2.4 C
New York
Rabu, November 13, 2024

Buy now

“Debat Tak Berkelas, Solusi Tak Jelas: Tantangan Banjarmasin Menjaring Pemimpin Berkualitas”

Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT

DEBAT publik perdana yang digelar pada Sabtu, 26 Oktober 2024, mengusung thema: ‘Membangun Daerah (Banjarmasin) yang Maju dengan Mengoptimalkan Ekonomi Lokal, Infrastruktur, dan Pariwisata’, menghadirkan para calon Walikota Banjarmasin berikut paparan visi dan misi mereka untuk kota ini.

NAMUN, saat acara dimulai, penyampaian visi dan misi para kandidat berjalan dengan kurang lancar, bahkan ada di antaranya tidak dapat menyelesaikan paparan. Fakta yang tersaji ini jujur, membuat kita tersentak, harapan langsung meredup. Apalagi ketika menyimak isi debat yang tampaknya tidak mencerminkan pemahaman mendalam para kandidat tentang kompleksitas tantangan yang dihadapi Banjarmasin, sebuah kota tua yang telah kehilangan statusnya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

BACA JUGA: Hari Jadi 496 Tahun Banjarmasin di jrektv, Dr H Subhan Syarief: Kota Yang Memiliki Karakter, Khas Etnik dan Unik

Sebagai pusat perdagangan dan jasa regional, Banjarmasin memiliki peran strategis dalam ekonomi Kalimantan Selatan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Selatan, sektor perdagangan dan jasa menyumbang lebih dari 40% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banjarmasin pada 2023. Dalam konteks ini, pengembangan Banjarmasin tidak seharusnya terfokus hanya pada pembangunan fisik, tetapi juga pada penguatan citra sebagai kota sungai dan pusat perdagangan jasa. Kevin Lynch, dalam karyanya The Image of the City (1960), menekankan pentingnya citra kota untuk menciptakan pengalaman yang bermakna bagi penduduk dan pengunjung.

Dengan memanfaatkan citra ini, Banjarmasin dapat memperkuat pengembangan ekonomi lokal, infrastruktur berkelanjutan, dan pariwisata berbasis budaya. Sayang, dalam debat tersebut para kandidat tampak lebih terfokus pada proyek pembangunan fisik seperti sport center dan penataan bantaran sungai, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada integrasi pembangunan tersebut dengan ekonomi lokal dan dampaknya terhadap pariwisata berkelanjutan. Sejatinya, Banjarmasin memerlukan solusi yang lebih holistik untuk mengatasi masalah kemacetan, kekumuhan, dan ancaman calap (banjir) yang semakin intens, yang cenderung memburuk akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan, kepadatan penduduk, dan dampak perubahan iklim. Edward Glaeser, dalam bukunya Triumph of the City (2011), menegaskan bahwa interaksi sosial dan inovasi adalah pendorong utama ekonomi kota.

Karena itu, Banjarmasin seharusnya mengembangkan infrastruktur yang tidak hanya meningkatkan aksesibilitas, tetapi juga memperkuat kegiatan ekonomi dan wisata. Sayangnya, gagasan-gagasan tersebut nyaris tidak dibahas dalam debat, dan solusi untuk permasalahan mendesak ini masih terabaikan.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Dalam konteks ancaman calap (banjir), data dari BPS Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa kedepan lebih dari 60% wilayah kota ini rentan terhadap bencana tersebut. Pengembangan kawasan sungai yang ramah lingkungan dan berfungsi sebagai ruang publik menjadi sangat relevan. Konsep perencanaan kota yang adaptif dengan waterfront city, yang dapat menciptakan ruang terbuka yang bermanfaat sekaligus melindungi lingkungan, masih kurang mendapat perhatian dari para kandidat. Mereka tidak menyajikan strategi komprehensif untuk mewujudkan konsep ini atau solusi inovatif lainnya yang sesuai dengan karakteristik Banjarmasin.

Pentingnya menjaga identitas kota dalam proses transformasi juga tidak bisa diabaikan. Richard Florida, dalam The Rise of the Creative Class (2002), menggarisbawahi bahwa infrastruktur ramah lingkungan merupakan faktor utama dalam menarik kreativitas dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota. Banjarmasin harus mampu mengembangkan infrastrukturnya tanpa kehilangan ciri khas sebagai kota sungai, melalui pengelolaan limbah yang baik dan penggunaan material ramah lingkungan.

