Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT
BANJARMASIN yang sejak dulu dikenal sebagai kota seribu sungai, sejatinya memiliki geografis yang unik dan menarik sekaligus rentan. Kota ini terbentuk dari gugusan lahan rawa dan gambut yang membentang luas, dikelilingi dan dibelah oleh berbagai sungai, mulai dari yang kecil hingga yang besar seperti Sungai Barito dan Sungai Martapura. Namun, di balik keindahan dan kekayaan sungainya, ada hal yang bila tak hati-hati akan memicu masalah, daratan kota ini berada minus 16 cm di bawah permukaan air laut. Sejarah panjang telah membuktikan, bahwa kondisi ini menjadikan Banjarmasin selalu berada dalam ancaman banjir, baik akibat limpasan air sungai, curah hujan tinggi maupun intrusi air laut.
PERKEMBANGAN kekiniannya, pertumbuhan kota yang semakin tak terkendali turut memperburuk situasi. Lahan rawa yang semula menjadi kawasan resapan alami diurug demi pembangunan infrastruktur dan permukiman. Sungai-sungai yang dulu menjadi jalur transportasi utama kini menyempit, dangkal, bahkan mati. Banyak aliran sungai yang terputus, kehilangan konektivitas, dan tak lagi mampu menjalankan fungsi ekologisnya. Akibatnya, kemampuan kota untuk mengelola air semakin melemah.
BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?
Kondisi ini semakin terbukti, Ketika januari tahun 2021 Banjarmasin terkena banjir. Banjir besar yang tak pernah terbayangkan akan terjadi, akibatnya sebagian Kota Banjarmasin penuh genangan, Ya, berdasarkan data tak pernah kota Banjarmasin mengalami genangan air yang tingginya hampir mencapai pinggang orang dewasa dengan waktu lebih dari seminggu.
Sayangnya bencana tersebut tak menjadi pelajaran berharga, ketidak seriusan dalam mencari jalan keluar ataupun mencari solusi bertahan terhadap kerentanan dari serangan air tidaklah dilakukan secara masif dan fokus oleh Pemerintah Kota Banjarmasin. Ya, bagi yang paham dan cermat melihat, sejatinya yang di lakukan terlihat asal ada saja, retorika semata bahkan dijadikan momen untuk pencitraan seolah telah melakukan tindakan nyata. Hingga Ujungnya sekarang fakta kembali bicara, sejak bulan Desember 2024 dan kemudian puncaknya bulan januari tahun 2025, Banjarmasin tak henti di serbu air limpahan, puncaknya air pun kembali mengenangi sebagian kawasan Kota Banjarmasin. Bahkan situasi terkini mempertegas kondisi darurat yang dihadapi Banjarmasin, Kota kini berstatus siaga banjir hingga 31 Maret 2025. Status itu berdasarkan surat edaran Wali Kota Banjarmasin tentang Imbauan Kesiapsiagaan Menghadapi Cuaca Ekstrem dan Air Pasang Rob. Kepala BPBD Banjarmasin, Husni Thamrin, memetakan kawasan yang terendam banjir rob terparah di Kecamatan Banjarmasin Timur dan Banjarmasin Selatan. Kedua wilayah ini terdampak Daerah Aliran Sungai (DAS) Martapura, sementara kiriman dari DAS Barito tidak menyebabkan banjir di wilayah seperti Banjarmasin Utara, Tengah, maupun Barat. Di Kecamatan Banjarmasin Timur, setidaknya satu kelurahan terdampak pasang air, yakni Kelurahan Sungai Lulut. Sedangkan di Kecamatan Banjarmasin Selatan, ada dua kelurahan yang sangat terdampak, yaitu Kelurahan Tanjung Pagar dan Pemurus Dalam. Bahkan, di Pemurus Dalam, genangan air berlangsung selama beberapa hari, berdampak pada 27 kepala keluarga (KK). Data ini pun masih divalidasi oleh pihak kelurahan setempat
Pemerintah Kota Banjarmasin memang selalu gagab dan lambat dalam bersikap, terkhusus bertindak nyata. Ketika Bencana terjadi baru terlihat aktif dan luar biasa dalam memberikan arahan atau himbauan. Padahal semua tahu bahwa dampak lain yang tidak bisa diabaikan dan sangat berpengaruh secara intens, masif dan pasti terjadi adalah perubahan iklim global. Kenaikan muka air laut setiap tahunnya kini mencapai 4 mm hingga 7 mm, mengancam daerah pesisir seperti Banjarmasin. Sementara itu, alih fungsi lahan rawa menjadi daratan juga memicu penurunan permukaan tanah. Para ahli menyebut bahwa tanah gambut yang diurug memiliki tingkat penurunan yang signifikan, berkisar 3 cm hingga 10 cm per tahun. Fenomena ini, jika tidak segera diatasi, akan mempercepat ancaman tenggelamnya kota. Ya, semestinya ini yang harus mendapatkan perhatian utama.
BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap
Ironisnya, meski ancaman ini nyata, respons dari para pemangku kepentingan tampak minim. Pemerintah kota dan legislatif cenderung mengabaikan dampak jangka panjang dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, pengusaha dan investor lebih fokus pada keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologis kota. Bahkan, kalangan akademisi dan tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi penggerak kesadaran publik sering kali diam. Semua ini membuat Banjarmasin semakin rentan terhadap banjir, terutama saat hujan ekstrem dan air pasang bersamaan melanda.
Dalam pandangan Kevin Lynch (1960) dalam bukunya The Image Of The City, wajah kota sangat dipengaruhi oleh bagaimana para pihak yang terkait; pemerintah, perencana, pengusaha, dan masyarakat dalam memahami, merancang, dan mengelola ruang kota. Lynch menekankan bahwa kota harus dirancang dengan memperhatikan legibility (keterbacaan) dan imageability (daya bayang), yang memungkinkan warga memahami ruang kota secara fungsional dan estetik. Dalam konteks Banjarmasin, sungai-sungai yang seharusnya menjadi elemen utama identitas kota telah diabaikan dan bahkan dirusak. Ketidakterlibatan para pemangku kepentingan dalam menjaga elemen ini telah menghilangkan wajah kota yang khas, menyebabkan Banjarmasin kehilangan fungsi ekologis dan budayanya sebagai kota sungai.
Sejalan dengan itu, Ian McHarg, dalam bukunya Design With Nature (1969), menekankan pentingnya merancang kota yang selaras dengan lingkungan alam. Ia berpendapat bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik ekologis, seperti lahan rawa atau gambut, akan membawa bencana ekologis. Dalam hal ini McHarg mengusulkan pendekatan berbasis ekologi dalam perencanaan, di mana lahan-lahan dengan fungsi ekologis penting harus dilindungi atau dikelola secara hati-hati. Alih fungsi lahan gambut di Banjarmasin menjadi daratan telah memicu berbagai masalah, termasuk penurunan tanah dan hilangnya kemampuan lahan untuk menyerap air. Pendekatan McHarg ini menyoroti betapa pentingnya menjaga ekosistem rawa untuk menghindari bencana jangka panjang.
BACA JUGA: Lebih Baik Fokus Banjarbakula, Subhan Syarief : Gugatan ke MK Bukti Perlawanan Rakyat Banjarmasin!
Lebih jauh, teori dari Jan Gehl, dalam bukunya Cities For People (2010), mengingatkan bahwa kota yang layak huni adalah kota yang didesain dengan memperhatikan kebutuhan manusia dan keseimbangan lingkungan. Gehl menyoroti bahwa pembangunan yang berorientasi pada manusia harus memperhatikan keberlanjutan, termasuk ruang hijau, sistem drainase alami, dan pengelolaan sungai. Dalam konteks Banjarmasin, sungai yang dulunya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kini telah menyempit dan kehilangan konektivitasnya. Ketika elemen-elemen alami ini diabaikan, kenyamanan dan keamanan warga juga ikut terancam.
Ketiga teori ini memiliki benang merah yang jelas: keberlanjutan kota sangat tergantung pada bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan bagaimana kebijakan serta desain kota dibuat. Kevin Lynch menyoroti peran para pemangku kepentingan, Ian McHarg menegaskan pentingnya pendekatan berbasis ekologi, sementara Jan Gehl menekankan keseimbangan antara pembangunan dan kebutuhan manusia.
Dalam menghadapi ancaman banjir dan potensi tenggelamnya Banjarmasin, pendekatan adaptif menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Pendekatan ini menekankan pentingnya fleksibilitas, integrasi, dan ketahanan dalam merespons perubahan lingkungan serta risiko bencana yang semakin nyata. Sebagai kota yang lekat dengan identitas sungainya, Banjarmasin memiliki peluang untuk mengembalikan kekuatan alamiah yang selama ini mungkin terabaikan.
BACA JUGA: Subhan Syarief : Sebaiknya Jangan Main Gusur, Ajak Warga Terlibat Aktif
Langkah awal yang dapat diambil adalah merevitalisasi ekosistem sungai dan rawa. Sungai-sungai yang mulai menyempit dan dangkal harus dipulihkan melalui pengerukan, pelebaran, serta pembersihan yang menyeluruh. Jalur sungai yang terputus perlu dihubungkan kembali agar aliran air dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tidak hanya itu, rawa gambut sebagai bagian penting dari ekosistem Banjarmasin harus dilindungi. Alih fungsi lahan rawa menjadi pemukiman atau industri perlu dihentikan, mengingat peran rawa dalam menjaga keseimbangan lingkungan sangatlah besar. Sejalan dengan pandangan Ian McHarg, keseimbangan ekologi harus menjadi prioritas utama. Selain itu, pembuatan kanal tambahan, kolam retensi, pintu air berikut terapan sistem pompanisasi bisa menjadi solusi untuk menampung dam mengelola limpasan air saat debit air meningkat, sehingga risiko banjir dapat diminimalkan.
