dikuasai oleh elite kecil.
Demokrasi pun, dalam pandangan ini, menjadi kemasan indah dari dominasi kaum berkuasa.
Pandangan ini semakin kuat melalui karya Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011), dan riset Martin Gilens serta Benjamin Page (2014), yang menyimpulkan bahwa suara rakyat biasa nyaris tak memengaruhi kebijakan publik—karena kekuasaan tetap berada di tangan pemilik modal.
Di Indonesia, gejala serupa tampak jelas.
Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam Reorganising Power In Indonesia (2004) menilai bahwa pasca-Reformasi, wajah oligarki hanya berganti kulit; dari militer ke pebisnis-politisi.
Demokrasi prosedural menjadi topeng dari politik transaksional yang menjauhkan rakyat dari kedaulatannya sendiri.
Melihat realitas ini, kini diperlukan satu wacana alternatif yang berani menantang dominasi oligarki predatoris atau oligarki kapitalis.
Maka, lahirlah gagasan “oligarki umat”; ini memang sebuah istilah yang terdengar paradoks, namun justru membuka ruang perdebatan segar.
Ia bukan bermaksud memonopoli makna religiusitas, melainkan mencoba menandai kemunculan kekuatan moral kolektif yang bersumber dari rakyat, tetapi memiliki kapasitas elite: yakni kapasitas strategis untuk menentukan arah bangsa.
“Oligarki umat” adalah koalisi etik dan nilai, yang terdiri dari tokoh agama lintas iman, akademisi, aktivis, pengusaha nasionalis, dan masyarakat sipil yang resah.
Ia tidak lahir dari kerakusan, tapi dari keprihatinan atas carut-marut demokrasi. Bukan kekuatan uang yang menjadi modalnya, melainkan kekuatan moral dan integritas.
Kata Umat dalam konteks ini tidak semata mengacu pada kelompok agama tertentu, tetapi dimaknai sebagai Komunitas Rakyat Bernilai, yakni mereka yang menjadikan keadaban, keadilan, dan keberpihakan kepada yang lemah sebagai dasar perjuangan.
Dengan begitu, oligarki umat adalah bentuk oligarki yang etis, terbuka, dan bertanggung jawab.
Gagasan ini bukan tanpa preseden. Jauh sebelum istilah ini dirumuskan, Buya Ahmad Syafii Maarif telah menyuarakan perlunya “koalisi moral bangsa” yang lintas iman, etnis, dan golongan untuk menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman kekuasaan yang korup.
“Agama jangan menjadi alat kekuasaan, tapi menjadi daya moral untuk menuntun kekuasaan,” tegasnya.
Franz Magnis-Suseno, cendekiawan Katolik, juga menegaskan bahwa demokrasi akan lumpuh bila elite moral membiarkan elite ekonomi dan politik merajalela.
Dalam Etika Politik, Magnis menyebut bahwa harapan terletak pada kebangkitan tokoh lintas iman dan kaum intelektual yang menjadi penyeimbang antara kekuasaan dan nurani rakyat.
Di tataran lokal, benih-benih harapan itu sudah mulai dimunculkan. Di Kalimantan Selatan, misalnya, muncul berbagai forum diskusi informal yang mempertemukan mantan birokrat, aktivis lingkungan, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Mereka membicarakan persoalan banjir, eksploitasi tambang, ketimpangan pembangunan, hingga krisis tata ruang.
Diskusi-diskusi seperti ini, bila diarahkan lebih strategis, dan semestinya dapat menjadi salah satu pendorong munculnya oligarki umat yang bukan hanya bernas dalam gagasan, tapi juga konkret dalam gerakan.
Sebagaimana diungkap dalam Ekspedisi Batang Banyu beberapa tahun lalu, seorang peserta menyatakan: “Yang kami lawan bukan orang per orang, tapi sistem yang membiarkan daerah kami hancur oleh tambang dan banjir, tanpa hasil yang kami nikmati.”
Pernyataan itu mencerminkan semangat baru: membangun demokrasi dari hulu, dari basis moral yang kuat, dengan dukungan tokoh publik yang berani menolak politik transaksional dan memulai politik nilai.
Agar “oligarki umat” tidak sekedar menjadi jargon tandingan dari oligarki predator, ia perlu menjelma sebagai gerakan nyata yang punya arah, fondasi, dan strategi yang terukur. Maka, minimal ada lima langkah strategis yang bisa menjadi pijakan awal.
Pertama, di perlu kan langkah untuk mengkonsolidasikan kekuatan moral publik.
Ini bukan sekedar soal tokoh agama turun ke jalan, atau seruan etika di mimbar, melainkan bagaimana membangkitkan kembali makna politik sebagai panggilan nurani.
Politik yang menyentuh akal sehat dan rasa keadilan, bukan sekedar urusan menang atau kalah di kotak suara.
Kita rindu pada politik yang berbicara tentang kemanusiaan, bukan sekedar logistik kekuasaan.
Langkah kedua, melakukan advokasi kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial, kemanfaatan bagi semua dan ekologi.
Kita hidup di negeri yang kaya, tetapi banyak anak negeri justru tercecer dalam kemiskinan dan keterpinggiran.
Sungai-sungai rusak, hutan dibabat, tanah-tanah digusur atas nama investasi. Oligarki umat harus hadir untuk menyuarakan keberpihakan pada yang lemah, membela yang terpinggirkan, dan melindungi yang terancam.
Ini bukan romantisme, ini tentang keberanian menyusun kebijakan alternatif yang membela kehidupan.
Ketiga, membuka ruang partisipasi rakyat yang setara dan terbuka. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal mencoblos lima menit di TPS, lalu lupa selama lima tahun.
Demokrasi yang sejati adalah ketika warga bisa ikut bicara, ikut menentukan, dan ikut mengawasi.
Ketika forum-forum komunitas, majelis-majelis warga, dan diskusi-diskusi kampung hidup kembali. Ketika setiap suara punya ruang untuk didengar, bukan dimatikan.
Namun, gerakan ini tidak bisa berdiri tanpa arah yang sama. Maka langkah keempat adalah menyamakan visi dan misi perjuangan antar elite yang terlibat dalam gerakan ini.
Siapa pun yang tergabung; baik tokoh agama, cendekiawan, pengusaha, atau aktivis; harus duduk satu meja.
Kita tidak butuh lagi elite yang jalan sendiri-sendiri, apalagi bersaing dalam diam.
Kita butuh kesepakatan yang jernih; apa yang kita perjuangkan bersama? Ke mana kita hendak membawa umat ini melangkah?
Dan terakhir, ini yang paling strategis sekaligus menjadi kebutuhan utama; gerakan urun dana perjuangan (crowdfunding).
Bayangkan jika umat tidak lagi menggantungkan harapan pada donatur-donatur besar yang sering punya agenda tersembunyi.
Jika kekuatan ekonomi umat ini digerakkan dari bawah. Berdasarkan data, kelompok menengah di Indonesia diperkirakan mencapai 26 % dari Jumlah penduduk Indonesia yang lebih 250 juta.
Ya, sejatinya jika saja ada kisaran 50 juta orang dari kelompok menengah tadi dan mau rutin bersedia menyumbang atau ber infaq Rp. 100 ribu perbulan, maka akan di dapatkan potensi dana segar sekitar Rp.5 triliun tiap bulan.
Ini sejatinya bukan mimpi, tapi kekuatan yang sungguh ada, hanya tinggal digerakkan.
Dan kita bisa belajar dari banyak contoh. Di Amerika Serikat, kampanye Bernie Sanders dibiayai dari jutaan donasi kecil, bukan konglomerat. Di Spanyol, gerakan Podemos lahir dari sumbangan rakyat.
Di Mesir, aktivis pro-demokrasi membangun pusat hukum dan pendidikan politik lewat crowdfunding.
Di Indonesia sendiri, kita punya contoh kecil, gerakan sosial seperti Kitabisa.com yang sudah membuktikan bahwa solidaritas bisa menembus batas.
Artinya, jika umat bersedia bersatu, menyepakati arah, dan menggerakkan kekuatan bersama—bukan hanya lewat doa dan wacana, tapi juga lewat dana dan aksi; maka “oligarki umat” bisa menjadi kekuatan alternatif yang nyata.
Bukan sekedar melawan dominasi oligarki predator, tapi benar-benar menghadirkan demokrasi yang lebih adil, bermoral, dan berpihak kepada kehidupan.
Namun, kita tetap harus waspada. Setiap elite; betapapun moralis atau nasionalis, tetap punya potensi menyimpang jika tidak dikawal oleh kesadaran kritis dan partisipasi rakyat.
Jangan sampai oligarki umat justru berubah menjadi klub tertutup, menjelma “benteng elite baru” dengan wajah lama.
Filsuf politik Norberto Bobbio mengingatkan: “Demokrasi bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang siapa yang bisa mengontrol kekuasaan.”
Maka, oligarki umat harus menjadi jembatan, bukan benteng. Ia harus memproduksi ide, bukan memonopoli tafsir kebenaran.
Ia harus menciptakan regenerasi, bukan mewariskan kekuasaan dalam lingkaran yang sama. Ia harus menjadi ruang etis yang melibatkan publik, bukan menutup diri dalam moralitas sempit yang elitis.
Jika sungguh lahir dari kegelisahan moral, maka oligarki umat harus membuktikannya dalam bentuk kerja konkret, advokasi nyata, dan keberpihakan terhadap mereka yang paling tak bersuara.
Sebab dalam politik, ide baik pun bisa menjadi alat dominasi; jika tak dikawal kesadaran kritis dan partisipasi rakyat.
Dan hanya dengan jalan inilah, demokrasi Indonesia bisa kembali pada marwahnya: meletakkan rakyat sebagai subjek, bukan sekedar objek.
Hanya pertanyaan akhir yang membuat resah adalah; mungkinkah asa itu terwujud di tengah krisis sulitnya untuk menemukan elite akademisi, intelektual, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pengusaha, tokoh aktivis dan juga warga kritis yang berakhlak, berintegritas dan berpihak kepada kepentingan rakyat? (Subhan Syarief/AI:2025/Batang Banyu Institute).