Belajar dari Para Sufi dalam Menundukkan Nafsu

0

Oleh : Hajriansyah

HAL yang utama dan penting dalam konteks tarbiyah atau ta’dib menurut Sayyid Naquib Alatthos adalah para sufi bisa menundukkan nafs.

NAFS seringpula diartikan sebagai nafsu atau jiwa, tapi yg dimaksud di atas adalah jiwa yang liar, binal seperti kuda–bukan dalam makna kebebasannya sebagaimana tumbuhnya di alam bebas.

Yaitu An-nafs al-ammarah, la-ammaratun bissu’, yang dikuasai emosi-emosi negatif seperti gadhab (marah), ‘ujub (bangga diri), kibir (sombong), hasad (dengki), riya’ (ingin dilihat), hubbul jah (suka kemegahan), dan sebagainya.

Untuk itu,  nafsu yg demikian diarahkan untuk taubah (kembali kepada fitrah penciptaannya sebagai hamba), khauf (takut kepada Kuasa-Nya) dan raja’ (berharap kepada Kasih-Nya), ikhlas (murni, tulus dlm pengabdian), tawakkul (berserah diri pada Kehendak-Nya setelah berusaha), ridha‘ (lapang dada atas Ketetapan-Nya), dan zikrul maut (ingat mati) atau bisa juga dimaknai sebagai qurbah (dekat dengan-Nya).

BACA : Selesaikan Studi Doktoral Di UIN Antasari, Hajriansyah Teliti Seni Ukir Kaligrafi Banjar

Jiwa yang mementingkan dirinya adalah juga karakter asalinya. Ditamsilkan, bahwa nafs (jiwa) ketika diciptakan masih menyimpan panas api (neraka) pembakaran. Ia bergelora, semangat membara, merasa tinggi ingin dipentingkan-diperhatikan, merasa besar dan suka kemegahan/kemuliaan.

Dalam suluk (pembelajarannya) para salik mengekang “diri”nya dengan sejumlah “celaan” atau muhasabah diri terus menerus. Dalam hal ini ia disebut an-nafs al-lawwamah.

BACA JUGA : Laku Sufisme dan Jalan Suluk Warnai Bentukan Masjid di Tanah Banjar

Sembari belajar ia beramal, sedikit demi sedikit, merasakan setiap pengalaman langsung dan/dengan merasakan kehadiran Kuasa serta Kasih-Nya. “Perbanyak ingat penghancur kelezatan, yaitu zikrul maut,” Sabda Nabi Muhammad SAW aw kama qaala (seperti yang dikatakan, “ia melapangkan dirimu ketika sempit, dan membuatmu mawas diri ketika merasa lapang.”

Karena itulah para sufi menyusun sejumlah adab dan cara berzikir, yang ushulnya diambil dari Kitab-Nya serta ucapan dan perbuatan Nabi SAW (Sunnah).

BACA JUGA : Ada 9 Tingkatan Wali Allah dan Gambarkan Struktur Organisasi yang Rapi

Dalam perkembangannya menyesuaikan pula dengan adat kebiasaan setempat yg mafhumnya tdk menyelisihi dua pedoman utama di atas. Seorang salik berzikir atas pedoman serta pengawasan mentornya yg memiliki kualitas Mursyid, tidak asal mengikuti sumber-sumber bacaan bebas atau arahan yg tak bertanggung jawab. Sehingga kadarnya disesuaikan beriring perkembangan dirinya menuju kedamaian (tenang).

Jiwa yg dioreintasikan demikian disebut an-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang, yang raji’ (kembali pada Kasih Tuhan), yang ridha’ (atas Ketetapan) dan diridhai.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa S3 Doktoral UIN Antasari Banjarmasin

Owner Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.