Oleh: Subhan Syarief
RAMADHAN adalah tamu yang datang dengan kelembutan dan penuh kasih. Ia mengetuk pintu hati, membangunkan kesadaran yang tertidur, lalu mengajak setiap jiwa untuk kembali mengingat jalan pulang. Ia bukan sekedar bulan yang terhitung dalam kalender, bukan sekedar rentang waktu yang datang dan pergi setiap tahun, melainkan cahaya yang menyinari lorong-lorong hati yang telah lama redup oleh kelalaian dunia.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Dalam nafas puasa yang ditahan, dalam rintik doa yang mengalir, dan dalam sujud panjang yang lirih, Ramadhan mengajarkan tentang makna kehadiran.
Ia datang bukan hanya sekedar membawa perintah untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih dari itu, ia membawa ruang perjumpaan bagi seorang hamba yang telah lama terpisah dari Tuhannya.
Ramadhan adalah perjamuan ilahi, tempat seorang yang tersesat menemukan kembali peta menuju Rabb-nya, tempat yang gersang kembali menumbuhkan tetumbuhan harap dan ketakwaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Malam-malamnya adalah samudra yang dalam, di mana doa-doa mengalir bagaikan arus yang deras menuju tepian ampunan.
Saat sahur tiba, ada bisikan lembut yang berkata, “Bangunlah, ada pintu yang sedang terbuka, ada tangan yang siap menyambut.” Rasulullah bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saat berbuka, ada kehangatan yang membisikkan bahwa kasih sayang Allah lebih dekat dari urat nadi, dan bahwa setiap tetes air yang membasahi kerongkongan adalah pertanda cinta yang tak bertepi.
“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Tuhannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ramadhan mengajarkan bahwa dunia hanyalah persinggahan, dan bahwa kemelekatan pada dunia adalah ilusi yang melenakan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan pada limpahan materi, tetapi pada hati yang ringan dari beban dosa, pada jiwa yang menemukan kembali sumber cahayanya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berkata: “Puasa tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga menahan semua anggota tubuh dari segala yang diharamkan. Maka, hakikat puasa adalah membebaskan diri dari selain Allah dan hanya terikat kepada-Nya.”
Namun kini, Ramadhan perlahan melangkah pergi. Seperti seorang musafir yang telah menunaikan tugasnya, ia berlalu dengan meninggalkan jejak pada setiap hati yang tersentuh oleh kehadirannya.
Lantas, apakah kita akan membiarkan jejak itu pudar begitu saja? Apakah kita akan kembali terlelap dalam kelalaian setelah Ramadhan menjauh dari pelupuk mata?
Lebaran tidaklah sekadar hari kemenangan, melainkan cermin dari perjalanan spiritual yang telah ditempuh. Apakah hati ini telah dibasuh hingga jernih? Apakah kita telah kembali menjadi seperti bayi yang terlahir kembali dalam kesucian?
Jika Ramadhan adalah samudra yang membersihkan, maka Idul Fitri adalah pantai tempat kita melabuhkan diri dengan tubuh dan jiwa yang baru.
Allah berfirman: “Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia telah beruntung.” (QS. Al-A’la: 14).
Fitrah bukanlah sekadar ritual kembali ke nol, tetapi kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang terus berjalan menuju-Nya, menempuh perjalanan yang penuh liku, namun selalu rindu untuk pulang.
Melepas Ramadhan bukan berarti mengucapkan selamat tinggal, tetapi menjaga nyala cahayanya agar tetap bersinar di hari-hari mendatang.
Ia telah datang membawa seberkas sinar ke dalam hati kita, dan kini saatnya kita menjaga agar cahaya itu tidak padam.
Sebab sesungguhnya, yang lebih berat dari berpuasa adalah menjaga ketakwaan setelah Ramadhan pergi.
Jika sepanjang bulan suci kita merasakan kedekatan dengan-Nya, maka jangan biarkan diri kembali menjauh ketika bulan ini berlalu.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata: “Setelah Ramadhan pergi, apakah hatimu tetap berpuasa dari segala yang menjauhkanmu dari Allah?”
Biarkan setiap detik yang telah kita lalui bersama Ramadhan menjadi bekal yang menguatkan langkah menuju kehidupan yang lebih berarti. Dan sejatinya, bila berhasil mencapai kondisi ini; berhasil menjaga cahaya nya dalam lahir batin. Maka dapat di artikan kita telah berjumpa dengan Lailatur Qadar.
Ya, cahaya 1.000 bulan yang di impikan, yang di perebutkan selama ramadhan telah di rengkuh dan menjadi suluh penerang yang tak pernah padam ketika kita melangkah menapak jalan ke depan.
Ramadhan adalah tamu yang datang membawa rahmat, lalu pergi dengan meninggalkan pelajaran. Dan kini, tugas kita adalah menjaga warisan yang ia tinggalkan: hati yang bersih, jiwa yang jernih, dan langkah yang lebih ringan menuju Ilahi. (jejakrekam)
(Subhan Syarief/AI:2025:Ujung Ramadhan/Batang Banyu Institute)