3.3 C
New York
Jumat, Februari 14, 2025

Buy now

“Ketika Banjarmasin Berubah Menjadi Area Resapan Air”

Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT

BANJARMASIN Kota Seribu Sungai, sejatinya telah menjadi saksi dari perjalanan keunikan alam. Ya, terkhusus hal kerentanannya terhadap serbuan air. Kota ini awalnya berdiri di atas dominasi lahan rawa gambut yang secara alami mampu berinteraksi dan bersahabat dengan air. Akan tetapi kemudian akibat pembangunan tak ramah lingkungan, ketdak mampuan menjaga dan memeliharanya, maka lahan rawapun sebagian berubah digantikan tanah padsonik merah, menciptakan lanskap yang tak lagi alami.

SEJAK dahulu, air yang selalu menjadi ‘sahabat’ tak terpisahkan dari kehidupan warga. Pelan tapi pasti, itu tak lagi terjadi, dan air yang selama ini ramah, bahkan menghidupi kota justru menjadi ancaman, dan lebih dari itu, jika tak mawas diri air-pun kedepan akan menggila dengan merubah Banjarmasin menjadi area resapan, bak danau raksasa yang tak lagi mampu bertahan dari genangan. Jujur, saat ini gejala kearah sana semakin kuat bakal terjadi. Buktinya tahun-ketahun  semakin banyak kawasan kota Banjarmasin yang tak bisa cepat kering ketika air sungai menaik dan hujan ektrem melanda. Bahkan ketika air sudah mengenangi lebih seminggu maka surutnya semakin lama, tak jarang kawasan tersebut seolah menjadi area resapan air, menunggu tanah menghabiskan air tersebut untuk diserap.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Sejak ratusan tahun lalu, posisi geografis yang ketinggian daratannya berada minus 16 cm dari muka permukaan laut membuat Banjarmasin rentan terhadap banjir. Ketika air laut pasang, daratan kota kerap tergenang. Namun, dahulu kondisi ini tidak menjadi masalah besar karena keseimbangan ekologis kota masih terjaga. Sungai-sungai besar, menengah, dan kecil yang saling terkoneksi, ditambah hamparan lahan rawa gambut yang luas, menjadi benteng alami yang menjaga kota dari bencana besar. Genangan air hanya sesaat, dan dalam hitungan jam, air surut kembali. Bahkan, keberadaan genangan ini pernah menjadi berkah; menjadikan lahan subur untuk pertanian, perkebunan, dan perikanan. Namun, kini kondisi tersebut telah berubah drastis.

Ketika air tertahan mengenang lebih dari tujuh hari, dampaknya meluas, mulai dari aspek ekologis hingga sosial-ekonomi, infrastruktur bahkan kesehatan dan keamanan pun akan terancam. Menurut Brady dan Weil dalam bukunya ‘The Nature and Properties of Soils’ (2017), tanah rawa gambut yang terendam air terus-menerus akan mencapai titik jenuh. Pori-pori tanah terisi penuh oleh air, sehingga kehilangan oksigen yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan mikroorganisme tanah dan akar tanaman. Dalam kondisi ini, rawa yang dulunya menyerap air justru memantulkannya kembali ke permukaan, memperparah genangan. Tanah padsonik merah, yang banyak digunakan untuk mengurug rawa menjadi daratan, memperburuk keadaan. Berdasarkan kajian para ahli, tanah ini akan menjadi anaerobik saat terendam, menghasilkan senyawa toksik yang merusak struktur tanah dan mematikan vegetasi.

Lebih lanjut, genangan air yang bertahan lebih dari tujuh hari akan memicu degradasi fisik tanah yang berdampak langsung pada ekosistem dan kehidupan warga. Struktur tanah menjadi lemah dan kehilangan daya dukungnya, menyebabkan amblesan serta kerusakan fondasi bangunan. Fenomena ini dikenal sebagai ‘ground subsidence’ yang dalam jangka panjang dapat membuat permukaan tanah terus menurun. Dalam kasus ekstrem, jika tanah terus terendam selama berbulan-bulan, proses ‘lifeguefaction’ atau pencairan tanah dapat terjadi, membuat daratan semakin tidak stabil dan berisiko tenggelam permanen.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Secara ekologis, genangan air berkepanjangan akan mengakibatkan kematian vegetasi lokal, mengurangi kemampuan tanah untuk meregenerasi ekosistemnya. Perubahan ini berdampak langsung pada sektor pertanian dan perikanan, di mana lahan yang dulunya produktif akan berubah menjadi lahan mati yang tak bisa lagi ditanami. Sistem perakaran tanaman yang membusuk akibat kekurangan oksigen akan menciptakan lapisan tanah yang asam dan miskin nutrisi, mempercepat degradasi lahan.