Namun, dalam debat, pemahaman kandidat tentang identitas dan kebutuhan lokal masih terasa dangkal. Kandidat-kandidat Walikota inipun  lebih banyak berbicara tentang teknologi dan konsep smart city, tetapi tidak menyentuh implikasi penerapannya terhadap ekonomi lokal dan sosial. David Harvey, dalam Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution (2012), mengingatkan fokus yang berlebihan pada digitalisasi dapat menimbulkan ketidakadilan sosial, terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, inovasi seperti digitalisasi pasar harus didorong dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas pelaku ekonomi lokal.

BACA JUGA: Subhan Syarief : Libatkan Pedagang dan Warga dalam Proses Perencanaaan Pasar Batuah

Banjarmasin memiliki potensi besar di sektor pariwisata, khususnya pariwisata berbasis sungai. Menurut Dinas Pariwisata Kalimantan Selatan, sektor ini menyumbang sekitar 12% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banjarmasin pada 2022. Daya tarik seperti pasar terapung Muara Kuin dan effek Lok Baintan dapat dimaksimalkan untuk menarik lebih banyak wisatawan. Michael E. Porter, dalam The Competitive Advantage of Nations (1990), menekankan pengembangan kluster ekonomi, seperti revitalisasi pasar tradisional yang khas di tepian sungai, dapat memperkuat daya saing daerah.

Namun, revitalisasi ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem sungai dan nilai budaya setempat. Richard E. Nisbett, dalam The Geography of Thought: How Asians and Westerners Think Differently and Why (2003), menunjukkan bahwa lingkungan fisik membentuk pola pikir dan interaksi sosial masyarakat. Dengan memadukan unsur pariwisata dan budaya lokal, Banjarmasin dapat membangun ikatan sosial dan menguatkan identitasnya sebagai kota sungai yang unik.

Dengan berbagai tantangan ini, Banjarmasin memerlukan pemimpin yang visioner dan mampu memahami potensi serta isu lokal secara mendalam. Debat publik seharusnya menjadi ajang bagi para kandidat untuk menawarkan visi dan solusi nyata.

BACA JUGA: Subhan Syarief : Sebaiknya Jangan Main Gusur, Ajak Warga Terlibat Aktif

Namun, kegagalan mereka dalam menguasai substansi dan kedalaman isu mencerminkan ketidaksiapan untuk menangani masalah-masalah kota ini. David Zarefsky dalam Successful Debate: A Guide to the Art of Persuasion (1991) menyatakan bahwa debat adalah kesempatan untuk berdiskusi dengan argumen yang efektif. Kurangnya respons mendalam, atau bahkan ketidakpahaman tentang kondisi kota Banjarmasin dari para kandidat, menunjukkan mereka belum siap untuk menyajikan gagasan-gagasan konkret dan solutif bagi kota ini.

Ya, sejatinya thema debat yang di tentukan tersebut seharusnya menjadi peluang bagi para kandidat untuk menggali lebih dalam terkait potensi ekonomi lokal, infrastruktur berkelanjutan, dan pariwisata berbasis budaya sungai. Sayangnya, rencana langkah kerja para kandidat yang disampaikan lebih mengedepankan aspek teknis yang minim integrasi dengan ekonomi lokal dan pariwisata berkelanjutan. Dalam menghadapi tantangan yang ada, Banjarmasin membutuhkan kepemimpinan yang berkualitas, yang mampu mengolah hambatan menjadi potensi, bukan sekadar pemimpin yang pandai berretorika. Diperlukan visi yang berakar pada pemahaman identitas lokal, strategi berkelanjutan yang menggabungkan pembangunan ekonomi dan sosial, serta komitmen yang kuat untuk memajukan kota ini tanpa kehilangan identitas khasnya sebagai Kota Sungai dan Kota Perdagangan Jasa, Kota yang konon di format visinya akan menjadi Gerbang Logistik Kalimantan. (jejakrekam)

Penulis Pengamat Perkotaan tinggal di Kota Banjarmasin dan Yogyakarta

(Subhan Syarief, Pengamat Kota, Oktober 2024).

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
22,100PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles