Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT
FILM Venom yang dirilis tahun 2018 membawa kisah tentang symbiote alien yang datang ke bumi, mencari inang agar bisa bertahan hidup. Sebuah makhluk asing yang tidak bisa hidup sendiri, ia menempel pada tubuh manusia, mengendalikannya perlahan, menggerogoti tanpa disadari. Menarik membayangkan jika Venom ini dijadikan metafora bagi korupsi di Indonesia. Korupsi, seperti Venom, adalah parasit sosial yang selalu mencari tubuh baru, mencari inang yang bisa ditumpangi, dibentuk, lalu dihancurkan dari dalam.
VENOM membutuhkan Eddie Brock, manusia yang menjadi rumah baginya. Mereka saling menguntungkan, tapi juga saling merusak. Sama persis seperti hubungan antara sistem yang korup dan individu yang lemah integritasnya. Korupsi tak akan hidup tanpa inang. Ia menempel pada jabatan, kekuasaan, hingga celah-celah aturan. Ketika menemukan manusia yang tergoda kenyamanan dan kenikmatan kekuasaan, simbiosis pun terjadi. Individu menikmati hasilnya, sistem menjadi rusak, tetapi keduanya saling bergantung.
BACA JUGA: Syirik Khafi dan Syirik Jali
Eddie tahu Venom berbahaya, tapi kekuatan yang ditawarkan terlalu sulit ditolak. Dilema ini serupa dengan yang dialami sebagian penguasa kita. Mereka tahu korupsi itu salah, tapi kuasa dan kenyamanan yang menyertainya membuat mereka berkompromi. Di sinilah letak awal mula karma reformasi. Saat korupsi bukan lagi sekedar kejahatan struktural, tapi sudah menjelma menjadi simbiosis psikologis: tumbuh dari godaan internal, diperkuat oleh sistem yang rapuh, hingga membentuk ekosistem predatoris yang mengunci semua celah.
Sepanjang film, Eddie Brock berusaha menyingkirkan Venom, tapi pada akhirnya mereka berdamai; menetapkan batas agar simbiosis tetap terkendali. Di dunia nyata, korupsi pun demikian. Mungkin mustahil diberantas total, tapi bisa dijinakkan. Transparansi, pengawasan ketat, dan penegakan hukum yang konsisten adalah upaya menjinakkan Venom. Sebab jika dibiarkan liar, Venom akan terus mencari inang baru, terus berpindah, terus menyebar, hingga menghancurkan sistem dari dalam.
Kisah ini membawa kita menengok kembali ke tahun 1998; tahun di mana gelombang reformasi bergelora. Mahasiswa memenuhi jalanan, menduduki gedung DPR, meneriakkan perubahan dengan satu harapan: melahirkan Indonesia baru yang demokratis, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka adalah anak-anak muda penuh idealisme yang percaya bahwa masa depan akan lebih cerah.
Namun, sejarah selalu punya cara mengejutkan siapa saja yang menaruh harapan terlalu tinggi. Waktu bergerak, idealisme tergerus kenyataan. Sebagian dari mereka yang dulu berteriak di garis depan, kini duduk nyaman di kursi kekuasaan. Ironisnya, nama-nama mereka kini terseret dalam skandal korupsi yang angkanya bukan lagi miliaran, melainkan tembus ratusan triliun.
BACA JUGA: ‘Meruwat’ Indonesia, Arah Gerakan Kebangkitan Nasional Baru? (2)
Salah satu yang mencengangkan adalah skandal oplosan Pertalite menjadi Pertamax, yang menyeret anak usaha Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga. Kerugian negara membengkak hingga Rp193,7 triliun; konon katanya lebih dari 10 persen APBN. Karma reformasi pun terasa begitu nyata, mereka yang dulu menentang KKN, kini menjadi bagian dari mesin predator yang lebih buas.
Sejatinya, kasus ini bukan sekedar permainan oplosan bensin di sudut depo, melainkan potret bagaimana ruang gelap di sektor energi tumbuh subur di tangan mereka yang dulu mengaku diri sebagai reformis. Prosesnya rapi, sistematis, melibatkan teknologi canggih, dan parahnya: dilakukan di bawah pengawasan, bahkan diduga dirancang oleh lingkaran elite manajemen sendiri.
Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan empat petinggi anak usaha Pertamina sebagai tersangka. Mereka bukan nama-nama sembarangan. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Direktur Kilang Pertamina, hingga Vice President yang mengatur pasokan energi, semua terseret. Inilah wajah lain Venom reformasi; menempel pada tubuh reformis yang dulu bersumpah menumpas korupsi.
Tragisnya, konsumen pun menjadi korban. Mereka membeli Pertamax asli, tapi yang mengalir ke tangki kendaraan adalah hasil oplosan berkualitas dipertanyakan. Sementara di atas sana, rekening-rekening rahasia terus membengkak.
Karma reformasi ini membentang panjang. Reformasi yang dilahirkan dengan nyawa dan air mata, justru melahirkan generasi predator baru. Mereka yang dulu berdiri gagah di atas mobil komando menyuarakan perubahan, meneriakan anti KKN, kini membagi kue rente di meja-meja direktur BUMN.
BACA JUGA: Pergulatan Batin dalam Lukisan di Antara Rasa Optimistis
Pola korupsi pun berevolusi. Jika di era Orde Baru korupsi terkonsentrasi di lingkaran Kekuasaan tertinggi dan kroni, pasca reformasi, korupsi terfragmentasi ke faksi-faksi politik. Robert Cribb (1990) dalam bukunya The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali Monash University; menyebut Orde Baru menerapkan disciplinary corruption, korupsi yang terkontrol agar tidak merusak stabilitas. Robert Cribb banyak membahas bagaimana Orde Baru di bawah Soeharto menciptakan kontrol ketat atas korupsi. Istilah “Disciplinary Corruption” merujuk pada korupsi yang terkendali demi menjaga stabilitas politik dan ekonomi.
Tapi sayangnya gerakan reformasi yang dibanggakan mampu menjatuhkan orde baru ternyata justru menciptakan demokrasi predatoris, sebagaimana dikatakan Vedi Hadiz (2010) dalam ulasannya di buku Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia; Dalam hal ini Vedi Hadiz memperkenalkan konsep Predatory Democracy yang menjelaskan bagaimana demokrasi di Indonesia pasca reformasi justru melahirkan para elite predator yang berlomba mengakses sumber daya negara melalui kanal politik.Demokrasi yang bukan melahirkan akuntabilitas, akan menjadi arena negosiasi para predator politik dalam merebut rente ekonomi.
BUMN yang dulu diharapkan menjadi lokomotif pembangunan, kini jadi ajang pembagian kue kekuasaan. Faisal Basri (2021) dalam bukunya Ekonomi Politik Indonesia; Jalan Panjang Menuju Reformasi BUMN sangat tegas dan konsisten mengkritik tata kelola BUMN yang sarat kepentingan politik, menjadikan BUMN sebagai alat politik dan rente. Bukan sekedar korupsi proyek, tapi juga investasi fiktif, manipulasi laporan keuangan, goreng saham, hingga pencucian uang lintas negara.bahkan menyebut BUMN kita bukan lagi badan usaha milik negara, tapi milik penguasa.
Inilah karma reformasi; mereka yang dulu meneriakkan anti KKN, kini menjarah BUMN tanpa rasa malu. Jiwasraya, Asabri, Garuda Indonesia, dan kini Pertamina, semua menjadi saksi bagaimana predator reformasi menjelma lebih rakus dari predator Orde Baru. Emil Salim pernah mengingatkan; reformasi politik tanpa reformasi tata kelola ekonomi hanya akan melahirkan liberalisasi korupsi.
BACA JUGA: 9. QS. At-Taubah (Pengampunan) 81-100 Ayat-Juz 10
Korupsi pasca reformasi bukan lagi sekedar tindakan individu, melainkan produk cacat sistemik dari desain reformasi itu sendiri. Reformasi yang gagal melahirkan tata kelola bersih justru melahirkan ekosistem predatoris yang menghisap sumber daya negara.
Ironisnya, reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini dikorupsi oleh generasi yang dilahirkannya sendiri. Di tangan mereka, semangat reformasi mati perlahan. Venom reformasi telah menyatu dengan tubuh para reformis, mengubah idealisme menjadi kerakusan.
Dan kini, saat kita menyaksikan bagaimana korupsi di Pertamina meledak, kita layak mempertanyakan apakah reformasi benar-benar mati di tangan para reformis sendiri?, apakah ini isyarat bahwa Indonesia tak butuh reformasi tapi butuh revolusi melalui gerakan radikal yang lebih keras, lebih berani, tegas dan bebas dari kompromi?, atau ini memang karma reformasi 1998; karma yang menegaskan bahwa wajah asli demokrasi Indonesia sejatinya berwujud demokrasi predatoris. (jejakrekam)

(AI:2025/Tim Peneliti Batang Banyu Institute)