Sisi lainnya, infrastruktur kota juga perlu diarahkan pada pendekatan ramah lingkungan. Misalnya, taman dan ruang terbuka hijau yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat rekreasi tetapi juga menjadi area resapan air. Drainase alami berbasis teknologi seperti ‘bioswales’ dapat dimanfaatkan untuk menyerap dan menyaring air hujan secara alami. Bahkan, penggunaan atap hijau dan taman vertikal pada bangunan dapat membantu mengurangi limpasan air hujan sekaligus memperbaiki kualitas udara.
Bangunan di Banjarmasin semestinya sudah di atur agar wajib dirancang lebih tahan terhadap banjir, seperti mengadopsi dan memodifikasi konsep rumah panggung yang menjadi bagian dari warisan arsitektur tradisional Banjar, bahkan tingkat skala kampung atau bahkan kota pun sudah di pikirkan atau disiapkan dibangun menuju kearah konsep mengapung. Kawasan yang sangat rawan banjir pun perlu ditata ulang, termasuk dengan relokasi penduduk ke lokasi yang lebih aman. Dalam proses ini, keterlibatan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan tidak ada konflik sosial yang muncul. Selain itu, pengelolaan energi, tata kelola limbah dan sampah juga harus ditingkatkan agar sungai tidak menjadi area buangan sampah dan saluran air tidak tersumbat serta dapat berfungsi optimal.
BACA JUGA: IKN Baru, Subhan Syarief : Mari Fokus Manfaatkan SDA Kalimantan untuk Warga Kita
Tentu saja, keberhasilan semua upaya ini membutuhkan tata kelola dan regulasi yang kuat. Pemerintah perlu memberlakukan moratorium terhadap alih fungsi lahan rawa dan gambut. Penyusunan rencana induk berbasis risiko juga menjadi langkah penting, yang melibatkan berbagai pihak seperti akademisi, praktisi, dan masyarakat lokal. Di era teknologi, pemantauan perubahan lingkungan melalui satelit, sensor, atau pemetaan digital dapat membantu mendeteksi potensi bencana secara real-time dan mempermudah pengelolaan risiko.
Namun, semua solusi ini tidak akan efektif tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Edukasi lingkungan harus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem sungai. Program-program seperti restorasi sungai dapat menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk turut berkontribusi, baik melalui kerja bakti maupun kegiatan padat karya yang memberdayakan mereka. Selain itu, budaya sungai sebagai identitas Banjarmasin perlu dikuatkan kembali, sehingga pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal bisa berjalan lebih efektif.
Kolaborasi antara berbagai pihak juga menjadi hal yang tak terelakkan. Pemerintah kota, sektor swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat harus bekerja bersama untuk menciptakan inovasi baru, baik dalam teknologi, pendanaan, maupun perencanaan yang berbasis ekologi. Seperti yang pernah disampaikan Jan Gehl, kota yang ramah manusia adalah kota yang hidup selaras dengan lingkungannya. Jika langkah-langkah ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, Banjarmasin bukan hanya akan mampu menghadapi tantangan perubahan iklim, tetapi juga menjadi model kota berbasis sungai yang berkelanjutan di Indonesia. Tindakan nyata adalah kunci, dan masa depan yang lebih aman serta berkelanjutan adalah harapan yang dapat diwujudkan.
BACA JUGA: Lebih Baik Fokus Banjarbakula, Subhan Syarief : Gugatan ke MK Bukti Perlawanan Rakyat Banjarmasin!
Patut di catat, Banjarmasin adalah kota yang punya sejarah dan budaya, bahkan menjadi salahsatu saksi kemajuan peradaban sungai di Nusantara dengan Kerajaan Banjarnya. Namun, tanpa upaya bersama untuk melindungi dan memulihkan ekosistemnya, kota ini akan terus menghadapi risiko tenggelam, bahkan bila tak tepat dalam bersikap bisa saja Banjarmasin hilang dari peta. Ya, tentu pilihan ada di tangan kita; mau membiarkan Banjarmasin larut dalam genangan dan terancam hilang atau berjuang untuk masa depan yang lebih baik dan tak hilang dari peta; Ya, sejatinya hanya itu pilihannya !.

Januari 2025/Tim Peneliti Batang Banyu Institute