Dari sisi sosial-ekonomi, genangan air yang menetap lebih dari tujuh hari akan menimbulkan gangguan besar bagi masyarakat. Infrastruktur jalan dan transportasi akan lumpuh, menghambat aktivitas ekonomi dan perdagangan. Selain itu, kondisi ini akan meningkatkan risiko penyebaran penyakit berbasis air seperti leptospirosis, demam berdarah, dan malaria, akibat lingkungan yang menjadi sarang bagi nyamuk dan mikroorganisme patogen.

Rentannya Banjarmasin terhadap genangan air ini bukan hanya disebabkan oleh faktor alamiah, tetapi utamanya akibat kelalaian manusia dalam menjaga keseimbangan ekologis kota. Sejatinya minimal ada empat faktor utama yang membuat Banjarmasin semakin lemah dalam menghadapi tekanan air:

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

PERTAMA: Dalam dua dekade terakhir, jumlah sungai di Banjarmasin menyusut dari lebih dari 100 menjadi sekitar 70. Sungai-sungai yang tersisa pun dalam kondisi yang memprihatinkan: dangkal, sempit, tidak saling terkoneksi, bahkan banyak yang buntu. Bantaran sungai yang dipadati bangunan yang tak ramah lingkungan menambah masalah, memperparah sedimentasi dan menghambat aliran air. Padahal, semua tahu, sungai yang terpelihara dengan baik adalah jalur alami untuk mengalirkan kelebihan air, mencegah terjadinya genangan.

KEDUA: Rawa gambut, yang dulunya melingkupi hampir seluruh wilayah kota, yang menjalankan fungsi untuk menstabilkan limpahan air kini hanya tersisa sekitar 40–50%. Sisanya telah diurug dengan tanah padsonik merah untuk dijadikan daratan. Akibatnya, daya serap terhadap air limpahan menurun drastis. Dalam kondisi rawa yang terjaga, air hujan dan limpahan dari daerah hulu dapat diserap secara perlahan, mencegah terjadinya banjir besar. Namun, alih fungsi lahan ini telah merusak kemampuan alami rawa sebagai area resapan air.

KETIGA: Pengaruh dampak perubahan iklim global, seperti pemanasan global (global warming) dan mendidihnya suhu bumi (global boiling), turut memperburuk situasi. Kenaikan muka air laut sebesar 4–10 mm per tahun membuat posisi Banjarmasin yang sudah berada di bawah permukaan laut semakin rendah. Jika 20 tahun lalu atau bahkan ratusan tahun lalu kota ini berada sekitar minus 16 cm di bawah permukaan laut, kini posisinya diperkirakan mencapai minus 35–40 cm. Saat air laut pasang atau gelombang tinggi, tekanan air yang masuk ke daratan menjadi jauh lebih besar, memicu genangan yang sulit surut. Tentu jika Banjarmasin tak mampu berbenah, akanlah sangat menakutkan ketika membayangkan Banjarmasin berada di ujung abad 21 atau pada saat berada di tahun 2100.

KEEMPAT: Pembangunan infrastruktur kota yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi faktor utama hilangnya imunitas ekologis Banjarmasin. Alih fungsi lahan rawa menjadi daratan berbentuk tanah padat dan beton telah merusak karakteristik gambut, mempercepat penurunan tanah hingga 3–10 cm per tahun. Menurut Kozlowski dalam bukunya ‘Flooding and Plant Growth’ (1984), lahan yang terdegradasi akibat pembangunan masif ini kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap air dan mendukung vegetasi.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Ya, dari ulasan di atas dapat terukur ketika Banjarmasin sepenuhnya berubah menjadi area resapan air, dampaknya tidak hanya meliputi kerusakan fisik tetapi juga kehidupan sosial-ekonomi kota. Infrastruktur jalan yang rusak, fondasi bangunan yang retak, hingga amblesan tanah menjadi pemandangan sehari-hari. Aktivitas ekonomi lumpuh karena transportasi terganggu, sementara sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan kehilangan produktivitasnya akibat tanah yang tidak lagi subur.

Sejatinya bagi yang paham dan mau berpikir, tentu bisa tahu, bahwa Banjarmasin kini terancam dan berada di persimpangan jalan. Untuk mencegah kota ini tenggelam lebih jauh, langkah konkret harus segera diambil. Revitalisasi sungai-sungai yang tersisa, perlindungan terhadap lahan rawa gambut yang masih ada, serta pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada keberlanjutan dan adaftif adalah kunci untuk memulihkan keseimbangan ekologis kota.

Ya, akhirnya kita harus bertanya pada diri sendiri; apakah kita akan membiarkan kota ini terus tenggelam, ataukah kita akan bergerak bersama untuk menyelamatkannya?

(Februari 2025/Tim Peneliti Batang Banyu Institute)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,200PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles