-10.3 C
New York
Rabu, Januari 22, 2025

Buy now

Banjarmasin dan Calap (Banjir) Yang Tak Kunjung Usai

Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT

KETIKA musim hujan tiba, seperti yang rutin terjadi di tiga bulan terakhir penghujung tahun, Kota Banjarmasin akan selalu ‘kelimpungan’ dalam mengelola serbuan limpahan air. Apalagi bila terjadinya ketika hujan lebat dengan durasi panjang dan kemudian waktunya bertepatan dengan air sungai pasang maka hampir segenab pelosok kota akan kecalapan (banjir). Kawasan bantaran sungai atau di kawasan yang sungai dan daerah resapannya tak ada lagi seperti kawasan basirih, kawasan kayu tangi (kampus ULM), kawasan jalan pembangunan, kawasan kelayan, kawasan lambung mangkurat mulai depan kantor pos, bank BNI  dan bahkan jalan raya sepanjang jalan A.Yani, termasuk Jalan Dharma Praja depan Rumah Dinas Ketua DPRD Kalsel akan tergenang oleh air.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

BANJARMASIN, kota yang bergelar kota seribu sungai, memang dulunya dikenal dengan keetnikan alur aliran air yang menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Sungai-sungai besar dan kecil tidak hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang khas. Namun, seiring waktu, Banjarmasin yang dulu akrab dengan air kini harus berjuang melawan ancaman calap (banjir) yang semakin sering datang tanpa permisi. Banyak yang bertanya, apakah ini takdir geografis semata, ataukah cermin dari kelalaian kita sebagai penghuni kota?

Topografi Banjarmasin, yang semuanya berada di bawah permukaan laut, memang menjadikannya rentan terhadap genangan. Namun, geografi saja tidak cukup untuk menjelaskan masalah yang semakin parah ini. Berabad-abad lalu, penduduk lokal sebelum Banjarmasin ada sudah hidup berdampingan dengan air, membangun rumah panggung di atas rawa/air, sungai-sungai yang mengelilingi dan membelah kota, area resapan atau rawa mendominasi kawasan kota, kemudian menciptakan kanal untuk mengendalikan arus serta menambah jalur alur air. Kini, situasinya berubah drastis. Modernisasi kota tidak diiringi dengan pengelolaan tata ruang yang bijak, sehingga harmoni antara manusia dan air terganggu.

Kecalapan (banjir) di Banjarmasin, meski akrab disebut ‘langganan,’ sesungguhnya adalah buah dari serangkaian kebijakan tata ruang yang mengabaikan karakter alam kota. Alih fungsi lahan rawa menjadi salah satu penyebab utama. Rawa-rawa yang dulunya menjadi kawasan resapan air kini berubah menjadi daratan karena diurug menjadi kawasan perumahan, pusat perbelanjaan, perkantoran, lapangan, dan juga jalanan. Para ahli, seperti Prof. Bambang Susantono dalam bukunya Sustainable Cities and Communities, menekankan pentingnya menjaga ekosistem alami sebagai bagian dari pembangunan kota. Ia mengingatkan bahwa hilangnya ruang hijau atau rawa dan juga sungai tidak hanya memperburuk banjir tetapi juga memicu peningkatan suhu dan degradasi lingkungan secara keseluruhan.

BACA JUGA: NGopi jrektv, Konsep Penanganan Banjir dan Pembangunan Berkelanjutan

Namun, alih fungsi lahan bukan satu-satunya persoalan. Sistem pembuatan model drainase kota yang tak sesuai dengan karakteristik geografis dan topografis kota Banjarmasin turut memicu masalah. Ujungnya drainase yang seharusnya bisa menjadi garda terdepan pengendalian genangan air juga tidak mampu menjalankan tugasnya. Banyak saluran air yang sempit, tak mengalir lancar, tersumbat sampah, atau bahkan tidak terhubung dengan baik ke sungai-sungai utama, dan kadang ketika air sungai pasang tinggi, maka saluran drainase berubah menjadi jalur air sungai naik kedaratan. Hal ini mengingatkan kita pada kritik Lewis Mumford dalam The City in History, di mana ia menyoroti bagaimana infrastruktur perkotaan yang buruk bisa menjadi penyebab utama krisis lingkungan. Sistem yang tidak memadai ini menunjukkan betapa kota gagal memahami kebutuhan dasarnya.

Sisi lain yang mencemaskan adalah pengaruh perubahan iklim yang memperparah keadaan. Peningkatan curah hujan dan kenaikan permukaan air laut kini menjadi ancaman nyata bagi Banjarmasin. Dalam buku Climate Change and Urban Vulnerability oleh Armi Susandi, disebutkan bahwa kota-kota di dataran rendah seperti Banjarmasin akan menjadi salah satu yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Hasil pengamatan dan riset beberapa lembaga lingkungan,  bahkan di pridiksikan tahun 2050 akibat kenaikan muka air dan penurunan tanah posisi permukaan kota Banjarmasin akan berada kisaran minus 70 cm dari muka air laut ketika pasang. Ya, ketika air laut naik dan curah hujan semakin intens, sistem perkotaan yang tidak siap hanya akan memperburuk bencana.

Namun, di tengah semua tantangan ini, apa yang bisa kita lakukan? Perlu strategi tepat guna tepat sasaran. Pertama-tama, kita perlu mengembalikan sebagian kawasan rawa yang hilang, atau dengan memperbanyak daerah resapan. Menghidupkan dan mengoneksikan berbagai sungai, termasuk memperlebar, memperdalam dan memperbanyak kanalisasi dengan sistem pintu air lengkap pompa. Langkah ini tidak hanya penting untuk mengurangi risiko banjir, tetapi juga untuk memulihkan ekosistem yang selama ini terabaikan. Sejatinya kita bisa belajar dari  berbagai kota; salahsatunya adalah Kota Amsterdam, kota yang berhasil hidup dengan air melalui pendekatan tata ruang yang adaptif. Kota ini tidak berusaha melawan air, melainkan mengelolanya dengan teknologi modern yang tetap menghormati alam.

BACA JUGA: Perlu Tindakan Revolusioner Pemerintah untuk Kalsel Bebas Banjir (2-Habis)

Pendekatan seperti ini juga sejalan dengan konsep resiliensi perkotaan yang disarankan oleh para ahli seperti Brian Walker dan David Salt dalam Resilience Thinking; Sustaining Ecosystems and People in a Changing World. Mereka menekankan pentingnya fleksibilitas dalam desain kota dan infrastruktur untuk mengatasi bencana alam yang tak terhindarkan, seperti banjir. Dalam konteks Banjarmasin, adaptasi terhadap banjir bukanlah soal menahan air, melainkan bagaimana merancang kota agar dapat hidup berdampingan dengan air melalui sistem tata kelola yang cerdas dan pengelolaan ruang yang berbasis pada ekosistem alami. Pendekatan ini harus menyertakan revitalisasi kawasan rawa yang hilang dan pembenahan sungai-sungai ataupun kanal-kanal kota agar mampu menampung air hujan dengan lebih baik.

Di sisi lain, sistem drainase yang ada saat ini perlu direvitalisasi secara menyeluruh. Ini bukan sekedar soal membersihkan saluran dari sampah, tetapi merancang ulang sistem yang mampu mengalirkan air secara efisien ke sungai. Green infrastructure, seperti yang dijelaskan oleh Tim Beatley dalam Handbook of Biophilic City Planning and Design, adalah penggunaan elemen-elemen alam dalam desain kota untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, termasuk banjir. Ini dapat mencakup pembuatan taman-taman, embung atau danau yang berfungsi sebagai penampung air hujan, ruang terbuka hijau yang lebih banyak, serta pemanfaatan vegetasi untuk memperlambat aliran air. Integrasi infrastruktur hijau dalam pembangunan kota Banjarmasin dapat menjadi solusi berkelanjutan dalam menangani banjir.

Selain itu, edukasi publik harus menjadi prioritas. Banyak masyarakat yang masih memandang banjir sebagai fenomena alam yang tak terhindarkan, bukan sebagai masalah yang bisa diatasi. Padahal, dengan pemahaman yang benar, setiap individu dapat berkontribusi, misalnya menanam vegetasi di bantaran sungai, kemudian tidak membuang sampah sembarangan dan mendukung berbagai program-program konservasi.

BACA JUGA: Calap (Banjir) dan Format Masa Depan Kota Banjarmasin

Dalam buku Water Sensitive Urban Design (WSUD), Thomas J. M. Schueler menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif banjir dan memulihkan ekosistem air dengan cara yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan. Untuk Banjarmasin, penerapan WSUD dapat mencakup pembuatan kanal-kanal terbuka yang lebih banyak, penghijauan ruang terbuka, serta pemanfaatan infrastruktur hijau untuk meningkatkan infiltrasi air. Konsep ini juga sejalan dengan Nature-Based Solutions, yang mengandalkan kekuatan alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, seperti yang dijelaskan oleh Catherine McKenna dan Eduardo S. Brondizio. Dengan memperkuat ekosistem sungai dan rawa, serta mengelola aliran air secara bijaksana, Banjarmasin dapat mengurangi dampak calap atau banjir secara signifikan.

Pada akhirnya, calap (banjir) di Banjarmasin bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ini adalah cerminan dari bagaimana kita memperlakukan kota dan lingkungannya. Dalam kata-kata Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great American Cities, ‘kota yang baik adalah kota yang belajar dari kesalahannya.’ Maka, mari kita belajar dari kesalahan ini. Banjarmasin tidak harus terus-menerus terpuruk dalam lingkaran calap (banjir). Dengan kesungguhan dan kerjasama, kota seribu sungai ini bisa kembali menemukan harmoni dengan air, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. (jejakrekam)

Penulis ada seorang doktor dan pengamat perkotaan tinggal di Banjarmasin (Edisi Desember 2024)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,200PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles